Share

02. Bersama Tapi Tak Benar-benar Bersama

Dino tersenyum tipis. Gadis ini harus dibuat jera, pikirnya.

Jawaban pemuda yang selalu memiliki ekspresi minim itu adalah perintah—sekaligus ancaman, mengingat apa yang bisa Dino lakukan kepadanya. Terlebih lagi, Dino juga sudah memberikan penekanan pada kata 'segera' dan itu berarti pernyataannya tak bisa diganggu gugat. Bahkan, jika Lisa memohon belas kasihan kepadanya sekalipun, pemuda itu tetap tidak akan berhenti dan menuruti kemauannya.

Apakah ini yang biasa dilakukan oleh sepasang kekasih? Apakah ada pasangan yang tega membiarkan kekasihnya sendirian di jalanan sepi? Hanya Dino lah yang melakukan hal itu.

Sang gadis Hogward menghela napas dari hidung secara perlahan, ia hanya bisa pasrah saat Dino tak menuruti permintaannya. Memangnya dia ini siapa?

Apa dia cukup berarti bagi pemuda itu? Lisa meragu, tidak pada hari ini saja gadis Hogward ini berpikir demikian, tapi hari sebelumnya juga sama.

Gadis itu pun mengangguk kecil sebagai jawaban dan tak beberapa lama kemudian, keheningan yang sama kembali melanda.

Mereka terlalu sering diam, sampai-sampai Lisa lupa jika mereka sedang pulang bersama.

Mereka berdua terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Tak ada seorang pun yang ingin memecahkan keheningan yang kembali terasa di antara mereka. Perintah dari Dino itu adalah sesuatu yang mutlak, sesuatu yang harus dilakukan oleh sang gadis Hogward.

Mau tak mau, Lisa hanya bisa menuruti keinginannya dan hari ini pun berakhir sama seperti hari yang telah lewat.

Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, Lisa hanya bisa diam sambil menelan pil pahit kekecewaan yang bersarang di tenggorokannya sejak tadi, sebab Dino lagi-lagi enggan mengikuti keinginannya untuk pergi ke tempat yang ia inginkan.

Si sulung dari keluarga Hogward itu pun memilih diam sambil menatap pepohonan, atau tiap-tiap rumah dan bangunan toko yang terlewati dalam perjalanan pulang mereka. Meski jarak rumah satu keluarga antara satu sama lainnya itu agak sedikit berjauhan, ataupun jumlah toko yang bisa dihitung dengan jari, tapi Lisa tetap memandanginya dengan tatapan kosong.

Tak ada minat sama sekali ketika dia menatap semua bangunan itu, karena pikiran gadis itu sedang tak berada di sana.

Pikiran Lisa pun melayang jauh, sibuk memikirkan arti dirinya dan setelahnya ia kembali disibukkan dengan pikiran tentang Dino yang tak pernah berubah menjadi lebih baik kepadanya. Padahal mereka berdua telah kenal lama, sejak keduanya masih kecil.

Di detik-detik selanjutnya, yang hadir di antara mereka hanyalah kesunyian yang sama sekali tak mengenakkan. Terasa menganggu. Keheningan itu mengiringi perjalanan sepasang manusia berbeda jenis yang berstatus sebagai sepasang kekasih itu.

Tak ada gelak tawa, tak ada candaan khas sepasang kekasih pada umumnya.

Yang ada di antara mereka hanyalah kesunyian, tanpa ada seorang pun yang ingin memecahkan kesunyian itu, dan menjadikannya suatu momen kebersamaan yang berharga bagi sang gadis Hogward yang telah lama memendam rasa sesak di antara keheningan ini.

Mereka berdua terdiam, lagi dan lagi. Lisa mencoba menikmati keadaan yang tak pernah berubah menjadi nyaman sedari dulu di antara mereka berdua.

Mungkin memerlukan waktu sekitar empat puluh menit bagi Dino dan Lisa hingga tiba di depan rumah masing-masing. Rumah siswa-siswi kelas tiga Furukawa High School itu memang saling berhadap-hadapan. Keduanya adalah tetangga sejak kecil, sebab alasan itu pulalah, hanya Dino yang Lisa miliki sebagai teman sepermainannya.

Dino yang sudah menghentikan laju sepedanya, memberi gestur kepada Lisa untuk turun. Dia sengaja membawa sepedanya agak sedikit dekat dengan gerbang rumah gadis itu, dan menurunkan Lisa tepat di depan rumahnya. Dia tak melirik gadis bersurai cokelat panjang, meski dia masih menunggu sang gadis turun dari boncengan sepedanya.

Lisa pasti mengerti apa yang dia inginkan.

Benar saja, gadis itu menahan napas sebelum menurunkan kakinya satu per satu ke tanah. Kakinya agak pegal, karena itu dia turun dengan lebih hati-hati.

Selepas Lisa menginjakkan kedua kakinya di tanah, Dino dengan segera memutar sepedanya dan kembali ke rumahnya yang berseberangan dengan rumah sang gadis Hogward. Tanpa berniat sedikit pun berbicara terlebih dahulu dengan sang kekasih, walau hanya sekadar basa-basi.

Memangnya itu penting? Dino bukan tipe orang yang senang berbasa-basi, apalagi jika membahas sesuatu yang dirasa tidak terlalu penting.

Lisa sudah masuk ke dalam pagar, dan berdiri di depan pintu berwarna hitam pekat berukuran besar. Pintu utama yang terbuat dari bahan yang kokoh dan berkualitas, itu adalah pintu depan rumahnya.

Sang gadis Hogward memandang punggung tegap pemuda tambatan hatinya itu sampai sang pemuda masuk ke dalam halaman rumah. Punggung Dino pun hilang terhalangi oleh pagar tinggi rumah kediaman keluarga Leckner yang dibuat tak berjeruji.

Bahkan rumahnya saja seperti tak membiarkan Lisa masuk. Gadis itu lalu menghela napas panjang, rasa sesak masih merongrong dirinya sejak tadi. Perasaan tak enak menggelayuti hatinya. Gadis itu kemudian berbalik memasuki rumahnya yang megah dan menutup pintunya rapat-rapat.

***

"Dino-kun, kau sudah pulang, Nak?" Pertanyaan sang ibu langsung menyapa gendang telinga Dino tepat setelah pemuda itu baru saja menginjakkan kakinya di ruang tamu kediamannya. "Bagaimana harimu hari ini? Menyenangkan?"

Dino tak menoleh, ia masih sibuk melepas sepatu dan kaos kakinya.

"Dino ...." Gina kembali memanggil. Dino bereaksi, ia menggumamkan sesuatu. Tak terdengar jelas, tak terlihat seperti dia sedang mencoba menjawab pertanyaan dari Gina Leckner, ibunya tersayang.

Gina hanya bisa tersenyum kecil melihat anak bungsunya tak menjawab pertanyaannya. Dino memang anak yang sibuk, dia terlihat begitu kelelahan setelah menghabiskan waktu selama berjam-jam di sekolah. Lagi pula, sistem pendidikan sekarang memang agak sedikit membingungkan.

"Oh, ya, Dino-kun," panggil Gina, mencoba menarik perhatian anak laki-lakinya untuk sekali lagi. "Sudah lama sekali sejak Lisa-chan main ke sini. Terakhir dia ke sini itu sekitar ...." Gina terlihat berpikir serius, mengingat waktu di mana Lisa terakhir berkunjung ke rumahnya. "Sekitar tanggal dua bulan kemarin, dan itu berarti ... sudah hampir satu bulan!"

"Padahal Lisa-chan tinggal di depan rumah kita tapi terkadang dia hanya lewat saja di depan gerbang sambil tersenyum manis. Besok, bisa tidak kau ajak Lisa-chan kemari, Dino-kun?" tanya ibunya dengan riang. Ucapan ibunya itu terdengar seperti permintaan besar.

Dino menatap ibunya sesaat, lalu kemudian dengan cepat ia palingkan wajahnya ke samping. Jelas dari gelagatnya itu, dia tak menginginkan permintaan ibunya terealisasikan.

Gina, wanita separuh baya yang masih terlihat cantik itu menatap anak bungsunya penuh harap. Berharap Dino akan mengabulkan keinginan kecilnya.

Dia memang sangat berharap, anaknya akan membawa Lisa lagi ke rumah mereka. Dino harus menuruti permintaan ibunya kali ini. Lagi pula, Gina sudah sangat merindukan Lisa, anak tetangga yang sudah dia anggap seperti anak kandungnya sendiri. Gadis yang tak pernah membuat Gina bosan saat melihat senyum di wajahnya atau menghabiskannya waktu dengan cara berbincang ringan dengannya.

Dia ingin Lisa sendirilah yang datang ke rumahnya. Tentu saja karena dia ingin gadis itu menghabiskan waktunya lebih lama di kediaman keluarga Leckner, mengingat Lisa adalah kekasihnya Dino.

Dulu sekali, saat Dino dan Lisa masih berusia 14 tahun, gadis dari keluarga Hogward itu sering datang ke rumah mereka. Sekadar berbincang ringan dengan Gina, atau menemani Dino yang sedang bermain game di ruang keluarga.

Aktivitas yang terjadi waktu itu sangat menyenangkan. Namun akhir-akhir ini, ketika kedua anak-anaknya telah tumbuh dewasa dan hampir menyelesaikan pendidikan sekolah mereka, Lisa menjadi jarang berkunjung ke rumah keluarga Leckner, dan ini sudah lebih dari dua minggu—hampir satu bulan.

Dino menepuk keningnya, hingga terdengar suara tepukan yang cukup keras. "Selalu saja begini," gumamnya asal sambil terus menggerutu. Ia sangat kesal, sebab ibunya kembali membawa-bawa gadis itu dalam pembicaraan keduanya. Dino memutar bola matanya dan sama sekali tak membalas ucapan sang ibu. Lelah menjawab permintaan yang tak terlalu penting.

Dino justru menuju arah lain dan menaiki anak tangga, pergi menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.

"Dino-kun," panggil Gina untuk kali ketiga. Namun, Dino mengabaikan hal itu. Akhirnya Gina hanya bisa menggeleng pelan. Sebab tak mendapat tanggapan apa pun dari anak kesayangannya, Dino.

Dia benar-benar berbeda setelah kehilanganmu, Mogi. Wanita paruh baya itu membatin dengan raut wajah sendu, teringat dengan almarhum suaminya yang telah tiada beberapa tahun yang lalu.

***

Langkah kaki lebar Dino akhirnya membawa sang pemilik surai hitam pekat itu sampai di ruang pribadinya yang luas. Dino membuka pintu kamarnya dengan perlahan, sehingga menimbulkan bunyi decit yang pelan. Suara decit dari engsel pintu kembali terdengar ketika pemuda itu menutup lagi pintu kamarnya. Dia mencoba menjaga setiap privasi yang ada.

Seluruh sudut kamar dihiasi oleh berbagai perabot dan aksesori berwarna merah dan hitam yang sedikit mencolok. Nuansa kamar seorang anak laki-laki begitu kuat. Kesan yang didapat pertama kali oleh kamar itu adalah rapi dan nyaman.

Kamar itu sangat luas untuk ditempati oleh seorang anak saja, terlebih lagi dia adalah remaja kelas 3 SMA yang selalu bersifat dingin kepada siapa saja.

Yang mendesain kamar Dino adalah ibunya, itulah mengapa kamar anak itu begitu estetik. Gina memang memiliki selera yang menarik dan itu adalah sumber dari daya tariknya. Dino melangkah pelan, masih dengan seragam sekolah yang melekat di tubuh, ia pun melempar tas punggung hitam yang berisi beberapa buku pelajaran miliknya dengan asal ke sisi ranjang.

Tak peduli ketika tas itu miring dan jatuh ke bawah. Toh, hanya ada buku di dalamnya.

Dino pun langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur yang besar. Kasur itu tampaknya sanggup menampung tiga orang di atasnya, bahkan mungkin saja lebih. Akan tetapi, dari pada berbagi kamar, Dino lebih senang tidur sendiri. Sebab Dino adalah tipe serigala penyendiri, yang tidak suka berbagi kepada orang lain. Terlebih lagi berbagi ranjang, apalagi berbagi ke kakaknya, Rei. Dino tak suka sekamar dengan kakaknya itu.

Tangannya lantas merogoh-rogoh saku celana sekolahnya yang berwarna hitam selama beberapa saat. Setelan seragam sekolah anak itu memang berusaha mengikuti gaya pendidikan di sekolahan Jepang. Dino langsung meraih ponsel yang sedari tadi terus bergetar di dalam sakunya. Siapa yang menghubunginya sore-sore seperti ini? Apa orang itu tidak tahu waktu istirahat?

Dino mendecih. Setelah ponsel itu berhasil diraih oleh tangannya, Dino mengangkatnya dan menekan tombol pengeras suara. Dia tak perlu menaruh ponsel di depan wajahnya, cukup membiarkan suaranya tersampaikan kepada si penelepon.

Dino selalu seperti itu. Dia adalah tipe orang yang tidak mau repot-repot memastikan atau mengetahui siapa gerangan sang penelpon, dia akan menekan tombol hijau dan mendekatkan smartphone hitamnya ke dekat telinga atau menyalakan mode pengeras suara.

"Moshi-moshi*?" Suara gadis muda terdengar menyapa. Gadis itu kembali bersuara, "Halo, Dino-kun? Apa kau baik-baik saja? Aku dengar kau terjatuh saat pelajaran olahraga tadi. Dino-kun, apa itu benar?" Orang itu bertanya di ujung sana, tidak memberikan kesempatan kepada Dino untuk menjawab pertanyaannya satu per satu.

Suara gadis itu terdengar cemas.

"Hn." Hanya dua huruf konsonan yang keluar dari mulut Dino sebagai perwakilan atas semua pertanyaan dari seseorang di ujung telepon sana. "Aku baik-baik saja."

"Aku khawatir sekali denganmu, Dino-kun. Aku takut kamu terluka." Suara isak tangis seorang perempuan muda mulai terdengar lirih dari seberang telepon. Dino mengangkat ujung bibirnya sedikit, tersenyum tipis.

Tidak bermaksud mengejek, dia tersenyum karena dia senang gadis itu mengkhawatirkan dirinya.

"Ya, aku baik-baik saja, Rosa." Si bungsu dari keluarga Leckner itu menjawab dengan cepat. "Hanya sedikit lecet saja," sahut pemuda itu.

"Ya tuhan, benarkah itu?" tanya sang gadis, yang disusul oleh tarikan napas panjang. "Yokatta na*. Aku senang kau baik-baik saja, Dino-kun." Ucapan lega menyusul dari mulutnya, menggantikan isak tangis kecil seorang gadis dari keluarga Manoban.

Dino lagi-lagi tersenyum mendengar kata-kata gadis itu. Baru saja ia akan mengatakan sesuatu kepada sang gadis, di saat bersamaan terdengar bunyi 'bip' sebagai tanda ada satu pesan yang masuk ke ponsel pintarnya.

Dino lalu menatap ponsel di tangannya, bermaksud melihat siapa yang mengirim pesan di sore hari ini. Sebelum memeriksanya, Dino meminta waktu sejenak kepada Rosa yang langsung disetujui oleh gadis bernama lengkap Rosa Manoban itu.

Dino melihat sebentar kepada siapa yang mengirimkan pesan. Hanya melihat namanya saja, dia sudah tak tertarik. Tanpa berniat membuka dan membaca isi pesan tersebut, Dino kembali melanjutkan obrolannya dengan Rosa.

"Aku sudah selesai," ucap pemuda itu datar.

"Eh? Sudah selesai, Dino-kun? Cepat sekali," ujar Rosa keheranan. Sebelumnya, pemuda Leckner itu meminta izin padanya ingin memeriksa sesuatu, lalu kemudian Dino kembali berbicara padanya seolah tak terjadi apa-apa. Suara gadis Manoban itu tidak terdengar serak lagi seperti sebelumnya, dan hal itu membuat Dino tersenyum tipis.

"Hn, ya, aku sudah selesai, Rosa. Tolong, jangan tanyakan lebih lanjut lagi tentang hal itu," jawab si bungsu Leckner dengan cepat. Ia tidak ingin moodnya rusak karena suatu alasan yang tidak ia sukai. Apalagi tentang siapa orang yang mengirimkan pesan padanya.

"Lebih baik kita bahas hal lain saja."

Mereka kemudian berbicara dengan santai. Keduanya terlihat asyik dengan topik pembicaraan yang sedang mereka bahas. Sesekali si bungsu keluarga Leckner itu akan tertawa pelan saat mendengar guyonan lucu dari sang gadis Manoban.

Rosa adalah anak yang sangat tenang, suaranya terdengar manis di ujung telepon sana. Memang lebih dominan Rosa yang bercerita, tapi itu tidak masalah selama keduanya menikmati pembicaraan.

Dino terlihat ... begitu bahagia. Meskipun dengan cara yang menurut sebagian orang sangat sederhana. Akan tetapi, tetap saja, apa pun hal yang berhubungan dengan orang yang kita cintai, maka hal itu akan terasa sangat spesial.

Mereka sangat menikmati momen itu.

Tanpa mengetahui dan menyadari bahwa di jendela yang berada tepat di seberang jendela kamarnya Dino, terdapat seorang gadis dengan mata cokelat yang senada dengan warna rambutnya. Gadis itu tengah menatap jendela kamar Dino dengan raut wajah sendh.

"Mungkin ... pesanku itu tak terlalu penting. Iya, 'kan, Dino-kun?" gumam sang gadis dengan pilu.

* Pojok kata yang muncul dan akan muncul *

Nii-san : Ini adalah sebutan kakak laki-laki, panggilan dalam bahasa Jepang. Karena mereka bersekolah dengan sistem yang sama seperti di Jepang, mereka pun disuruh membiasakan diri menggunakan panggilan ini sehari-hari.

Ji-san : Ini adalah sebutan untuk seorang paman dalam bahasa Jepang. (Baik paman itu adalah keluarga ataupun laki-laki tua biasa.)

Baa-san : Ini adalah sebutan untuk seorang bibi dalam bahasa Jepang. (Baik bibi itu adalah keluarga ataupun laki-laki tua biasa.)

Imouto : Ini adalah sebutan untuk adik perempuan dalam bahasa Jepang. Mohon diingat panggilan dalam bahasa Jepang ini, ya. 

Moshi-moshi : adalah kalimat yang selalu dipakai dalam menyapa seseorang di panggilan telepon.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status