Share

Bab 7 | Definisi Anak Untuk Lewis; tak berguna.

“Mungkin lebih tepatnya, dia sudah gila.”

Hotel Park Hyatt Paris Vendome, pukul delapan malam. Para tamu hotel dengan berbagai ekspresi silih berganti menjadi pemandangan yang tak terelakkan.

Melihat sekali lagi raut wajah sang tuan, Frans tampaknya setuju pada kalimat dari Oscar; sahabat dari sang tuan muda.

“Jaga mulutmu, sebelum aku robek!” Luis mendengkus, ia tak terima dikatakan gila, meski kenyataannya hampir begitu.

Oscar menyengir, mengulum bibir ke dalam agar tawanya tak menyembur. Ia menepuk-nepuk bahu Luis, yang dengan cepat disingkirkan oleh sang pemilik bahu.

“Jangan sok akrab denganku.” Tambah Luis sinis.

“Galak sekali Tuan Muda ini. Kau seharusnya tidak membuat anak-anak kecil tadi menangis ketakutan, kau pikir dirimu itu raksasa? Ppfft!”

“... Luis-Luis, kau sepertinya memang tidak punya jiwa ramah-tamah pada anak kecil,” sambung Oscar semakin semangat menggoda sang sahabat. Dari kecil, hingga sedewasa ini Luis tetaplah Luis. Lelaki yang paling membenci semua hal tentang anak kecil.

“Tutup mulutmu. Mereka saja yang terlalu lemah, dan selalu merengek.”

Oscar memutar bola mata jengah. “Kau pikir mereka punya kekuatan apa, selain merengek? Hei, mereka masih di bawah umur, Bung!”

“Maka dari itu, apa untungnya memiliki anak? Aku yakin, cepat atau lambat mereka akan menyesal. Dasar mereka bodoh!”

Mendengar hal itu, Oscar dan Frans seketika langsung beradu pandang penuh arti satu sama lain. Perkataan Luis membuat otak mereka berhenti beroperasi.

Jika Oscar mengerutkan dahi demi meminta penjelasan Frans, berbeda dengan Frans yang justru mengangkat bahu setinggi mungkin sembari menggeleng frustrasi.

Frans sudah kehabisan kata untuk menjelaskan bagaimana pola pikir sang tuan muda tentang anak.

Bahkan tiga puluh menit lalu, sang tuan muda mengusir anak-anak kecil yang saling berlarian di lantai lobi hotel, dan hal itu sempat membuat keributan antara sang tuan dan orang tua dari anak-anak yang kompak menangis ketakutan.

Anak-anak kecil itu terus saja menangis, lantas mengadu pada orang tua mereka.

Dan para orang tua yang tak terima sempat memukuli Luis, tanpa peduli Luis yang terus saja menyerukan dirinya seorang pengusaha muda terkenal di kota Berlin.

“Pa-Paman itu ... yang membentak kami!” Salah satu dari anak-anak itu menunjuk ke arah Luis yang berdecih, meski tubuhnya telah tersungkur di lantai.

“Sekali lagi aku bertemu denganmu, dan kau membuat anak kecil menangis lagi, aku hancurkan hidupmu!” Sebuah ancaman yang masih terngiang-ngiang di telinga Frans dan Oscar.

Jika, kedua lelaki itu tak segera menarik mundur tubuh Luis, mungkin Luis akan dipenjara di Paris.

Frans seketika bergidik, lantas meneguk kasar ludahnya. Sang tuan muda sungguh sudah tak waras.

“Kau ini kenapa, besok kita sudah akan pulang, tapi kau malah membuat kekacauan.” Oscar mulai mengomel lagi, dengan sengaja membuka kasar tutup botol minumannya, “kalau tidak suka dengan anak kecil, bukan seperti itu caranya, Luis Bodoh.”

“... kau benar-benar seperti menunjukkan sosok monster seperti apa, yang ada pada dirimu. Oh, Tuhan!” Lanjutnya.

“Mereka yang menatapku, Sialan! Lalu, aku hanya ganti menatap mereka. Dan mereka tiba-tiba menangis, apa itu salahku? Tidak. Dasar anak kecil tidak berguna!” Luis membela dirinya sendiri yang dianggap tak salah apa pun.

Suara anak-anak kecil yang menangis, menandakan mereka lemah, dan akan ditinggal seperti Luis kecil. Dan Luis tak suka pemandangan itu.

Oscar menggeleng lemah dengan desis mengumpati sang sahabat, sapuan udara malam terasa ringan menyentuh kulit wajah. Beberapa pengunjung hotel juga masih terlihat berlalu lalang, meski beberapa staf hotel tampak diam-diam masih menggunjing sikap arogan Luis.

“Frans!” panggil Oscar tak sabar.

“Iya, Tuan Oscar? Anda ingin sesuatu?”

Sahabat Luis itu menggeleng, kemudian berkata, “Mulai besok kumpulkan riwayat hidup para teman kencan Luis. Takutnya, salah satu dari mereka diam-diam menghidupkan benih kecebong pria buruk itu.”

“... aku takut kalau Luis akan mendapat karma,” sambung Oscar yang sengaja menekan setiap kata yang baru saja terlontar, dengan mata melotot sempurna.

Frans meringis mendengar perintah tersebut, tetapi ia tetap mengangguk berat mengiyakan. Ia merasa berada di dua dinding berduri, yang akan segera mengimpit tubuhnya.

“Itu ide bagus!” Suara tinggi Luis yang tak mengandung getaran senang, ataupun kesal, membuat mata Oscar dan Frans kompak membulat lebar dengan mulut ternganga.

Eh, mereka tidak salah dengar?

Sorot mata Oscar membeku, lantas dijatuhkan cepat di depan mata dingin Luis yang melurus, ia seperti Dejavu mendengar Luis ikut setuju dalam ide dadakannya.

Mimpi, tidak, mimpi, tidak, mimpi, ... TIDAK! ASTAGA!

“Hei, kau itu setuju apa? Apa kau tahu, apa yang kumaksud? Haha, dasar pria dingin.” Tak ingin percaya, Oscar pun tertawa kering, dengan kembali hendak meneguk minumannya hingga salah menempatkan lubang tutup botol ke sisi bibir.

“Kumpulkan data wanita yang pernah bercinta denganku, dan termasuk ... wanita di negara ini.” Luis tak mempedulikan ekspresi terkejut Oscar, ia sengaja mengulang perintah Oscar.

Otak lelaki itu sedang berkutat sibuk memikirkan kejadian tadi sore di taman bertemu Gerrald.

“Ka-kau juga bercinta dengan wanita luar negeri? Apa kau sudah kehilangan stok di Berlin? Dasar sinting!”

“Aku tidak tahu, mungkin saja salah satu dari mereka tinggal di Paris,” jawab Luis bernada bergetar, mencoba menerka-nerka.

Ini kali pertama ia membuang pandangan ke arah lain, agar tak ditatap penuh selidik oleh sang sahabat.

Dan tiba-tiba saja, keringat dingin Luis meluncur bebas di sekujur tubuh, ketika mengingat detail wajah bocah laki-laki kecil yang seperti mini me Luis.

Siapa anak itu? Lalu kenapa Luis terus memikirkannya? Apa mungkin Luis benar sudah gila?

“Eh, apa mungkin itu? Maksudmu mereka hanya ingin bersenang-senang dengan menghabiskan uang membeli tiket pesawat? Dan ... hanya demi satu malam bercinta?”

“Mu-mungkin saja kan?” sergap gugup Luis.

Lelaki dingin yang tak pernah merasa terbebani oleh masalah apa pun, kini menjadi kelimpungan sendiri hanya karena wajah tampan Gerrald.

“Frans, data juga wanita pertama yang kutiduri. Lalu—”

“Tuan Muda, tapi Anda tidak pernah membuat janji dengan wanita yang berasal dari luar negeri, ataupun mereka yang memiliki kewarganegaraan ganda.” Frans memotong cepat perkataan sang tuan.

“Apa maksudmu, coba kau ingat-ingat lagi. Apa otakmu sudah mulai melemah karena bertambahnya umur?” sengit Luis, tampak mengerutkan dahi tak percaya.

“Saya sangat yakin, Tuan Luis. Karena setiap wanita yang berkencan dengan Tuan Muda harus memiliki identitas yang jelas. Bukankah itu perintah dari Tuan Besar Pietro?”

Mendengar hal tersebut, jemari kokoh Luis yang saling bertaut kian mengerat kuat. Sorot mata lelaki itu pun semakin menajam dan dingin, seperti sisi tajam mata pisau.

“Kalau begitu, siapa bocah laki-laki itu?” gumam batin Luis bertanya-tanya dalam kekacauan otaknya, “jika aku tidak pernah bercinta dengan wanita di negara ini, mungkinkah dia hanya mirip?”

***

“Kau tampak cantik, Alice.” Melangkah bersama beriringan, Hugo tak pernah menipiskan senyum merekahnya untuk memandangi wajah cantik Alice yang terias tipis dari samping.

“Terima kasih, sayangnya aku tidak tersipu dengan pujian playboy sepertimu.” Alice juga mengulas lengkung garis sabit di bibir merahnya, lantas sedikit membungkukkan tubuh hormat, yang langsung memantik tawa Hugo.

Hugo mengusap ujung keningnya sembari menggeleng kepala, sulit sekali dia menaklukkan wanita di sampingnya. Ia pikir lima tahun bersama akan membuat mereka lebih dekat. Nyatanya tidak.

“Hugo, berhenti sebentar.” Langkah Alice berhenti, tepat di depan papan nama hotel Park Hyatt Paris Vendome. Kepalanya terangkat, memandang lekat setiap kata di sana, “benar, kita ada janji di hotel ini?”

“Kurasa begitu. Sebentar aku periksa lagi,” tanggap Hugo yang langsung merogoh ponselnya, menatap alamat yang diberikan sang klien, “benar, di sini tempatnya. Ada apa, kenapa kau seperti ragu?”

Tanpa sebab, Alice justru menarik napas dalam. Dadanya mengembung naik, tiba-tiba rasa sesak menyelubungi relung hati Alice. Ada apa ini, kenapa Alice merasa sulit mengayun langkah?

“Kau sakit?”

“Ah, tidak. Ayo masuk! Maaf aku membuat waktumu terbuang.” Alice mengukir setengah garis senyum, lantas lebih dulu masuk.

Sedang Hugo, jemarinya kembali ditarik ketika beberapa detik lalu hendak menyentuh dahi Alice, tetapi wanita itu sudah lebih dulu bergerak pergi.

“Alice, sampai kapan aku menunggumu mencintaiku?” gumam lemah Hugo, yang setelahnya mengembuskan napas panjang.

Hugo menyentuh dadanya yang terus terasa sakit, menatap cinta tulusnya digantung tanpa balas.

Alice dan Hugo akhirnya menemui perwakilan perusahaan klien yang akan menyewa jasa mereka. Janji yang dibuat sangat mendadak, dan mau tak mau Alice menyempatkan untuk bertemu.

“Untuk sistem prosesor yang kalian inginkan, Tuan Hugo akan menjelaskan lebih detail.”

“... tapi, jika kalian ingin menanamkan prosesor baru dengan CPU yang kalian inginkan, kami memberi satu rekomendasi perusahaan di kota Berlin.” Tambah Alice tersenyum penuh profesional di depan dua lelaki di meja seberang.

Ingatan Alice berputar pada perusahaan yang akan menjadi rekan kerja samanya, yang tak lain milik dari kakek Luis, yang tak diketahui Alice.

Vendor pembuat prosesor milik Luis sudah cukup terkenal, dan terbukti mampu mendatangkan Alice dan Hugo.

“Baik, Ms. Alice. Kami sangat senang bisa bersahabat dengan HG Group. Kami jadi lebih terbantu.”

“Tidak masalah, Tuan Jason. Kita akan sama-sama saling menguntungkan. Kalau begitu saya izin ke kamar mandi lebih dulu, Tuan Hugo, saya izin pergi ....” Mendapat anggukkan dari tiga lelaki di sana, Alice akhirnya berlalu pergi.

Selama di perjalanan, ia sama sekali tak memandang para tamu hotel. Wanita itu terlalu sibuk dengan ponselnya yang sedari tadi terus saja bergetar, sebab itu Alice ingin melihat siapa yang terus menelepon secara beruntun.

Karena terlalu fokus, Alice tak sadar jika Luis yang juga tengah sibuk menggulung lengan kemeja setelah pergi ke kamar mandi, melangkah berlawanan arah dengan Alice.

Dan benar saja, keduanya sama-sama memekik saat tubuh mereka bertabrakan.

“Aghh! Ponselku!” Alice terkesiap menatap ponselnya melambung di udara, lantas jatuh mengenaskan di lantai.

“Brengsek! Aku tertabrak lag— Alice?”

Komen (2)
goodnovel comment avatar
SenyaSSM
terima kasih kk (⁠✿⁠^⁠‿⁠^⁠)
goodnovel comment avatar
Nisa
Cerita yg sangat bagus
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status