Share

08. Bersembunyi Di Balik Rahasia

    Melupakan itu mudah, yang sulit itu membiasakan diri dengan hal yang berbeda. Mengubah sandaran kemudian beradaptasi untuk menemukan zona nyaman. Berjuang memang tidak pernah semudah yang direncanakan.

***

Perjalanan dilanjutkan dengan berdoa ke kuil, seperti yang selalu Lisa lakukan, dia akan memasukan beberapa koin, menepuk tangannya tiga kali dan mulai berdoa secara khidmat. Banyak keinginan yang ia panjatkan pada tuhan, karena dia ingin semuanya berjalan baik-baik saja.

Jika tak sesuai dengan keinginannya, setidaknya Lisa tahu, kalau yang ia panjatkan itu tepat di sisi Tuhan. Lisa masih terdiam cukup lama, meski doa yang ia tujukan pada Kami-sama telah selesai hampir lima belas menit yang lalu. Kemudian dia pun menyingkir ke pohon besar dekat kuil yang menawarkan kesegaran di bawah terik matahari yang bisa membakar siapa saja dan duduk bersandar pada batangnya.

Si pemilik lensa mata cokelat itu merogoh ponsel merah di saku rok seragamnya, melihat sebentar pada wallpaper ponsel yang menampilkan sesosok wajah dari seorang pemuda yang sedang membaca buku dengan raut wajah serius. Saat itu, dia mengambil foto ini secara diam-diam di perpustakaan.

"Aku sangat menyukaimu, Dino-kun," ucap sang gadis sambil menahan napas. Kesadarannya mulai melayang jauh, gadis itu terbaring sendirian di bawah pohon dekat kuil karena kelelahan. "Aku sangat ... menyukaimu."

    ***

    "Apa tak apa-apa jika aku pulang bersama denganmu, Dino-kun? Bagaimana dengan Lisa?"

    Si gadis bersurai hitam memandang ragu pada pemuda yang ada di depannya, pada pemuda yang tengah menunggunya dengan sepeda yang berada di samping ia berdiri.

    "Kau selalu memikirkan dia," geram Dino tak suka. Ia berdecak lidah beberapa kali dengan ekspresi kesal. "Memangnya aku perlu izin dia dulu untuk membawamu pulang?"

    "T-tapi, aku rasa ini terlalu ...." Rosa berhenti sebentar sebelum melanjutkan, "salah."

    Tatapan gadis itu menatap lurus ke langit sore yang hampir menggelap karena menjelang malam. Pulang dengan kekasih orang lain tanpa sepengetahuannya adalah tindakan dosa, dan Rosa sedang melakukan dosa.

    "Toh, Lisa sendiri sudah tahu, 'kan? Berhenti memikirkan dia saat sedang bersamaku," jelas Dino pada akhirnya. Pemuda itu mendapati keraguan di wajah Rosa, ia pun memutar matanya bosan. Entah sudah berapa kali ia merasa kesal dengan pertanyaan itu.

    Rosa masih menunjukkan keraguannya melalui tatapan mata yang ia arahkan kepada Dino. Jelas dia tak bisa menampik perasaan bahagianya saat ini, sebab bisa pulang berduaan dengan pemuda yang dicintainya, tapi seperti yang sempat ia katakan tadi, ini terlalu salah.

    Bukanlah suatu kebenaran jika pulang bersama dengan kekasih sahabatmu. Kekasihnya yang sangat kau cintai, kekasihnya yang juga sangat mencintaimu.

    Tapi, apa yang salah dengan ini? Mereka sama-sama mencintai.

    Rosa tertunduk sebentar, menggumamkan permintaan maaf dari lubuk hatinya yang paling dalam untuk Lisa dan berharap tak akan ada keraguan lagi setelah ini. "Untuk kali ini saja, Lisa-chan. Maafkan aku yang telah meminjam Dino-kun walau hanya sebentar," bisiknya bagai melafalkan mantra.

    Sesaat kemudian, Rosa mengangguk mantap, ia lalu mendudukkan dirinya pada boncengan sepeda Dino, mengalungkan lengan mungilnya ke pinggang pemuda Leckner itu, dan kali ini tak terlihat adanya penolakan. Tak ada tepisan untuk menjauh.

    Ah, berbeda jauh dengan keadaan yang didapat oleh gadis yang menjadi kekasih resmi pemuda itu.

    ***

    Lisa menggerakkan kelopak matanya, tubuhnya pegal semua, tak nyaman tidur dengan posisi duduk bersandar pada sebuah pohon seperti ini, lehernya menjadi kaku. Ditambah lagi, ada semut merah yang menggigit tengkuk belakangnya. Akan menjadi pelajaran bagi Lisa ke depannya, bahwa tidak baik tidur bersandar di sebuah pohon. Karena tidur di bawah pohon dalam kehidupan nyata tidak seperti di anime.

    Tepat ketika gadis pemalu itu membuka mata, yang ia lihat pertama kali adalah wajah seorang pemuda bertampang berandalan yang berjarak sekitar satu meter saja darinya. Pemuda itu tengah asyik mengamati Lisa yang masih bersandar pada pohon beringin di belakangnya. Pikiran Lisa jelas belum terkumpul sepenuhnya, sang gadis masih berusaha mengais sisa-sisa kesadaran yang tercecer karena jatuh tertidur tadi.

    Butuh waktu semenit penuh untuk Lisa menyadari jika wajah laki-laki di depannya ini bukanlah bagian dari mimpi. Lisa langsung memekik kaget, membuat pemuda di depannya refleks menutup telinga karena merasa terganggu dengan suara keras yang Lisa sebabkan.

    "HEH! Hentikan! Kau buat gendang telingaku pecah tahu! Suaramu itu jelek, tak usah pamer nada tinggi segala denganku!" sungutnya jengkel.

    Lagi-lagi hanya umpatan yang Lisa terima, jelas menjadikan ekspresi kesal tercetak jelas di wajah cantik gadis itu. Rasanya Lisa mengenal pemuda yang masih sibuk menggerutu padanya ini.

    Ah, memorinya seketika membawanya pada kejadian tabrakan tiba-tiba yang ia alami sesaat sebelum ia mengunjungi makam Mogi Leckner beberapa saat yang lalu. Kenapa Lisa harus bertemu dengan pemuda berandalan itu lagi, sih?

    Sepertinya dunia tak cukup luas untuk membiarkan Lisa menjauh dari si pemuda aneh yang selalu berkata kasar. Lisa mengerling pada langit biru yang kini berubah warna menjadi jingga. Oh, sudah senja hari, tampaknya sang matahari akan dijemput oleh dewi malam dalam beberapa saat lagi.

    Yang Lisa lakukan selanjutnya adalah mengecek arloji yang melingkar di pergelangan tangan kirinya, terkejut melihat jarum pendek yang hampir melewati angka lima. Ah, sudah terlalu sore, pastilah ayahnya khawatir jika dia pulang terlambat. Lagipula, tak baik tidur di bawah pohon beringin, yang ada dia hanya akan ditempeli makhluk halus.

    Tanpa menghiraukan pemuda yang masih berjongkok dengan tatapan aneh seraya mengikuti tiap gerakan yang Lisa lakukan, sang pemilik surai panjang kecokelatan itu pun pergi begitu saja seolah tak pernah ada orang yang mengumpatnya tadi.

    Pemuda itu tercengang di tempat. "Dasar tak tahu berterima kasih," komentar sang pemuda seraya memandangi punggung Lisa yang berjalan menjauh darinya. "Padahal aku sudah mau repot-repot menunggunya yang bodohnya malah tertidur di tempat sepi seperti ini. Dasar gadis ceroboh."

    Ucapan itu menguap begitu saja bersamaan dengan kepergian Lisa yang tak menoleh sama sekali ke belakang.

    ***

    Kita datang pada dunia yang sama, menjalani hidup seperti saudara, tapi seberapa kerasnya pun aku mencoba, takdirku tak akan pernah bertemu denganmu. Kita berdampingan, dan yang paling kusesali adalah kita tak bisa berakhir pada satu titik yang sama.

    ***

    Remaja perempuan yang mempunyai surai panjang sepinggang melangkah dengan berani, berjalan pelan menyusuri jalan kecil di tengah-tengah pagar tinggi rumah warga di desanya.

    Sesekali dia akan bersenandung lembut, suaranya mengalun pelan, menyanyikan semua melodi yang mungkin saja bisa mewakili suasana hatinya saat ini. Sampai kemudian dia terdiam ketika sebuah sepeda dengan dua orang penumpang melewatinya begitu saja. Tanpa memedulikan sekitar, sepeda itu terus melaju dan membiarkan Lisa terdiam di jalan itu.

    Gadis itu mendadak panas dan dadanya terasa sesak, napasnya sedikit demi sedikit mulai memburu tak terkendali. Panas di hatinya lama-lama merambat naik ke tenggorokan, membuat ia sulit menelan ludahnya sendiri, sulit mengeluarkan suaranya sendiri.

    Dia mengenal sepeda itu, dia mengenal siapa si pembonceng yang duduk di depan, dia juga mengenali surai hitam yang selalu beraromakan sampo Rejoice sachetan itu.

    Walau Lisa bertekad untuk berubah, ia tetaplah seorang gadis biasa yang tak luput dari kesalahan dan penyesalan. Ia tak kuasa menolak saat rasa panas itu beralih pada kedua matanya, membuat cairan-cairan bening kembali memenuhi kelopak mata, menggantung di pelupuknya, siap terjun kapan saja dengan bebas ke pipi mulus yang ia miliki.

    Kenapa? Kenapa dia harus melihat keduanya bersama-sama? Di saat dia sedang berusaha meneguhkan hati dan pikirannya, mengapa Lisa harus melihat tangan sang gadis yang memeluk erat kekasihnya?

    Tangan Lisa mengepal erat, kemudian ia mendongakkan wajah, ia tak boleh menangis sekarang. Kini dia sudah berubah, dia berbeda, jadi tak ada gunanya ia menangis seperti yang sudah-sudah.

    Setelah dirasa cukup mampu menahan air mata yang ia yakini tak akan mengalir turun, Lisa kembali memandang pada dua sosok di depan sana. Keinginan untuk memakan sesuatu yang manis kembali menghampiri. "Mau es krim lagi," bisiknya lirih.

    Dengan membeli es krim, mungkin hatinya akan sedikit lebih dingin, setidaknya dapat mengurangi panas yang muncul hatinya. Semoga saja.

    ***

    Gadis yang baru saja menginjakkan kakinya ke lantai rumahnya dibuat terheran-heran saat mendengar suara yang ia pikir nyanyian seseorang jika ia abaikan nada salah di mana-mana. Lantunan tembang lama era 70-an dinyanyikan oleh seorang pria dengan sumbang.

    Lisa menghampiri sumber suara dan yang pertama ia temukan adalah sosok sang ayah yang tengah sibuk memasak di dapur rumah mereka. Sepertinya Doran tak menyadari kehadiran anak sulungnya itu karena disibukkan dengan memotong sayuran—entah apa—di atas talenan.

    "Tadaima*, Tou-san," sapa Lisa ketika ia sudah berada di dekat sang ayah. Doran berbalik badan, menoleh dan menatap anak gadisnya yang sedang mengamati apa yang sedang dia lakukan. Mendadak pria itu terlihat salah tingkah, meski sudah berusaha untuk setenang sikapnya semula.

    "Okaerinasai*, baru pulang?" tanyanya sambil menaruh kembali pisau di pinggir talenan, dia akan melanjutkan eksperimen masaknya lagi nanti. "Bagaimana hubunganmu dengan Dino hari ini?"

    Lisa tersentak ketika nama itu disebutkan, menyunggingkan senyum sedih yang kemudian berganti dengan seulas garis tipis di bibirnya. "Emm, ya, baru saja. Hari ini sedikit terlambat karena aku harus pergi ke kuil dulu untuk berdoa. Tou-san sedang masak apa?"

    Lisa bukan anak tak tahu sopan santun yang enggan menjawab pertanyaan orang tuanya, tapi rasa penasaran lebih menguasai dirinya sehingga mendorong gadis itu menghiraukan sejenak pertanyaan tentang hubungannya dengan Dino itu. Apalagi ketika tahu Hogward Doran, sang ayah sedang sibuk mengolah sesuatu sendirian.

    "Entahlah, Tou-san juga bingung hendak masak apa," jawabnya lirih. Doran menatap bingung pada alat masak yang sedang di genggam tangannya. Anak gadisnya menggelengkan kepalanya prihatin, Lisa lalu mendekat, dan memandangi telur, daun bawang, sosis dan bahan makanan lainnya yang tergeletak tak beraturan di atas meja makan.

    "Apa Tou-san sedang mencoba membuat omelette?" tanya Lisa lagi setelah berhasil mengumpulkan.

    Doran terlihat ragu sebelum mengangguk. "Mungkin? Ayah pikir mudah membuat omelette saat melihat resepnya di iklan, tapi ternyata praktiknya jauh berbeda," jawab Doran dengan raut wajah yang tampak kecewa. "Ternyata sulit sekali menentukan isian yang pas."

    Lisa tersenyum, sebuah senyum bahagia yang baru hari itu bisa ia tunjukkan setelah berbagai perasaan sedih yang menerpa. "Kalau begitu, akan Lisa bantu. Apa ini ada hubungannya dengan Tante Melly?"

    Doran menolak menjawab, pria itu justru memalingkan wajahnya yang bersemu merah, tak berani menatap anak sulungnya. Tanpa suara, Lisa jelas mengerti apa maksud dari tindakan sang ayah yang terlihat salah tingkah, meski dia tak diberitahu sekalipun oleh ayahnya, tapi itu sudah cukup menjadi bukti jika memang benar ayahnya sedang berusaha membuatkan sesuatu untuk seorang wanita. Senangnya, ayahnya sudah menjadi seorang pria yang bahagia ketimbang dirinya di masa lalu.

    Suara bel rumah menginterupsi pelajaran masak yang sedang ayah dan anak itu lakukan.

    Bel kembali berbunyi dan membuat si gadis bersurai panjang kecokelatan dengan segera bergegas menghampiri pintu utama rumahnya, masih dengan celemek yang menempel di tubuhnya yang mungil. Begitu pintu terbuka lebar, alangkah terkejutnya Lisa.

    "Ah! Dino-kun! Sedang apa?" Pertanyaan bernada riang terlontar dari mulut gadis itu ketika mendapati yang tengah berdiri di balik pintu rumahnya dengan menampilkan wajah datar adalah sang pujaan hati, Dino Leckner. Pemuda itulah yang telah menekan bel rumahnya beberapa kali.

    "Hm, untukmu," ucap Dino sembari menyerahkan kotak berbungkus kain kepada Lisa, yang jelas diterima dengan sukacita oleh gadis cantik itu. Dino kembali melanjutkan, "Kue ini buatan Kaa-san."

    "Terima kasih—eh, maksudku arigatou gozaimasu*," ucap Lisa dengan tulus meski sempat salah mengucapkan. Sang gadis kemudian menatap Dino dengan tatapan penuh makna. Dino baru saja akan berbalik pergi saat tangan Lisa menarik cepat belakang kaosnya, membuat pergerakannya tertahan di tempat.

    "Em, itu ... tadi Dino-kun pulang dengan siapa?"

    Dino yang terhenti karena tarikan Lisa di punggungnya berbalik dan memandang kesal sang gadis. Ia menatap gadis yang sedang menatapnya dengan raut muka penasaran. Lisa yakin, pemuda itu tak akan bicara jujur berhubung lamanya suara yang keluar dari mulut si bungsu keluarga Leckner itu.

    Namun, dengan ketenangan yang selalu Dino tunjukkan di mana pun ia berada dan dengan siapa pun ia berhadapan, Dino memandang Lisa tepat di manik cokelatnya, seolah menantang sang gadis pemalu untuk membalas tatapannya.

    "Aku hari ini pulang dengan Rosa. Apa kau senang mendengarnya?"

    Dino tersenyum miring, tetapi malah terlihat seperti sebuah seringai tipis ketika dia menunggu reaksi yang Lisa tampilkan, berharap gadis itu akan tersentak karena kaget mendengarnya. Lisa tahu jika Dino sedang mencoba menghasut dan menggoyahkan perasaannya. Oleh karena itu, Lisa pun mempererat genggaman tangannya pada kotak berisi kue yang baru saja Dino berikan padanya.

    Kedua mata Lisa tak bisa ia alihkan sama sekali dari pemuda yang terkenal memiliki ekspresi yang minim itu. Lisa sebenarnya tak menduga jika Dino akan berkata sejujur ini padanya, tapi, tak apa. Toh, tak ada gunanya tersentak karena kaget sekarang, dia juga harus mengutarakan semua hal yang ada di pikirannya saat ini juga kepada Dino. Jika tidak hari ini, masih ada hari besok dan besoknya lagi.

    Keheningan yang biasa menyelimuti mereka berdua kembali menyapa, Lisa masih berkutat dengan pikirannya sendiri. Sementara Dino menunggu dengan perasaan sebal luar biasa, sebab absennya suara gadis di depannya ini membuatnya tak bisa pulang ke rumah secepat yang dia inginkan. Dia bosan menunggu apa yang hendak dilakukan oleh gadis Hogward yang masih saja diam membisu di tempat.

    "Kalau tak ada yang akan kau katakan lagi, aku mau pulang," imbuh Dino pada akhirnya setelah bosan menunggu Lisa angkat bicara. Pemuda itu berdecak pelan saat tak mendapati reaksi apa pun dari gadis di depannya. Dino kemudian balik badan setelah tak ada lagi tangan yang menahan kepergiannya. Satu langkah lebar berhasil Dino lakukan, tapi ketika dia hendak melanjutkan langkahnya, tiba-tiba saja dia bisa mendengar kalimat yang nyaris terdengar mirip gumaman keluar dari mulut seorang gadis yang terkenal introvert.

    "K-kau beruntung mempunyai aku di sisimu, Dino-kun," bisik gadis itu dengan lirih. Dino ingin tertawa keras begitu mendengar gumaman sang gadis tadi. Lalu dengan langkah lebar yang jarang ia perlihatkan, Dino pun berbalik lagi dan menuju ke arah Lisa.

    Tanpa merasa bersalah, Dino mencengkeram kuat dagu mungil si pemilik suara lembut itu, membuat Lisa merasa akan ada bekas merah di kulitnya, sesaat setelah Dino melepas cengkeramannya yang kuat itu.

    "Tidak, kau salah," ralat Dino dengan suara yang dingin dan menusuk. Seakan masuk menembus ke alam pikiran. "Aku akan merasa beruntung jika kau menghilang dari hidupku."

    Perkataan menusuk itu diucapkan dengan pelan oleh Dino, menekan pada setiap kata, menusuk telinga sang gadis Hogward dengan kata yang dapat menciutkan nyali seseorang dan segera saja meruntuhkan pendirian dari seorang gadis yang menyimpan perasaan cinta yang besar untuknya.

    Kali ini, Dino benar-benar meninggalkan rumah sang kekasih. Pemuda itu berjalan cepat masuk ke rumahnya yang berada tepat di depan kediaman keluarga Hogward. Lalu menghilang di balik pagar rumah keluarga Leckner yang cukup tinggi.

    Tepukan pelan di bahu kirinya membuyarkan Lisa yang tengah melamun bagaikan patung seraya menundukkan kepalanya dalam-dalam. Gadis itu lalu menatap si penepuk yang ternyata adalah sang ayah. Mau tak mau, ia pun memperlihatkan cairan bening yang kembali merayapi kelopak matanya yang terasa panas. Gadis itu mulai menangis dan memeluk ayahnya dengan erat. Tersedu-sedu dalam pelukan hangat seperti ketika ia masih sangat kecil dulu.

    Apa aku masih bisa bertahan jika tetap seperti ini? Bisakah aku? Lisa membatin dengan sisa-sisa kesedihan yang ada.

    ****

    Pojok kata yang muncul dan akan muncul.

    Tadaima*: Ucapan yang berarti 'aku pulang dalam bahasa Jepang. Ini merupakan sebuah ucapan ketika memasuki rumah dalam budaya Jepang. Diucapkan oleh orang yang baru tiba di rumahnya.

    Okaeri*: Ucapan yang berarti 'selamat datang di rumah' dalam bahasa Jepang. Biasa diucapkan oleh orang rumah ketika menyambut anggota keluarga yang datang.

    Arigatou gozaimasu*: "Terima kasih banyak" dalam bahasa Jepang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status