Share

09. Kalimat Penggoyah Hati

Selama aku masih kuat bersamamu, selama kesabaranku masih ada, aku akan terus bertahan.

***

Kalau bukan hari minggu, tentu Lisa tak akan berkunjung ke rumah bergaya minimalis bercat putih yang berada di seberang rumahnya. Kalau bukan karena ada undangan tertentu, pasti gadis bersurai panjang itu tak akan mampir ke rumah Dino. Akan tetapi, walau bagaimanapun juga, meski jauh di dasar hatinya yang terdalam tak menghendaki pergi ke rumah itu, ada seorang wanita baik hati yang perlu dia ucapkan terima kasih atas jasanya selama ini.

"Lisa-chan? Kenapa lama sekali tak bertamu kemari?" tanya wanita dewasa di hadapannya. Dia Gina Leckner, ibunya Dino.

Karena Dino tak pernah mengijinkanku ke rumahnya, jawab Lisa dalam hati, meski dia hanya tersenyum menanggapi pertanyaan dari sang nyonya keluarga Leckner. Gadis itu menunjukkan sekotak kue kering yang ia bawa dari rumah kepada istri mendiang Mogi Leckner itu.

"Terima kasih untuk kue yang kemarin, Tante. Ini aku membuat kue untuk berterima kasih, mungkin tak seenak yang Tante buat," katanya sambil tersenyum tipis.

Gina memandang Lisa dengan mata yang berbinar-binar, lalu langsung memeluk gadis itu dengan cepat. "Terima kasih! Kue yang kau buat pasti sangat enak, Lisa-chan!"

Lisa meringis pelan, sama sekali tak sakit, ia hanya terkejut saja. Gina lalu mempersilakan Lisa duduk di ruang tamu.

"Ah, hampir lupa, bukankah kau ada janji dengan Dino hari ini, Lisa? Sudah sejak tadi ia pergi," ucap Gina Leckner secara tiba-tiba. Sang sulung keluarga Hogward terdiam sebentar, terkejut mendengar pernyataan itu.

Dino tak berjanji apa pun padanya tentang hari ini. Bahkan selama beberapa tahun bersama, pemuda itu tak pernah sekalipun mau pergi berduaan dengan Lisa ke tempat selain sekolah atau kuil. Jadi, kemungkinan besar pasti dia pergi bersama orang lain, dan Lisa tahu dengan siapa dia pergi.

"Hmm, kami janjiannya jam satu nanti, Tante. Mungkin Dino-kun ada perlu sebelum ini," jawab Lisa sambil tersenyum paksa.

Dia berbohong. Oh, bagaimana mungkin Lisa bisa menemukan kata-kata yang terdengar sangat meyakinkan seperti itu? Mana pernah mereka berdua berjanji keluar bersama? Untuk sekadar pergi dan pulang sekolah pun, Dino sudah terlihat seakan menderita setengah mati. Lisa perlu mendapat tepuk tangan karena bakat terpendamnya ini.

"Tolong maafkan dia ya, Lisa-chan," ucap Gina tiba-tiba. "Sikapnya selalu keterlaluan padamu."

Lisa menggeleng cepat, kedua tangannya melambai canggung. "Tidak kok, tak apa, Ba-san. Dino-kun ... dia selalu baik padaku," ucapnya sambil tersenyum. Bahkan setelah pemuda itu begitu menyakiti, kenapa ia tetap terus membela?

Gina tak langsung menanggapi, dia lalu beringsut mendekat, kemudian memeluk Lisa erat-erat, tetap memeluk tubuh gadis itu selama beberapa saat berikutnya, dan tak mengucapkan sepatah kata apa pun.

"Ba-san," ujar Lisa lirih. "A-ada apa?"

"Aku ingin kau tetap bertahan, Lisa."

Ini bukanlah lagu sedih, bukan pula sesuatu yang mengandung bawang, Gina Leckner hanya mengucapkan satu kalimat ambigu yang terdengar biasa.

Tak bermakna apa-apa. Sama sekali tak ada maksud tertentu, tapi kenapa mata Lisa langsung memanas? Kabut yang menyelimuti kornea mata sang gadis mulai mencair menjadi air mata yang kemudian membuat pipinya basah.

Lisa akan menjadi terlalu aneh jika ia menangis tanpa sebab seperti ini, tapi dia tak bisa menghentikannya. Isakan pelan yang muncul memaksa tuan rumah keluarga Leckner melepas pelukannya. Ia memandang bingung pada gadis yang ia sayangi itu.

"Lisa, ada apa?" Wanita itu bertanya dengan kekhawatiran yang terlihat begitu jelas di wajahnya. Yang ditanya hanya menggelengkan kepalanya perlahan, Lisa tak mempunyai alasan untuk tidak menjawab pertanyaan itu, sang gadis Hogward mungkin hanya terbawa suasana saja.

Baru hari itu, dia kembali merasakan pelukan hangat seorang ibu yang bertahun-tahun tak pernah lagi ia rasakan, tapi kenapa pelukan itu justru diberi dengan permintaan bertahan?

Bertahan dalam hal apa?

Bertahan pada apa?

Juga ... bertahan untuk siapa?

Lisa masih terdiam, ia segera menghapus cairan bening yang mengalir di pipinya. Dengan nada yang sedikit bergetar, ia mulai bersuara, "Tak apa-apa kok, Ba-san. Aku cuma senang saja pada Ba-san. Rasanya seperti menemukan sosok ibu yang wajahnya saja bahkan tak teringat jelas lagi di otakku."

Lisa menelan saliva yang seolah menahan suaranya. "Boleh aku menganggap Gina-basan sebagai ibuku?"

Gina tercengang untuk sejenak, kemudian wajah cantiknya menyunggingkan seulas senyuman yang tulus. "Kau kenapa, Lisa? Kau sudah kuanggap sebagai anakku sendiri sejak bertahun-tahun yang lalu."

Lisa ikut tersenyum. Senangnya, rasanya ia senang sekali. Dia seperti merasakan kehangatan yang menjalar naik ke ruang hatinya. Manik cokelatnya berkilat bahagia, ia mengubah senyum kecilnya menjadi lebih lebar.

Lisa mengucapkan rasa terima kasihnya yang besar kepada Gina Leckner. Sementara untuk permintaan ambigu yang Gina ajukan. Entahlah, apa dia bisa menjawabnya?

"Maaf," bisik Lisa pelan, meminta maaf dengan suara lirih. Sepertinya tak bisa.

"Untuk apa?" tanya Gina bingung.

Lisa langsung menggeleng dan menjawab, "Emm, tak apa-apa kok, ba-san."

Butuh satu jam bagi Lisa untuk bertamu ke rumah Dino. Jam sudah menunjukkan pukul setengah satu siang, akan sangat mencurigakan jika ia tetap berada di sana sementara sejak awal Gina mengira jika hari ini Lisa ada janji dengan anaknya.

Lisa tak kembali ke rumah, sedang tidak ada siapa-siapa di kediaman Hogward yang terlampau besar untuk ditinggali dua orang saja. Doran Hogward sedang lembur hari ini dan Lisa tak punya siapa-siapa untuk diajak bicara. Ah, seandainya ada adiknya di sini, mungkin rasa sepinya tak akan terlalu mengganggu. Jadi, dia hanya akan membeli makanan ringan di minimarket terdekat, dan memakan semua yang sudah ia beli itu di taman bermain yang berada tak jauh dari minimarket yang ia datangi.

Gadis Hogward itu duduk sendirian di ayunan. Plastik berisi barang belanjaan ia taruh di atas pahanya, Lisa mulai memilah-milah es krim apa yang akan dimakannya. Es krim dengan varian rasa melon terlihat enak dan segar untuk dimakan pada hari yang panas ini.

Lisa begitu menikmati makanan dingin dengan merk terkenal itu. "Segarnya," ucapnya riang sambil mengayunkan kaki. Terlalu larut dalam pikirannya, sampai-sampai gadis itu tidak sadar ada bola yang mengarah padanya.

Bola itu melayang cepat, bahkan gadis itu saja tak sempat menghindar.

"Aw," ringisan terdengar. Alih-alih teriakan kesakitan seperti kebanyakan remaja perempuan lainnya, Lisa hanya mengeluarkan suara pelan. Makanan ringan yang berada dipangkuannya kini berhamburan di bawah kakinya. Lisa mengusap dahinya yang terasa sakit, mungkin sebentar lagi dia akan mendapat benjolan besar di sana.

Sambil mengusap dahinya, Lisa berharap kepalanya akan baik-baik saja.

Gadis itu kemudian mendengar derap langkah kaki yang mendekat. Mulanya Lisa tak memedulikannya, sampai kemudian dia mengenali seseorang yang berlari dengan aroma keringat yang keluar dari tubuhnya yang berbalut kaos sepak bola Manchester United. Gadis itu membelalakkan kedua mata. Yang mendekat ke tempat duduknya itu adalah pemuda yang Lisa yakini seusia dengannya. Pemuda berambut merah dengan tampang galak seperti berandalan yang tempo hari menabraknya.

Kenapa pemuda itu bisa ada di sini?

Protes yang akan dilayangkan oleh gadis itu seketika buyar dan menghilang.

Tidak, tidak, tidak. Lisa tidak mau berurusan lagi dengan pemuda seperti dia. Lebih baik dia pergi cari aman, bukan? Namun siapa sangka, pemuda itu malah menyapa dan menyodorkan tangannya—memberi bantuan kepada Lisa yang sibuk memunguti makanannya.

"Kau baik-baik saja, Lisa? Bisa berdiri?"

Gadis itu mengangguk ragu, tak menerima uluran tangan sang pemuda, karena sibuk mengambil cemilannya yang jatuh saat serangan yang tiba-tiba itu. Sampai kemudian dia terdiam karena menyadari satu hal.

"Kau tahu namaku?" tanya Lisa kaget. Sejauh yang bisa diingatnya, dia tak pernah sekalipun memberitahukan namanya ke pemuda yang kini berdiri tepat di hadapannya.

Si pemilik surai merah memutar bola matanya seolah jenuh mendengar kata-kata sang gadis. Dia segera menarik tangannya yang diabaikan oleh Lisa. "Ya, aku tahu denganmu," jawab pemuda itu santai. "Kau si gadis lambat yang selalu membuntuti Dino, 'kan?"

"E-eh, maksudnya?" Lisa tak mengerti ucapan pemuda itu.

Seolah tak suka melihat reaksi Lisa, si surai merah mendengkus sebal. "Kau itu pembantunya kapten bola kami si Dino, kan? Cih, aku tahu itu benar," ucap pemuda itu lagi dengan wajah belagu.

Otak Lisa mulai memutar informasi tersebut, sang gadis langsung meringis saat sudah selesai mencerna kalimat yang disampaikan pemuda itu.

Wah, rupanya selama ini dia hanya terkenal sebagai pembantunya Dino saja, ya? Bukan sebagai kekasih setia yang selalu menemani pujaannya bermain bola? Jadi seperti itu. Kasihan sekali.

"Tadi aku lihat kapten sedang bersama si penggila pink itu. Eng, tunggu, siapa namanya, ya?" Pemuda berambut merah itu diam sejenak, berpikir cepat. "Oh, ya, Rosa! Kapten sedang bersama Rosa tadi," ucapnya sambil memasang ekspresi tak bersalah karena sudah memberitahukan hal menyakitkan.

Mendengar dua nama itu, Lisa seperti diajak berlari estafet sejauh 50 meter, jantungnya berdetak kencang ketika nama gadis yang dikenalnya disebut bersamaan dengan kekasihnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status