Berkas kasus dugaan pembunuhan pria di bukit yang dipegangnya tak lagi menarik perhatian. Pikiran Kila justru terpancang pada perkataan Kala soal korban yang berbohong semalam. Ia tentu harus mengikuti prosedur untuk menjadikan kesaksian Kala sebagai alat bukti. Namun, siapa yang akan percaya jika Kila bilang Kala tahu kalau korbannya berbohong? Ia hanya akan terlihat seperti manusia dengan daya khayal yang menyeramkan kalau Kila membeberkan kemampuan Kala. Tapi, kalau Kila memilih mengabaikan omongan Kala yang merisaukan itu, bukannya ia akan menghukum orang yang tidak bersalah? Kila sadar tidak akan berani merebut risiko itu karena ia tahu seberapa ampuhnya kemampuan Kala mendeteksi kebohongan. Terutama sejak Kala memberitahunya kalau Jamal –mantan kekasih Kila- telah berbohong kepadanya.
Kila tiba-tiba-bergidik mengingat kejadian itu. Kalau saja Kala tidak keras kepala merongrongnya supaya percaya, mungkin di dahi Kila akan terpahat tulisan “perusak rumah tangga orang”. Makhluk berjakun brengsek yang mendekatinya saat itu ternyata telah beristri, bahkan istrinya tengah hamil. Sungguh kurang ajar. Tapi, sekarang bukan waktunya mengenang masa lalu yang tidak indah itu. Kila harus secepatnya mengambil tindakan untuk menyelesaikan kasus ini. Membaca berkas kasus sekali lagi, Kila menghela napas dan bersiap memutuskan. Tok, tok, tok. Kila mendongak dari kertas ketika pintu ruangannya diketuk. Setelah menyilakan siapapun itu yang mengetuk pintu untuk masuk, muncullah Ibad dengan beberapa plastik bening berisi barang yang ditemukan di TKP. “Kala ada di luar.” Mengangkat kepala dari plastik yang dibawa Ibad, Kila mengangguk meminta Ibad menyuruh Kala masuk ke ruangannya. Begitu Ibad meninggalkan ruangan, Kala melangkah masuk. Sambil memerhatikan Kila yang belum berganti pakaian sejak semalam, hanya menanggalkan jaket bombernya, dan berpikir bahwa kakaknya kelihatan lusuh, Kala duduk di kursi depan meja Kila. “Tidur lo gimana? Nyenyak?” Kala mengangguk dan memberi Kila tatapan menilai. “Kalo lo nggak usah ditanya, sudah terjawab.” Kila menghela napas lelah, mengiyakan Kala tanpa kata. “Jadi, bagaimana keadaan korban saat ditemukan?” Kala berusaha membayangkan kejadian semalam untuk menjawab pertanyaan Kila. Tidak sulit, karena ia punya ingatan bagus. “Masih hidup, tapi terkapar kesakitan di tanah.” “Apa yang kamu lakukan saat melihat korban tergeletak?” Kala merasa interogasi bernuansa profesional karena Kila tidak menggunakan “lo-gue” lagi. “Saya mendekat dan bertanya dia kenapa lalu mengajaknya ke rumah sakit.” “Terus?” “Korban bilang kata ‘racun’ sebanyak dua kali. Waktu saya tanya siapa yang melakukannya, dia jawab ‘Fatih’ dua kali.” Kila nampak serius menyimak ucapan Kala. “Tapi dia bohong, Kak. Saya merasakannya.” Ekspresi Kila sulit diraba, Kala akhirnya berinisiatif bertanya. “Kakak percaya sama gue, kan?” Kila mengangguk, tapi wajahnya redup. “Lo tau kan gue nggak mungkin sampein ke atasan kalo lo bilang korban bohong?” Kala terperangah. “Tapi korban memang bohong, Kak.” “Iya Ka, gue tau. Coba pikir, apa atasan gue bakal percaya kalo gue bilang lo bisa deteksi kebohongan?” Kala tak bisa membantah dan merepotkan diri memandang berkeliling untuk menenangkan otaknya. Mendadak tatapannya menukik ke meja, tepatnya pada kumpulan plastik. Kila yang melihat Kala tertarik pada benda di mejanya menoleh ketika melihat telunjuk Kala mengarah pada satu bungkusan. “Itu, kenapa ada di situ?” Kila mengangkat bungkusan benda yang dimaksud Kala yang ternyata berisi gantungan kunci mobil berbentuk dompet berwarna coklat dengan motif polkadot hitam. “Ini ditemukan saat tim melakukan penyisiran TKP, di semak tidak jauh dari tubuh korban.” Kala menganga. Ia yakin sudah mengembalikan gantungan beserta kunci mobil itu kepada wanita yang berjalan tergesa-gesa semalam. Kenapa benda itu malah muncul di TKP? “Gue tau gantungan kunci ini, Kak. Semalam jatuh di jalanan, gue ambil dan kembaliin ke yang punya.” Giliran Kila yang terperanjat. “Di jalanan? Tapi itu kan agak jauh dari TKP? Kamu ingat pemiliknya?” Kala menggeleng lemah. “Nggak, karena di sekitar situ nggak diterangi lampu jalan jadi gue nggak liat mukanya.” Kila mencoba berpikir logis. “Mungkin gantungan kuncinya kebetulan sama, Ka.” Kala menyanggah. “Kalo emang gantungan kunci itu sudah lama di sana, pasti kotor kan? Tapi gue liat gantungan kunci itu masih bersih, berarti belum lama jatuh.” Menggunakan sapu tangan, Kila mengambil benda itu dari dalam plastik dan memelototi gantungan kunci itu. Benar kata Kala, gantungan kunci itu masih bersih, bahkan masih wangi. Kala kemudian mencoba berteori. “Kak, gimana kalau pemilik gantungan kunci itu adalah pelaku sebenarnya?”### Rumah yang baru saja ditinggalkan oleh salah satu penghuninya untuk selamanya itu masih terasa aura berdukanya. Puluhan orang berpakaian hitam nampak duduk di kursi yang disediakan, sebagian lagi lesehan di lantai. Meskipun jenazah sudah dimakamkan, masih banyak pelayat yang tetap tinggal untuk menghibur keluarga yang kehilangan. Wanita berambut layer sebahu kelihatan banyak menangis, menyaingi ibu almarhum. Sepertinya pria bernama Lavi yang meninggal adalah orang yang penting baginya. “Sudahlah Ta, biarkan Lavi tenang di sana.” Temannya yang berkacamata dan berambut panjang berkata sambil mengusap-usap bahu Neta, nama wanita itu. “Gue nggak nyangka Lavi bakal pergi secepat ini, Na.” Ana, teman Neta, menghapus air matanya yang juga sempat jatuh. “Gue juga, Na.” Neta kemudian mengutuk sambil terisak-isak. “Gue nggak akan biarin orang yang ngeracunin Lavi bebas, dia harus dihukum.” Ana tertegun. Bukannya Lavi tewas bunuh diri? “Lavi dibunuh, Ta? Gue kira dia bunuh diri.” Neta sempat terkejut mendengarnya lalu buru-buru menggeleng. “Nggak mungkin Lavi bunuh diri. Soalnya, kita mau nikah tamat kuliah nanti.” Ana melongo. Kabar ini benar-benar baru. Neta sendiri melanjutkan akting berpura-pura sedihnya sambil tersedak-sedak meyakinkan sambil matanya gentayangan mencari keberadaan tersangka yang ditetapkan oleh Lavi dalam kasus ini. Fatih. Dan itu dia. Neta menemukannya. Pria berpostur tinggi dan berbadan kekar karena rutin berolahraga –mirip tampilan preman menurut Neta- itu sedang mengobrol dengan teman-temannya, yang juga teman-teman Lavi. Bagaimana kira-kira reaksi mereka jika tahu Lavi “dibunuh” oleh Fatih? Neta ingin terbahak ketika membayangkannya, tapi batal karena waktunyan tidak pas. Ia memang tak pernah suka pada Fatih, pria yang dianggapnya sombong hanya karena tidak pernah terlihat tertarik kepada Neta. Ia benci kalau ada yang memalingkan muka darinya, tak memberinya perhatian penuh. Neta sangat senang karena Lavi menunjuk Fatih sebagai pembunuhnya. Dengan begitu, Neta tidak perlu muak tiap kali melihat wajah Fatih lagi. Tiba-tiba Neta merasa agak menyesal, kenapa tidak dari dulu ia memiliki pikiran melakukan hal itu. Senyum yang tadi sempat tercetak di wajah Neta seketika hilang. Ia melupakan satu hal. Gantungan kunci mobilnya lenyap. Bagaimana kalau polisi menemukannya di dekat TKP? Apa itu akan menjadikannya sebagai pelaku?Kila dan gerombolannya yang terdiri dari Kala, Pita, Tita, ibu Fatih, ibu Lavi, dan ibu Neta menunggu di depan pintu utama gedung pengadilan. Beberapa meter dari tempat mereka berdiri, bercokol puluhan reporter dari berbagai media, baik koran, radio, atau daring seantero Kota Ryha, siaga menunggu kemunculan bintang utama sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit yang baru saja selesai digelar."Kok lo nggak ikutan gabung dengan para reporter di sana, Tita? Lagi malas kerja, ya? Ntar keduluan mereka cetak hot news loh!"Tita melirik saja kawanan yang dimaksud kakaknya dengan gestur nyaris tidak peduli."Biarin aja. Gue udah ajakin mereka buat gali lebih dalam kasus ini dan mereka nggak mau. Giliran Neta buat pengakuan aja mereka baru kalang kabut. Gue punya bahan berita yang lebih banyak dari mereka, gue kan ngikutin kasus ini dari awal. Tenang aja Kak, gue bakal pasang foto lo yang cantik di media daring gue."Mata Pita membulat riang mendengar janji adiknya. Ia kemu
"Sebenarnya, saya ingin membuat pengakuan, Yang Mulia."Hadirin sidang lanjutan kasus pembunuhan di bukit, yang lebih membludak daripada sebelumnya, tiba-tiba terdiam mendengar ucapan wanita berambut layer sebahu dan mengenakan sandang mahal yang duduk di kursi saksi di tengah ruangan.Ketua majelis hakim, pria berambut keabuan berwajah kebapakan itu memerbaiki gagang kacamatanya dengan ekspresi bingung kemudian mengangguk."Pengakuan apa, Saudara Saksi?"Wanita itu, Neta, tidak langsung menjawab. Ia justru menoleh ke jejeran kursi penonton sidang di belakang, ke arah Kala yang manggut-manggut menyemangati, Kila yang tersenyum, ibu Lavi yang terlihat ratusan tahun lebih tua, dan ibunya yang tidak berhenti menyemburkan tangisan sejak sidang dimulai, bahkan sejak ia duduk di ruangan itu.Setelah menghamburkan senyum lemah pada orang-orang itu, Neta memantapkan hati dan menoleh kembali ke meja majelis hakim."Sayalah yang telah membunuh Lavi di bukit menggunakan arsenik yang dicampur dal
Kelopak mata Kala tersentak membuka dengan napas berlarian. Bola matanya nyalang jelalatan menjelajahi tempatnya terkapar. Ia baru saja bersiap bangkit dan melanjutkan perlawanannya demi menyelamatkan Neta dari tindakan beringas Fikri dengan menggerakkan tangan kanannya ketika Kala sadar, setelah melihat infus, bahwa ia sudah tidak berada di hutan lagi.Kala memelototi plester yang menempel di kulit tangannya untuk menghimpun ingatan yang sempat berserakan karena tidak sadarkan diri selama dua hari di rumah sakit."Sudah sadar, Ka? Gimana keadaan lo? Ada yang sakit? Kepala lo udah baikan?"Kala menoleh ke sumber suara dan menemukan kakaknya tengah berdiri di dekat pintu. Penampilannya yang lusuh akibat kurang tidur, dengan sweater abu-abu yang sudah dikenakan berhari-hari, sama persis dengan ingatan Kala tentang wujud Kila sebelum ia pingsan."Gue pingsan berapa lama, Kak? Kakak nggak pernah mandi ya selama gue pingsan? Kok nggak pernah ganti baju?"Kila menyorot
"Lep ... passs ..."Setelah beberapa menit hanya bisa megap-megap, akhirnya Neta mampu menembakkan satu kata dari mulutnya dengan suara yang teramat rendah. Agak kurang tepat jika disebut berujar, lebih pas jika dikatakan sebagai bisikan.Tapi Fikri tidak mendengarnya, atau mendengar namun tidak peduli. Ia justru semakin mengencangkan cekikannya karena penghalang satu-satunya sudah tumbang. Sekarang tidak ada lagi yang bisa menghalangi untuk menyelesaikan urusannya dengan cucu tunggalnya yang cuma bisa memproduksi masalah itu.Kala sendiri tengah terkapar di tanah, persis di sebelah kaki Fikri. Dengan kelopak mata yang sudah teramat ingin menutup tapi dipaksa sebisanya untuk tetap terkuak, Kala menyaksikan adegan pembantaian itu tanpa bisa melakukan apapun, bahkan hanya untuk menggerakkan sepotong jarinya.Fikri melirik sinis ke arah Kala di samping bawahnya kemudian menyeringai, merasa luar biasa riang dengan situasi ini. Setelah selesai dengan Neta, Fikri baru akan
Kila memanjang-manjangkan leher dengan ekspresi resah. Sudah tiga puluh menit ia mencari Kala begitu menyadari bahwa adiknya tidak berada di lokasi kecelakaan.Saat polisi dan ambulans kota sebelah telah tiba di tempat terjadinya insiden, Kila yang mengetahui kalau Neta dan kakeknya tidak terdeteksi di manapun dari keterangan Citra berniat mengajak Kala untuk mencari mereka secara berjamaah.Tapi, Kila justru dibuat risau ketika matanya menjelajahi seantero jalanan, sela-sela mobil yang terlibat tabrakan, di antara masyarakat yang menonton, bahkan sampai memeriksa mobil yang terkapar di aspal, siapa tahu Kala sedang berurusan dengan orang yang terjebak di dalamnya, dan tidak menemukan adiknya."Bu Citra, apa Anda pernah melihat adik saya?"Citra yang juga sibuk mengidentifikasi lokasi demi mencari ayahnya dan Neta menoleh dengan raut kalut. Bagaimana bisa ia memerhatikan kehadiran manusia lain saat dua orang keluarganya lenyap?"Tidak, Bu Kila. Saya tidak pernah melihat adik Anda. Say
"Sakit, Kek. Lepaskan!"Kesadaran Kala terhimpun kembali dan telinganya menjaring kalimat yang diteriakkan Neta itu. Berupaya keras membuka kelopak matanya yang serasa diselotip, Kala mencoba mengingat apa yang telah menimpanya dan di bumi bagian mana ia terkapar saat ini.Begitu kelopak matanya terkuak, hal pertama yang dilihat Kala adalah bidang luas halus berwarna biru muda: langit. Mengerjap beberapa kali dengan susah payah, Kala bisa merasakan tanah di bawah punggungnya dan menyadari kalau ia tengah terbaring di alam, entah apa sebabnya. Yang jelas bukan dalam rangka menikmati pemandangan karena setiap senti tubuhnya terasa sakit."Jawab! Kamu tahu anak muda itu bisa deteksi kebohongan, kan? Makanya kamu melepaskannya dari pegangan Kakek karena kamu tahu itu bisa membunuhnya?"Hardikan itu begitu mengagetkan sampai kelopak mata Kala tersentak, semua rasa berat dan lemah yang menggayutinya tiba-tiba lenyap, dan dengan satu gerakan cepat ia membangkitkan badannya agar duduk.Punggu