Setelah perbincangan panjang dan emosional dengan Arga sore itu, aku memutuskan untuk mencoba memaafkannya.
Hatiku masih belum sepenuhnya tenang, tapi aku tahu bahwa hubungan tidak bisa dibangun tanpa kepercayaan dan pengertian. Meski sulit, aku ingin mempercayainya lagi. Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan, dan untuk pertama kalinya aku melihat dia benar-benar merasa bersalah. “Kamu mau jalan-jalan gak malam ini?” tanyanya tiba-tiba, dengan nada yang sedikit ceria yang mencoba mencerahkan suasana. Aku memandangnya sedikit ragu. "Jalan-jalan?" “Ya, kita pergi aja supaya kamu bisa merasa lebih baik. Aku bisa izin ke orang tua kamu,” lanjutnya sambil tersenyum kecil berharap aku akan setuju. Meski aku masih bingung dengan perasaanku, tapi aku mengangguk pelan. Mungkin jalan-jalan bisa membantu kami memperbaiki keadaan. Lagipula, aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan memikirkan semuanya. Setelah Arga berpamitan dan berjanji akan menjemputku nanti malam, aku menghela napas panjang. Aku berharap jalan-jalan ini bisa membawa perasaan yang lebih baik, meskipun bayangan Dina masih menghantui pikiranku. --- Malam harinya, Arga datang menjemputku dengan motor kesukaannya. Dia tampak segar dan penuh energi, seolah siap menjalani hari dengan suasana yang lebih baik. Dia bahkan sempat masuk ke rumah untuk meminta izin langsung kepada orang tuaku. Kulihat dari cara mereka berbicara, orang tuaku sangat mempercayai Arga sepenuhnya. Itu yang membuatku merasa sedikit lebih tenang, meskipun jauh di dalam hati aku masih cemas tentang Dina. “Kita mau ke mana?” tanyaku ketika kami sudah berada di jalan. “Kejutan,” jawabnya sambil tersenyum jahil di bawah helmnya. “Yang pasti, kamu akan suka.” Aku hanya bisa tersenyum kecil. Meski masih ada keraguan, aku tak bisa menyangkal bahwa ada di bagian diriku yang merasa senang bisa bersama Arga. Bagaimanapun, dia adalah pacarku dan aku ingin hubungan ini berhasil. Kami akhirnya tiba di sebuah taman kecil di pinggir kota, tempat ini adalah tempat yang tenang dengan banyak pepohonan. Sepertinya Arga sudah merencanakan ini dengan baik, dia bahkan membawa beberapa makanan kecil di dalam tasnya untuk kami makan. “Kamu mau piknik di sini?” tanyaku dengan nada setengah terkejut. Arga mengangguk sambil mengeluarkan tikar kecil dari motornya. “Ya, aku pikir kita bisa ngobrol santai di sini. Udara di sini segar dan tempatnya nggak ramai.” Aku tersenyum. Ternyata, Arga masih bisa membuatku terkesan dengan hal-hal sederhana seperti ini. Kami duduk berdua di atas tikar, menikmati makanan ringan yang dia bawa sambil berbicara tentang hal-hal ringan. Selama beberapa saat, aku hampir melupakan semua keraguan dan masalah yang kami hadapi. Seolah-olah hanya ada aku dan dia di dunia ini. Namun, momen itu tidak berlangsung lama. Ketika kami sedang tertawa-tawa, tiba-tiba dari kejauhan aku melihat sosok yang sangat familiar. Sosok itu berjalan cepat, seperti sedang terburu-buru. Aku menyipitkan mata untuk memastikan, dan hatiku langsung mencelos ketika aku menyadari siapa itu. Dina!. Dia ada di sini di tempat yang sama. Seolah-olah nasib mempertemukan kami lagi, namun kali ini dalam situasi yang jauh lebih canggung. Aku melihat bagaimana Dina yang tadinya berjalan santai langsung mempercepat langkahnya begitu melihat kami. Dia sama sekali tidak menegur apalagi menyapa. Dia hanya menatap kami sekilas, lalu memalingkan muka dan berjalan lebih cepat seolah-olah ingin segera keluar dari tempat itu. Arga yang menyadari kehadirannya juga langsung terdiam. Wajahnya yang tadinya ceria berubah menjadi tegang. Dia menatap Dina yang berjalan menjauh dengan ekspresi yang sulit kubaca. “Kamu lihat Dina?” tanyaku pelan, meski sudah tahu jawabannya. Arga mengangguk perlahan. “Iya... aku nggak nyangka kita akan ketemu dia di sini.” Aku bisa merasakan bagaimana suasana di antara kami langsung berubah. Keceriaan yang sempat ada beberapa menit lalu kini lenyap dan digantikan oleh rasa canggung dan tegang. Dina jelas masih marah dan aku bisa merasakan bahwa kehadirannya membawa beban yang berat bagi Arga. “Dia masih marah ya sama kamu?” tanyaku hati-hati, meski sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Arga menghela napas panjang. “Sepertinya begitu. Aku sudah coba jelasin semuanya, tapi kayaknya dia masih butuh waktu.” Aku menatap Arga, berusaha mencari kejujuran di matanya. “Dan kamu? Apa yang kamu rasain soal Dina?” Arga terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan jawabannya. “Dina itu teman baikku. Aku nggak mau kehilangan dia sebagai teman, tapi aku juga nggak mau hubunganku sama kamu rusak gara-gara ini.” Aku menunduk memikirkan kata-katanya. Aku tahu hubungan antara Arga dan Dina sudah lama, bahkan jauh sebelum aku masuk ke dalam kehidupan Arga. Tapi sekarang situasinya berbeda. Dina bukan hanya teman baik Arga. Dia juga memiliki perasaan yang lebih dari itu dan aku tahu itu sejak lama. “Tapi Dina suka sama kamu, kan?” tanyaku akhirnya memberanikan diri untuk mengatakannya. “Itu yang bikin dia marah.” Arga menatapku dengan mata penuh penyesalan. “Iya, aku tahu. Tapi aku nggak bisa balas perasaan dia. Karena aku sudah memilih kamu, Nay.” Kata-katanya seharusnya membuatku tenang, tapi entah kenapa aku masih merasa ada sesuatu yang salah. Dina jelas masih marah dan aku tidak tahu apakah ini akan benar-benar selesai begitu saja. Apalagi setelah melihat bagaimana Dina bereaksi ketika melihat kami bersama. “Kamu yakin ini nggak akan jadi masalah lagi?” tanyaku, meski aku tahu jawabannya mungkin tidak akan memuaskanku. Arga mengangguk pelan. “Aku akan pastikan Dina ngerti bahwa aku serius sama kamu. Aku tahu ini nggak mudah, tapi aku akan coba yang terbaik.” Aku menghela napas panjang. Aku ingin percaya padanya, aku ingin semuanya baik-baik saja. Tapi dengan situasi seperti ini, aku tidak bisa menyingkirkan rasa cemas yang terus menghantuiku. Kami duduk dalam diam untuk beberapa saat, yang masing-masing tenggelam dalam pikiran kami sendiri. Piknik yang tadinya terasa manis kini berubah menjadi momen yang canggung dan penuh ketidakpastian. Aku mencoba menenangkan diriku, berusaha mengalihkan pikiran dari bayangan Dina yang terus muncul di kepalaku. Tapi meski aku ingin segalanya kembali normal, aku tahu bahwa ini hanyalah awal dari masalah yang lebih besar. Dina masih ada di antara kami, dan aku tidak tahu apakah Arga benar-benar bisa mengatasi perasaannya yang rumit. Aku hanya bisa berharap, bahwa pada akhirnya cinta kami akan cukup kuat untuk menghadapi semua ini. Tapi, di dalam hatiku aku tahu bahwa jalan di depan tidak akan mudah.Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu