"Kenapa kau tak mematuhi apa yang tadi aku perintahkan padamu?"
Dewa yang memerah wajahnya, langsung bertanya dengan emosi pada Rere yang tampak masih kaget akibat bunyi keras yang disebabkan oleh ketukan tangan Dewa di pintunya tadi.
Rere masih terdiam, matanya memandang tajam pada lelaki yang masih berdiri di depan mejanya itu, lelaki yang baru saja membuat jantungnya hampir berhenti berdetak karena kaget.
"Maaf, pak Dewa yang terhormat, tolong beritahukan, letak salah yang saya lakukan di mana? Hingga anda dengan sangat percaya diri menuduh bahwa saya tidak mematuhi perintah anda?" tanya Rere masih dengan tenangnya, malah dia tidak berdiri dari kursi untuk sekedar basa basi.
"Bukannya tadi aku suruh kamu duduk, kenapa malah keluar dari ruanganku? Kamu sengaja kan tidak hormat padaku di depan klien kita?" Tanya Dewa dengan suara yang penuh tekanan walau di ucapkan dengan volume yang sangat pelan.
"Dew. Nanti jam sepuluh siap siap, kita meeting di luar. Tiga puluh menit sebelumnya kau harus sudah stand by di ruanganku."Setelah mengatakan pesannya, Dewa yang kebetulan bertemu dengan Rere di dalam lift yang sama, langsung pergi begitu saja mendahului dengan langkah cepat ."Ok ...." desis Rere, yang pasti tak akan di dengar oleh Dewa yang sudah melesat jauh meninggalkannya yang masih kaget saat mendengar pesan.Dengan menarik nafas panjang, Rere kembali melangkahkan kakinya dengan gontai, sejak menyetujui untuk kembali bekerja, Rere sepertinya harus mempunyai stok sabar tiada batas."Pagi, Bu." Sapa Ina, spontan berdiri dari kursinya saat melihat Rere."Pagi, Na. Kalau laporan dan jadwal sudah siap, kamu segera masuk ya." Jawab Rere lemas. Langkahnya tak terhenti, walaupun tadi sempat memberikan pesan pada sekretarisnya.Rere terus melangkah ke ru
"Hei ....!" Alman berteriak, tampak wajahnya tak suka saat mendengar apa yang baru saja Rere katakan tentang dirinya."Alman, aku tidak yakin kamu akan kesepian di sana, kamu tahu tidak? Orang Palembang itu banyak yang cantik, mereka berkulit putih, berhidung mancung, dengan etika yang jempol, aku tidak percaya jika sampai melewatkan pesona mereka. Kamu carilah satu, lalu kau nikah. Biar aman hidupmu.""Hahahaha. Setelah kau menolakku lalu sekarang kau mau aku menikah secepatnya, wow ... terimakasih doanya." Sahut Alman dengan nada setengah mengejek."Aku tahu kamu, Man. Malah aku lebih paham dirimu bila di bandingkan dengan Dewa. Jadi aku yakin kamu pasti akan mendapatkan perempuan cantik itu dalam waktu tidak lama." Rere kembali menjelaskan, karena dia yakin dengan apa yang ada dalam pikirannya pasti akan terjadi."Jadi sekarang, kau mulai membandingkan aku dengan Dewa. Ah, sudahlah. Kamu sudah nggak asyik,
Ina terdiam, ia terlihat sedang meremas kedua tangannya, tampak sekali kalau dia sedang berperang sendirian."Na. Aku berjanji, apa pun nanti yang akan kamu katakan, tidak akan merubah sikap ini kepadamu, malah itu bisa saja membuatku semakin berhati-hati, percayalah." bujuk Rere saat melihat perempuan yang sekarang menggunakan lagi hijabnya itu, tampak gelisah."Aku hanya takut bila ibu nantinya akan menganggap saya tukang ngadu dan bila apa yang saya ucapkan tidak benar benar terjadi, bakalan menjadi fitnah .... Tapi sumpah Bu, saya benar benar mendengarnya.""Tidak, aku tidak bakalan melakukan apa yang kau pikirkan saat ini. Jadi cepatlah, katakan apa yang kau dengar, waktuku tidak banyak." Desak Rere, matanya sesekali melirik jam tangannya dengan gelisah.Setelah meragu, akhirnya Ina pun memberanikan diri bercerita walau dengan terbata bata menceritakan kepada Rere apa yang tadi di dengarnya saat p
Rere tersenyum saat mendengar pertanyaan dari si perempuan, sungguh miris, dia yang ngaku beruang tapi tidak mempunyai rasa malu.Apalagi saat melihat si perempuan yang tak juga pindah dari pangkuan Dewa, mungkin kehadirannya dianggap angin saja oleh kedua orang yang sedang jatuh cinta itu.Perlahan Rere melangkah mendekat dan duduk di kursi depan mereka hanya saja di batasi oleh sebuah meja yang berbentuk segi empat. Dengan sebuah taplak meja berwarna kuning gading dan sebuah vas bunga di tengahnya."Kenalkan, Diana ini Dewi, dia adalah partner kerja aku dalam mengambil keputusan untuk perusahaan." Ujar Dewa sambil sesekali memagut mesra bibir si perempuan, namun matanya melirik Dewi yang berada di depannya."Kenapa harus bermitra dengan dia. Bukankah perusahaan ini milikmu." Rengek manja si perempuan, dilihat dari wajah mungkin usianya lebih tua dari Dewa, dengan polesan make up yang tebal, dan baju yang s
Rere tersenyum saat melihat Dewa yang ada di dalam mobil sedang menunggunya dengan wajah penuh kesal."Bisa cepat nggak, sih?!" Tanya Dewa dengan kening mengkerut dan terus saja menggerutu, saat Rere sudah duduk di sampingnya.Rere terdiam, sepertinya tak ada niat untuk menjawab, dengan meletakkan kedua tangan di atas tas yang ia letakkan di atas pangkuannya. Rere merobohkan punggung ke sandaran jok, kemudian memandang ke luar mobil dengan arah yang berlawanan dari posisi Dewa.Membiarkan Dewa terus saja menggerutu tak karuan, hingga akhirnya diam dengan sendirinya, mungkin sudah capek. Dan itu membuat Rere bersorak dalam hatinya.Hingga sampai ke tempat yang mereka tuju, keduanya masih menunjukkan sikap saling tak perduli, saling diam antara satu dengan yang lainnya.Rere membiarkan Dewa keluar dan langsung melangkah tanpa menoleh ke arahnya."Makasih, pak T
"Kamu, serius kenal Elang, Dew?" Tanya Dewa saat mereka berdua sudah di dalam mobil, perjalanan kembali ke kantor. Tampaknya dia penasaran banget pada hubungan Rere dengan Elang."Iya ... emangnya kenapa? Kepo!" Rere menjawab pertanyaan Dewa dengan nada datar tapi ketus, matanya menatap Dewa dengan wajah selidik.Dengan menarik nafas panjang dan membuang muka ke arah luar jendela mobil, Dewa tak menjawab apa yang Rere katakan tadi. Entah kenapa ada yang sakit di gumpalan sudut hatinya. Nyeri tapi tak berdarah.Kini pandangan berbeda di dapati di dalam mobil, Rere yang sedang memainkan ponselnya tampak bahagia dengan senyum menghiasi bibir sedangkan Dewa yang sesekali melirik Rere, menunjukkan muka kesal."Kita langsung balik, pak Dewa?" Tanya pak Tik dengan ramah walau tak menolehkan wajahnya ke belakang, karena sedang fokus dengan kemudi."Iya!" Jawab Rere."Tidak!" Sahut Dewa.Mereka
"Ayo kita pergi!" Rere yang sudah siap keluar dari ruangannya, langsung mengajak Ina tanpa menghentikan langkahnya.Sesuai dengan apa yang tadi Rere ucapkan pada sekretarisnya itu, siang ini, ia ingin mengajak Ina ke suatu tempat untuk lebih menjalin kedekatan antara atasan dengan sekretarisnya."Mau kemana, Bu?" Tanya Ina yang rupanya sudah siap juga, dirinya langsung berdiri dengan tas menggantung di bahu kiri."Jangan banyak tanya, yang penting kamu ikut aja, Ayo!" Ujar Rere terdengar ketus.Ciut nyali Ina saat mendengar jawaban yang tak pernah ia duga sebelumnya dari si boss, sambil melirik penuh tanda tanya, Ina mengikuti arah langkah bossnya."Na, kamu duduk di depan saja." Suruh Rere, saat mereka sudah berada di samping mobil yang dikendarai si Udin."Din ... tolong antar ke mall yang kemarin, ya." Pinta Rere saat dirinya sudah masuk dan duduk di jok belakang mobi
Ucapan Rere sontak membuat Ina terdiam, tangan yang awalnya hendak membuka pintu mobil, berhenti bergerak. Mungkin dia sedang bertanya tanya didalam hati, bagaimana Rere bisa tahu dengan rumor yang terjadi selama ini di kantor.Tiba tiba terdengar suara Ina terisak. Membuat Rere terenyuh, tangannya terulur menepuk bahu Ina berulang kali, untuk sekedar bersimpati."Sabar ya, Ina. Kenapa kamu kok sedih, harusnya kamu tunjukkan pada yang ngomongin di belakang sana, kalau kamu tidak seperti yang mereka katakan." Rere menguatkan hati Ina.Omongan tentang Ina yang anak orang miskin, namun berhasil langsung berkarir menjadi sekretaris, ternyata membuat iri beberapa karyawan.Rere sempat mendengar omongan itu, tadi pagi, ketika dia baru saja menginjakkan kakinya di lobi kantor.Pedas sekali mulut orang iri, semua di bahas termasuk dengan busana usang yang di pakai Ina, yang notaben