Share

07. Seperti Tak Terjadi Apa-apa

    Pada keesokan harinya, Lisa melakukan rutinitasnya seperti biasa. Bangun pagi-pagi sekali untuk memasak dan bersih-bersih rumah, menyiapkan bento untuknya dan sekalian untuk ayahnya, memeriksa tas sekolahnya sekali lagi agar tak ada barang yang tertinggal.

    Klise, hanya itu yang ia lakukan sebelum mandi dan berangkat ke sekolah. Setelah melakukan rutinitas yang biasa ia kerjakan setiap pagi, Lisa pun beranjak ke kamar mandi, membersihkan tubuhnya. Selesai mandi dan mengeringkan badan, Lisa mengambil seragam sekolah dari dalam lemari pakaian, memakai seragam itu dengan cepat, lalu memasang dasi di kerah seragamnya, juga sedikit memoles wajahnya dengan bedak tipis.

    Lisa memandang pantulan dirinya di cermin, cukup bagus dan rapi.

    Tak perlu terlalu mencolok, sebab dia sudah cukup manis. Hanya saja, Lisa tak berpikiran seperti itu. Dia tak tahu jika sebenarnya dia memiliki senyuman yang indah. Memastikan sekali lagi penampilannya di cermin dan Lisa akhirnya selesai juga. Tak perlu berlama-lama baginya untuk mematut diri di depan cermin. Tidak bagus jika terlalu lama memandangi diri sendiri, yang ada hanya akan menimbulkan kesombongan.

    Lisa melirik jam digital yang berada di atas meja riasnya, sambil melangkah keluar dari kamarnya gadis itu bergegas menuruni anak tangga untuk sarapan di bawah bersama sang ayah.

    Tampak belum ada siapa-siapa di meja makan, dan itu berarti ayahnya masih belum bangun dan keluar dari kamar. Lisa tersenyum sembari menuju dapur dan menyiapkan sarapan dengan cepat. Kaki mungilnya bergerak lincah saat mengantar dan menghidangkan makanan dengan lauk seadanya di atas meja makan. Biasanya dia sudah memasak makanannya sebelum mengenakan seragam, jadi ketika turun ke bawah sarapan tinggal disiapkan saja.

    Tapi pada pagi itu tidak, jadi Lisa harus menyiapkan dari awal dan begitu selesai dia tinggal duduk menunggu ayahnya datang ke meja makan. Sang gadis menatap makanan yang telah ia siapkan untuk sarapan pada pagi hari itu, ada nasi goreng, dua telur mata sapi, dan juga mie rasa soto banjar yang sudah dipanaskan.

    Sederhana memang, karena ia sekarang hanya tinggal berdua saja dengan ayahnya semenjak Mira adiknya masuk ke sekolah tingkat pertama. Adiknya itu memang masuk ke sekolah berasrama, dan hanya pada waktu libur saja dia akan pulang ke rumah.

    Samar-samar Lisa seperti mendengar suara pintu berderit yang dibuka perlahan, menandakan ada seseorang yang membuka pintu. Terdorong rasa penasaran, Lisa pun menoleh ke sumber suara dan tersenyum lembut begitu menemukan seraut wajah ngantuk seseorang. Ayahnya yang baru saja bangun dari tidur telah mendekat ke meja makan.

    "Halo Ayah, ohayou*," sapa Lisa dengan riang. Tatapannya bertemu dengan Doran.

    Ayahnya tersenyum dan membalas sapaan anak gadisnya itu, "Ohayou, Lisa."

    Doran kemudian mendudukkan dirinya di salah satu kursi, berseberangan dengan kursi tempat Lisa berada. Mereka secara bersama-sama mengatupkan kedua tangannya di depan dada, berdoa dalam hati dan setelahnya mengucapkan, "Ittadakimasu.*"

    Lisa dengan perlahan menyendokkan kuah mie instan ke dalam mulutnya, sedangkan sang ayah meraih sepotong telur mata sapi dengan sendoknya. Memotongnya menjadi beberapa bagian, lantas memasukannya ke dalam mulut bersamaan dengan nasi, mengunyahnya sampai halus lalu menelannya hingga hanya menyisakan sendok kosong di tangan.

    "Seperti biasa, makanan yang kau buat selalu nikmat, Anakku," puji Doran sambil tersenyum tipis. Lisa tersipu, menurutnya makanan yang ia buat tak seperti yang dikatakan oleh sang ayah, tapi ia sangat senang mendengar pujian itu terlontar keluar dari mulut ayahnya.

    "Terima kasih, Tou-san," balasnya malu-malu. Ayah Lisa tersenyum tipis menanggapinya. Mereka melanjutkan sarapan dengan kesunyian yang menyelimuti. Hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring makan, dan selain itu tak ada suara lain yang menginterupsi. Karena memang saat berada di meja makan, akan dirasa kurang sopan jika ada yang berbicara kecuali ada sesuatu yang penting yang bisa dibicarakan. Itu pun formalitas saja.

    Selesai makan, Lisa memberanikan diri buka suara. "Bagaimana keadaan Ayah hari ini?"

    Pertanyaan itu dibalas dengan anggukan kecil dari Doran. "Cukup baik, Lisa," jawabnya sambil menyapu bibir dengan tisu makan. Lisa tersenyum dan segera berdiri merapikan piring bekasnya dan sang ayah makan, lalu membawanya ke tempat pencucian piring untuk dibersihkan.

    Sedangkan sang ayah beranjak ke dalam kamar mandi, menuntaskan buang air sekaligus membersihkan diri. Tepat setelah Lisa selesai mencuci piring, sang ayah keluar dari dalam kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk.

    Ayahnya segera menuju kamar, dan memakai baju yang sudah tersedia, siap berangkat ke tempat kerja. Anaknya mengambil sepatu sekolah, sebelumnya Lisa sudah memakai kaos kaki warna putih dengan belang tipis warna hijau yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Kaos kaki itu terasa nyaman, barulah setelah itu dia mengenakan sepatu sekolahnya yang berwarna hitam.

    "Kau akan langsung berangkat, Lisa?" Suara berat Doran mengejutkan Lisa, dia mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan ayahnya tadi.

    Gadis itu memeriksa isi tasnya sekali lagi, takut jika ada barang yang tertinggal, lalu setelah itu ia tampak gelisah saat mengingat sesuatu. Dia menepuk pelan dahinya karena telah melupakan sesuatu yang teramat penting, dan segera berlari menaiki tangga menuju kamarnya yang ada di lantai dua, mengambil sesuatu yang sempat terlupakan itu, kemudian bergegas turun setelah mendapatkan barang yang diinginkannya.

    Sang ayah mengernyit heran melihat putrinya menenteng dua buah barang di tangan dengan wajah yang terlihat berseri-seri. Seakan baru saja menemukan harta karun berharga.

    "Ittekimasu!*" pamit Lisa dengan ceria, ia membuka pintu rumahnya dan berlari kecil sembari bersenadung pelan.

    "Hm, itterashai*," balas sang ayah seraya menatap punggung putri sulungnya yang semakin menjauh dari pagar rumah, ia lalu menutup pintu depan dengan segera.

    Dino memandang lurus pada kekasihnya yang sudah siap sedia berdiri di depan gerbang rumahnya dengan senyum mengembang, wajah porselen milik gadis itu memancarkan keceriaan yang jarang sekali dia lihat.

    "Kau perlu ini dan ini untuk pelajaran olahraga nanti, Dino-kun," ucap Lisa penuh perhatian seraya menyodorkan sebotol air minum dan juga handuk kecil kepada Dino.

    "Hari ini tak ada jadwal olahraga untuk kelasku," jawab Dino dengan ketus, setengah merasa geli sebab Lisa tak ingat dia tak ada mata pelajaran olahraga di hari itu. Dino lalu menepis botol dan handuk kecil yang masih disodorkan oleh Lisa karena tak segera diambil.

    Gadis yang lagi-lagi mendapat ucapan sengit dari kekasihnya itu hanya tersenyum malu, sama sekali tak merasa tersinggung. "Ah iya, aku lupa, gomen," bisiknya lembut.

    Sang gadis memasukan handuk dan botol minum yang ia bawa ke dalam tas sekolah miliknya, lalu bergegas menaiki boncengan sepeda Dino. "Kau tak perlu membawakan aku handuk dan botol minum itu lagi besok. Bersikap biasa saja, jangan berlebihan," ucap Dino mengingatkan.

    Dino tidak suka diperlakukan seperti itu terus oleh Lisa dan apa yang dilakukan oleh gadis itu di setiap harinya sudah agak berlebihan menurutnya.

    "B-baiklah, aku mengerti," jawab Lisa pelan sambil menundukkan kepala.

    Dino mendengkus sekali. "Bagus," katanya.

    Tak perlu berlama-lama bagi Dino untuk beranjak dari depan rumah keluarga Hogward, karena ia ingin segera sampai ke sekolah dan menghindar dari gadis di belakangnya. Sang gadis pemilik rambut panjang kecokelatan yang tangannya memegang jas Dino kembali disingkirkan oleh Dino yang risih. Untuk kali ini, sang gadis bersikukuh tetap mencengkeram jas itu.

    "Sebentar saja, Dino-kun. A-aku janji hanya sebentar saja."

    Setelah ini tidak lagi, sungguh, bisik Lisa dalam hati. Walau Dino tidak percaya dengan apa yang baru saja Lisa lontarkan, akhirnya dengan sangat terpaksa, ia pun mengiyakan permintaan gadis itu. Dino memulai hari Kamisnya dengan mood yang luar biasa buruk setelah sang gadis melingkarkan tangan di perutnya.

    Dino tak pernah merasa nyaman dengan keberadaan Lisa di sampingnya. Apa selama ini gadis itu tak peka terhadap sikap apatis yang sengaja Dino perlihatkan padanya? Padahal Dijo bermaksud membuat sahabat kecilnya itu menyadari bahwa tak ada sedikit pun rasa yang ia miliki untuk Lisa.

    Sejak dahulu sampai kapan pun itu, tidak akan pernah.

    ***

    "Kau kenapa, kawan?" Zaki merangkul Dino pertama kali ketika anak itu baru saja masuk ke ruang kelas. Zaki adalah teman sebangku Dino sejak kelas satu.

    "Hn." Dino memberikan respons yang terlalu singkat untuk menjawab rasa penasaran teman sebangkunya dan membuat Zaki berdecak kesal karena sikap temannya tidak pernah berubah sejak dulu. Apa dengan dua huruf konsonan itu semua orang akan langsung tahu maksud sebenarnya dari ucapan si bungsu Leckner?

    Rosa memandang takut-takut pada sahabatnya yang terlihat bayangannya di depan pintu kelas, ia menyesal sudah berkata bahwa dia menyukai kekasih gadis itu kemarin, tapi segalanya sudah terlanjur terucap. Tak akan bisa kembali seperti semula. Rosa jelas akan menghadapi masalahnya sendirian dan dia tak akan menghindar kali ini. Jadi seperti inilah seorang Rosa Manoban, mengikuti arah jalan Lisa yang semakin dekat dengan tempat duduknya.

    "Selamat pagi, Rosa-chan," sapa Lisa terdengar riang.

    Mungkin akan sangat biasa jika Lisa datang dengan raut muka kusut, tapi dengan keadaan Lisa sekarang, jelas Rosa bingung atas sikap sang gadis yang seolah tak pernah terjadi apa-apa padanya. Mungkin sebenarnya Rosa harus bersyukur Lisa tak lagi mengingat hal kemarin dan juga bersikap "tak ada yang terjadi" sama seperti teman baiknya itu. Bersikap seolah kejadian kemarin itu tak benar-benar terjadi. Apakah itu mampu menghilangkan masalah ini begitu saja?

    "Lisa-chan, tentang kemarin—"

    "Aku sudah tak memikirkannya," potong Lisa dengan cepat. Dia tak ingin kebahagiaannya hari itu terusik dengan ingatan suram kemarin sore. Rosa terdiam seketika, kata-kata yang semalam berhasil ia kumpulkan untuk menjelaskan masalah yang terjadi di antaranya dengan Lisa mendadak buyar seketika.

    Jika seperti ini, apa yang akan Rosa katakan?

    Lee Na, si gadis blasteran Korea yang duduk tepat di depan meja Lisa pun menoleh ke belakang, memandangi sahabatnya yang sibuk berkutat dengan buku pelajaran yang baru beberapa saat lalu ia keluarkan dari tas. "Sepertinya Lisa-chan senang sekali hari ini. Apa sesuatu sedang terjadi?" tanya gadis itu tak kalah cerah seperti matahari.

    Rosa yang baru saja selesai dengan alam pikirannya lantas ikut memperhatikan Lisa dengan saksama, kali ini dia harus setuju dengan ucapan gadis berkuncir dua yang suka sekali makan sate. Lisa terlihat berbeda, senyumnya lebih cerah dan bermakna.

    "Hontou?*" tanyanya, dan langsung mendapat anggukan dari teman-temannya.

    "Hm, ya ... mungkin karena aku berharap akan ada kejadian baik yang akan kudapatkan hari ini," ucap Lisa sambil menyunggingkan senyum terbaik yang dia miliki.

    Semua akan baik-baik saja, dan dia tahu itu.

    ***

    Aku akan sembuh dengan cepat, meski dipukul hingga hancur berkeping-keping, aku akan tetap berdiri di atas kedua kakiku.

    ***

    Tak ada yang memintanya menunggu di sana, pun dengan orang yang sedang ia tunggu, tak mengharapkan kehadirannya. Namun dengan pendirian teguh yang ia punya, ia tetap duduk menunggu di bawah pohon dekat lapangan sekolah sambil memangku botol air dan handuk kecil berwarna hijau.

    Ia tidak melakukan apa-apa, ia hanya sedang memandang kagum pada objek yang sedang di nantinya sejak tadi. Sosok itu mendekat dan berjalan menghampirinya.

    "Sedang apa kau di sini?" tanya Dino setelah mendekat dengan peluh hampir membasahi seluruh tubuh dan bajunya yang basah oleh keringat seorang kapten dari tim sepak bola Furukawa High School itu.

    Ssuai jadwal pada hari Rabu, ada ekstrakurikuler sepak bola yang harus Dino ikuti, yaitu menjadi penjaga gawang di timnya sendiri. Tentu tidak mudah bahkan bagi orang sepiawai Dino sekalipun. Lisa, gadis yang ditanya oleh kekasihnya pun bangkit berdiri dari posisinya semula.

    Gadis itu kembali menyodorkan handuk dan botol minum yang tak pernah bosan ia persiapkan untuk Dino, yang kali ini diterima dengan baik oleh pemuda itu. Reaksi Dino saat itu membuat Lisa tersenyum senang.

    "Em, Dino-kun, aku tak bisa pulang dengan Dino-kun sehabis ini," ucap Lisa memberitahu dengan suara pelan. Sang gadis memilih untuk menatap tepat pada iris mata berwarna hitam milik pemuda tampan di depannya. Dino masih tak bereaksi apa pun selama beberapa saat.

    "Mau kemana?" tanya pemuda itu datar. Dino menenggak air di dalam botol minum pemberian Lisa sampai hanya menyisakan setengah.

    "E-eehh?" Lisa bergumam tanpa sadar. Pertanyaan Dino itu jelas tak pernah diduga sebelumnya oleh Lisa, mungkin kali ini pemuda itu menaruh kekhawatiran padanya. Jadi dengan semangat, Lisa menjawab pertanyaan Dino itu.

    "Entahlah, Dino-kun. Mungkin aku akan kembali ke kuil yang kemarin dan berdoa di sana."

    "Oh, baiklah. Jadi aku punya alasan yang tepat jika ditanya oleh ibuku nanti," jawab Dino dengan ekspresi dingin. Matanya hanya memandang lurus ke depan, tanpa sedikitpun melihat ke Lisa.

    "Ah, iya." Lisa mendesah kecewa, belum saatnya ia mengharap terlalu banyak pada pemuda Leckner itu. Buru-buru ia mengemas barang-barangnya.

    "Baiklah, aku pulang duluan yah, Dino-kun." Lisa lalu berpamitan dengan cara melambaikan tangan disertai rasa canggung yang bercampur dengan antusiasme yang terlihat agak aneh. Ia berbalik menjauh dari lapangan tempat Dino berlatih sepak bola dan berlari menuju kelas.

    Dari pinggir lapangan, manik cokelat milik Lisa menangkap sosok teman sebangkunya yang terlihat sedang bersembunyi di belakang pohon Kamboja. Di tangan mungil gadis bersurai hitam itu, terdapat handuk dan juga sebotol minuman, sama seperti yang Lisa bawa di tangannya. Lisa menarik napas pelan, lalu membuangnya perlahan.

    Rosa tentu akan memberikan handuk dan botol minuman yang ia bawa itu pada Dino, seandainya Lisa tadi tidak bergerak mendahuluinya. Ya, Lisa tahu jika dia dan Rosa sama-sama menyukai pemuda itu, memiliki perhatian yang sama pada si bungsu Leckner, sama-sama mempunyai cinta yang besar, tapi hanya satu orang saja yang mendapat hati dari laki-laki itu.

    Tanpa perlu disebut, Lisa tahu bahwa bukan dia yang dimaksud.

    ***

    Kita jadi seperti dua orang berbeda yang tak saling mengenal. Berdekatan tapi tak mengetahui, beriringan tapi tak pernah menyadari. Jika seperti ini terus, kita akan benar-benar asing terhadap satu sama lain.

    ***

    Berjalan sendiri ke tempat peristirahatan terakhir dari Mogi Leckner bukan hal baru bagi Lisa. Ia akan melewati taman kanak-kanak tempat Melly mengajar, wanita yang ditinggal mati oleh suaminya saat bertugas menjadi polisi, yang kini sedang dekat dengan Doran, ayahnya Lisa.

    Gadis itu mampir sebentar ke area taman kanak-kanak yang sekarang sudah tak menampakan aktivitas para muridnya, langkah kaki mungil gadis bermarga Hogward itu menuju ke arah kantor para guru, tapi kemudian dia berhenti saat itu juga.

    Lisa mengurungkan niatnya menemui Melly saat ingatannya harus menyadarkan dia kalau wanita anggun itu pasti tengah berkencan dengan sang ayah. Lisa tersenyum geli mengingat tingkah laku ayahnya yang lain dari biasanya, sesaat sebelum ia berangkat ke sekolah tadi.

    Hati Lisa menghangat, sebegitu cepatnya Tuhan mengabulkan permintaannya dan karena hal ini pulalah, ia tahu semua akan baik-baik saja. Jika ia terlalu beruntung, mungkin hubungannya dengan Dino juga akan membaik seiring berjalannya waktu.

    Gadis mungil yang masih menggunakan seragam sekolah itu berbinar bahagia saat tak jauh dari tempatnya berdiri sekarang ada mobil es krim yang tengah berhenti. "Aku mau es krim," gumam si sulung Hogward dengan suara pelan, nyaris berbisik. Lisa lalu melangkah mendekati mobil yang menjual beragam rasa es krim itu.

    Mungkin hanya imajinasi Lisa saja jika setelah memakan es krim ini hatinya menjadi bertambah senang, ia sedang merasa bahagia sekali hari itu, dan siap memulai langkah baru. Langkah dalam masa depannya, dan juga langkah yang perlu ia ambil pada hubungannya yang tak bisa dikatakan normal oleh sebagian orang itu. Lisa kembali melanjutkan perjalanannya menuju ke tempat peristirahatan abadi Mogi Leckner dengan es krim dingin di tangan.

    Pikirannya melayang jauh, tangan kanannya masih menggenggam erat es krim, jalanan sekitarnya dirasa terlalu sepi, jadi ia memilih berjalan santai di pinggir jalan. Toh, tak mungkin ada yang akan menabraknya karena desanya itu tak padat penduduk.

    Sampai kemudian ....

    Secara tiba-tiba, Lisa hampir saja terjatuh jika saja tak memiliki respons yang cepat, ia memandang nanar pada es krim yang semula berada di genggamannya, yang kini telah berpindah tempat pada kaos orang yang menabraknya. Orang itu justru terduduk karena teratuh dari tabrakan yang mengejutkan tadi.

    "Baka!* Matamu kemana, sih? Jalan gak pakai mata, ya? Jadi lutut yang gantikan, hah!"

    Pemuda yang Lisa kira seumuran dengannya itu terdengar mengumpat pelan. Lisa menatapnya bingung sekaligus jengkel, siapa yang menabrak siapa, sih?

    "Kalau jalan itu lihat-lihat sekitar dong, jangan karena es krim kau jadi lupa segalanya, ya! IQ-mu itu berapa sih!? Lihat seragamku jadi kotor, kan!" Umpatan kembali terdengar dari pemuda yang sepertinya tak punya filter kesopanan pada mulutnya.

    Lisa menarik napas dalam-dalam, emosi hampir menguasai. Daripada berdebat tidak penting dengan pemuda aneh yang memiliki tampang berandalan, gadis itu lebih memilih berlalu saja. Tak memedulikan teriakan si pemuda yang masih terus menyumpahinya.

    Toh, hanya orang lalu saja.

    ***

    Langkah kaki mungil Lisa membawanya ke sekumpulan pusara, hening yang menjadi teman Lisa di sini, ia bersimpuh di dekat pusara Mogi, tak meletakan bunga melati seperti biasa karena ia lupa membelinya tadi di pasar.

    Salahkan ia yang terlalu terpikat pada es krim manis yang beberapa saat lalu terjatuh ketika dia sibuk menikmati, sehingga membuatnya lupa membeli bunga.

    "Halo Mogi-jisan," sapa Lisa dengan sopan. "Hari ini aku memulai hari dengan baik, aku mencoba mengikhlaskan semuanya, dan aku akan tetap bertahan, Ji-san. Walau aku tak tahu akhirnya akan seperti bagaimana."

    Semilir angin menerbangkan helaian rambut cokelat Lisa dengan lembut, sedikit mengganggu wajahnya. Buru-buru gadis itu menyampirkannya ke sisi telinga.

    Kini, tak seperti yang dulu, tak ada lagi air mata yang akan mengalir. Yang ada hanyalah senyuman tulus yang terukir di wajah cantik gadis itu. Lisa kembali berkata pada makam di depannya, "Aku akan terus bertahan."

    "Tak peduli sesakit apa ke depannya, aku akan bertahan untuk Dino-kun."

    ***

    Pojok kosa kata yang muncul dan akan muncul.

    Hontou : Benarkah? Dalam bahasa Jepang.

    Baka*: Ucapan yang artinya 'Bodoh' dalam bahasa Jepang. Biasanya untuk mengumpat seseorang atau sebagai candaan kepada teman sebaya yang akrab.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status