Pov : HudaPagi-pagi sekali aku sudah keluar rumah, memacu mobil dengan kecepatan sedang menuju alamat yang diberikan Pak Santoso waktu itu. Alamat Mbah Minah dan Hendra di Jakarta Timur. Bisa saja aku menelpon Hendra dulu, tanya dia di rumah atau tidak. Namun aku nggak mau gegabah. Jangan sampai dia justru sembunyi atau pergi jika tahu ada seseorang yang mencarinya. Meski aku juga tak mungkin menjelaskan diriku dengan detail padanya.Lebih baik, aku langsung mencari alamatnya saja. Lagipula dengan bantuan google maps, semua jadi lebih mudah. Dia bisa mengantarku ke alamat itu. Pokonya, aku harus segera menyelesaikan masalah Ningrum.Apalagi teror Mayang semakin menjadi. Aku nggak mau Ningrum kepikiran, bahkan bisa saja dia mikir aneh-aneh karena biasanya perempuan hamil cukup sensitif dengan 'kesetiaan pasangan.'|Kamu sudah jalan, Mas? Kulihat mobilmu nggak ada di garasi. Kamu ke rumah Mbah Minah sekarang?|Sebuah pesan masuk. Aku yang baru saja memberikan oleh-oleh wingko babat un
Kupercepat langkah meninggalkan rumah Mbah Minah. Tak pernah menyangka jika yang kutemui justru orang-orang sekolot mereka. Kupikir, semua akan lebih mudah karena aku memakai jalur pendekatan dan kekeluargaan.Tak ada polisi di sini, jadi kupikir mereka cukup aman menceritakan semuanya. Lagipula aku juga sudah jelaskan berulang kali jika kedatanganku itu hanya untuk mengurai teka-teki yang selama ini tersimpan cukup rapi.Aku nggak mau Ningrum hidup dalam kebingungan, bimbang dan berbagai pertanyaan tanpa jawaban. Aku ingin membuatnya bahagia, karena kebahagiaannya juga bagian dari bahagiaku.Aku ingin menghapus jejak-jejak luka di hatinya, agar dia bisa merasakan dan menuliskan hari-hari bahagia sebagai istri seorang Huda Darmawangsa. Mungkin memang begini jalannya. Cukup terjal saat suami ingin membuat istri bahagia.Kubuka pintu mobil, sempat kulirik ke teras rumah bercat abu muda itu. Pak Herman tampak menatap ibunya cukup intens dan mengobrol entah apa. Aku tak lagi mendengar obr
"Hanya dua hari Tuan Izal di sana. Dia menerima telpon dari Nyonya Laila yang mengabarkan bahwa dia masuk rumah sakit. Tuan Izal bingung, tapi lagi-lagi Mira memang terlalu baik hati. Dia merelakan suaminya pergi untuk menemani istri pertamanya yang ternyata hanya membuat drama. Dia sehat, tak ada sakit sedikitpun tanda-tanda sakit dalam dirinya. Hingga akhirnya Mbah mendengar rencana busuk Nyonya pada anak Mira.""Maksudnya gimana ya, Mbah?" Jatungku seolah berhenti berdetak beberapa saat mendengar kata rencana busuk dari ibu Laila. Apa itu berarti dia yang sengaja membuang Ningrum?"Nyonya Laila cemburu karena Tuan Izal kembali menemui Mira di kampung padahal dia sudah melarang itu. Ditambah lagi dia mendengar kabar dari tangan kanannya bahwa Mira melahirkan, kebenciannya makin menjadi. Dia meminta mata-matanya itu untuk menghabisi bayi Mira. Dengan begitu Mira akan depresi dan bisa jadi gila. Nyonya berpikir, jika Mira sudah gila, nggak mungkin Tuan akan mau dengannya. Tuan pasti a
"Mas Huda, diminum dulu. Camilannya juga, Mas. Maaf seadanya," ucap Bu Sri begitu sopan. Dia menawariku teh yang hampir dingin dan pisang goreng.Aku pun menyeruput teh itu hingga beberapa teguk. Suasana masih cukup pagi, perumahan ini pun cukup ramai dengan suara anak-anak yang bermain di samping rumah. Kebetulan rumah Mbah Minah berdampingan dengan taman kecil."Semua masa lalu mertua dan istri saya sudah Mbah jelaskan. Saya ucapkan terima kasih, Mbah. Saat mendengar semua cerita ini, saya yakin Ningrum akan terluka, tapi setidaknya cerita kni akan membuat hidupnya jauh lebih tenang. Tak disesaki berbagai pertanyaan dan kebingungan. InsyaAllah lukanya tak akan lama. Saya yang akan berusaha membantu melupakan masa kelamnya."Mbah Minah manggut-manggut lalu menatapku beberapa saat."Mira anak yang shalehah. Mbah yakin, sepertinya Ningrum juga demikian. Sama-sama shalehah. Mbah lihat dari ketulusanmu, Nak. Harusnya Mbah yang bilang terima kasih karena kalian tak memperkarakan ini. Ngga
Mayangsari Zahrana. Dia nggak salah juga memperkenalkan dengan nama Sari, sebab itu memang bagian dari nama panjangnya.Namun sepertinya dia sengaja menggunakan itu untuk menyembunyikan jati dirinya. Mungkin dia mengerti cepat atau lambat aku akan mencari tahu soal ini.Mayang tersenyum tipis menatapku lalu melangkah pelan menuju teras. Tempat di mana aku berada."Hai, Mas. Dugaanku benar, kan? Kamu pasti di sini. Gimana? Sudah tahu semua tentang masa lalu ibu mertua dan istrimu?" tanya Mayang dengan nada mengejek. Entah apa maksudnya.Apa karena ibu Mira hanya sebagai istri kedua? Hingga Mayang bisa meremehkannya begitu saja? Padahal dia tak tahu bagaimana pengorbanan dan perjuangan ibu mertuaku itu, makanya terlihat begitu mengejek. "Aku sudah mendengar semua penjelasan Mbah Minah dan Pak Herman. Dan sejauh ini aku sangat bangga dengan segala pengorbanan ibu mertuaku, juga istriku. Memangnya kenapa, May? Ada yang salah dengan mereka hingga kamu seolah begitu menghina?" tanyaku dat
Masa lalu ibu Mira menjadi pelajaran yang cukup berharga buatku. Banyak hikmah yang dapat kuambil di dalamnya.Detik ini, kustel rekaman itu di atas meja. Seluruh keluarga berkumpul untuk mendengarkan semua penjelasan Mbah Minah. Tak ada yang bersikap biasa saat Mbah Minah mulai menjelaskan masa lalu keponakannya.Ibu dan Ningrum saling berpelukan. Mereka saling menguatkan. Sementara Mila dan Mbak Sinta menunduk dalam isak. Mereka kembali menyeka buliran kecil yang menetes di kedua pipinya."Ya Allah, Mas. Kasihan ibu." Lirih kudengar suara Ningrum lalu dia limbung begitu saja di pelukan ibu. Aku membopong Ningrum menuju kamar, sementara ibu berusaha mengusap kening Ningrum dengan minyak angin.Mbak Sinta pun membuatkan teh hangat untuk Ningrum. Aku cukup lega sekarang. Karena saudara-saudara Ningrum sepertinya semakin bertambah sayang.Mereka berusaha menghibur Ningrum dan memupuk hatinya agar tak selalu berkubang dalam duka.Ibu selalu mengingatkannya, apapun yang terjadi Ningrum te
Sebuah panggilan masuk. Om Burhan. Mungkinkah Mayang sudah menjelaskan semua masa lalu itu pada papanya?"Assalamu'alaikum, Huda. Gimana kabarnya?" suara Om Burhan terdengar serak. Tak seperti biasanya yang cukup keras dan tegas."Wa'alaikumsalam, Om. Alhamdulillah baik. Om sendiri apa kabar? Saya juga baru pulang dari Jakarta kemarin," balasku."Baik juga, Da. Mayang sudah cerita semuanya." Lirih kudengar jawaban dari Om Burhan. Dia tak lagi melanjutkan obrolan, mendadak diam dan hening sesaat."Om ....""Kita harus bertemu, Da. Firasat Om waktu itu ternyata benar. Entah mengapa saat kalian datang dua bulan lalu, ada perasaan berbeda saat menatap kedua mata Ningrum. Ada rasa aneh yang cukup sulit Om jelaskan. Om tak menyangka jika dia adalah Arum. Anak kandung Om sendiri," ucap Om Huda kemudian."Iya, Om. Kita memang harus ketemu. Walau bagaimanapun Ningrum dan Om ada hubungan darah. Kita selesaikan masalah ini baik-baik, tapi saya masih agak sibuk tiga atau empat bulan ke depan kare
"Mayang, kamu yang merencanakan kecelakaan Gina, kan?" ucap Mas Huda lagi dengan tatapan tajam.Mayang terlihat gelagapan dan salah tingkah. Tak hanya dia, tapi juga laki-laki di sampingnya yang sempat di penjara beberapa bulan itu.Dari penampilannya, sepertinya laki-laki itu bukan dari golongan menengah ke bawah. Penampilannya cukup rapi, kulit bersih terawat dan ponsel serta outfit yang dia pakai pun terlihat mahal.Pantas jika Mas Huda bilang pada ibu untuk tak perlu mempermasalahkan berapa bulan atau tahun hukuman penabrak Gina, sebab seringkali ketukan hukuman tak sesuai dengan kenyataan di lapangan.Entahlah, sering kali uang mengalahkan kebenaran yang ada. Orang bilang, hukum bisa dibeli. Selagi ada uang, tak perlu takut dengan bui. Tumpul ke atas dan tajam ke bawah sudah amat lumprah dan bukan hal yang perlu dirahasiakan lagi."Mayang!" Mas Huda sedikit membentak. Aku gegas memanggil anak-anak untuk keluar dari area bermain dan siap-siap pulang.Mas Huda meminta Mayang untuk