Setiba di rumah, aku langsung melempar tas ke sofa dan menuju kamar tanpa berkata apa-apa.
Semua kejadian hari ini terlalu membebani pikiranku dan aku butuh waktu untuk mencerna semuanya. Bagaimana bisa, Arga yang selama ini kupercayai berbicara seperti itu kepada Dina? Janji yang ia buat terdengar seperti janji kepada seseorang yang lebih dari sekedar teman. Aku terduduk di pinggir tempat tidur, merasakan air mata mulai menggenang di sudut mataku. Aku berusaha menahannya, tetapi semakin aku mencoba, semakin perasaan itu menyeruak memenuhi dadaku dengan rasa sakit yang tak bisa kubendung lagi. Air mata akhirnya jatuh, membasahi pipiku. Rasa sakit itu terlalu besar, seolah-olah hatiku baru saja dihancurkan oleh seseorang yang paling kupercaya. Arga... Kenapa kamu harus membuat janji seperti itu pada Dina? Bukankah kamu sudah memilihku? Bukankah kamu bilang kamu suka padaku? Aku tidak tahu harus berpikir apa. Apakah aku terlalu cepat percaya pada Arga? Apakah semua yang kami lalui hanya permainan baginya? Perasaan yang tadinya kubanggakan, kini berbalik menjadi sesuatu yang menghantui dan membingungkanku. Ponselku tiba-tiba bergetar. Aku mengusap air mata di pipi dengan cepat dan melihat layar ponsel. Nama Arga muncul di sana. Aku menatap pesan itu dengan perasaan campur aduk. Aku tidak tahu harus merespons seperti apa. Sejujurnya, aku ingin mengabaikannya. Namun, sesuatu dalam diriku membuatku tetap membuka pesan itu. "Hai, Nayla. Gimana? Udah di rumah? Mau cerita soal tugas OSIS besok nih." Pesannya singkatnya ya seperti biasa. Tidak ada yang aneh, tidak ada yang berbeda. Seolah-olah semua baik-baik saja. Tapi tidak bagiku. Hatiku terlalu sakit untuk meresponsnya dengan santai. Aku menutup pesan itu tanpa membalas. Sudah cukup! Aku tidak bisa pura-pura seolah-olah semuanya normal. Jika Arga tidak bisa jujur, aku juga tidak akan terus membohongi perasaanku sendiri. Mungkin ini saatnya untuk berhenti peduli. Beberapa menit berlalu. Ponselku kembali bergetar. Kali ini pesan yang lebih panjang. "Nayla, kamu kenapa? Kok nggak bales? Apa ada yang salah? Kamu baik-baik aja, kan?" Arga mulai menyadari bahwa aku tidak merespons seperti biasanya. Perasaanku semakin kacau. Aku tahu aku harus mengatakan sesuatu, tapi rasanya terlalu sulit untuk merangkai kata-kata yang bisa menggambarkan perasaanku saat ini. Dengan napas yang berat akhirnya aku mengetik. "Aku baik. Cuma lagi nggak mau ngomong sekarang." Pesanku singkat, dingin, dan jelas tidak seperti biasanya. Aku berharap itu cukup membuatnya mengerti bahwa ada sesuatu yang salah tanpa harus aku jelaskan lebih jauh. Namun, beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi. "Kamu kenapa, Nay? Apa aku salah? Tolong kasih tahu aku, jangan begini. Ada apa?" Perasaanku semakin kacau. Aku menatap layar ponsel, jari-jariku gemetar di atas keyboard virtual. Haruskah aku mengatakan yang sebenarnya? Haruskah aku memberitahu Arga bahwa aku mendengar semuanya? Aku menutup mata, mencoba mengumpulkan keberanian. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, aku mengetik pesan yang tak pernah kukira akan kukirimkan. "Aku dengar semua. Percakapan kamu sama Dina tadi sepulang sekolah. Tentang janji kamu ke dia. Sekarang aku mau tahu... apa maksud dari semuanya?" Tanganku gemetar ketika menekan tombol "kirim". Tidak ada jalan untuk kembali sekarang. Aku sudah menyampaikan apa yang ada di pikiranku, dan sekarang hanya tinggal menunggu responsnya. Pesan itu terkirim. Dan yang bisa kulakukan sekarang hanyalah menunggu. Jantungku berdebar kencang, dan perutku terasa mual. Aku menatap ponsel dengan cemas dan menunggu balasan dari Arga. Tidak lama kemudian, ponselku bergetar lagi. Kali ini pesannya terasa lebih mendesak. "Nayla, aku bisa jelasin. Tunggu aku. Aku akan ke rumahmu sekarang." Mataku melebar membaca pesannya. Ke rumahku? Sekarang? Aku belum siap untuk bertemu dengannya. Tapi sebelum aku bisa berpikir lebih jauh, dia mengirim pesan lagi. "Aku sudah di jalan. Kita harus bicara." Aku terpaku di tempat. Rasa panik mulai merayapi pikiranku. Apa yang harus kukatakan nanti? Bagaimana jika penjelasannya hanya membuatku semakin bingung? Tapi, di sisi lain, aku tahu aku butuh jawaban. Aku tidak bisa terus menerus berada dalam ketidakpastian seperti ini. Tidak lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu rumah. Jantungku semakin berdebar. Aku tahu itu Arga. Dengan langkah perlahan, aku menuju pintu depan dan mencoba menenangkan diri sebelum akhirnya membukanya. Di sana berdiri sosok Arga dengan wajah cemas. Matanya menatapku penuh kekhawatiran, seolah-olah dia tahu betapa hancurnya perasaanku. Aku tidak bisa menatapnya terlalu lama. Rasa sakit di dadaku kembali menguat. “Nayla,” dia memulai dengan suara pelan. “Aku tahu kamu marah. Tapi, tolong dengarkan dulu penjelasanku.” Aku mengangguk pelan, tanpa berkata apa-apa. Rasanya sulit bagiku untuk berbicara. Aku hanya ingin mendengar apa yang dia katakan. “Aku nggak bermaksud bikin kamu terluka,” lanjutnya. “Percakapan tadi sama Dina... itu nggak seperti yang kamu pikirkan.” Aku mengernyitkan dahi, aku tidak paham maksudnya. “Maksud kamu apa? Kamu janji nggak akan ninggalin dia, Arga. Apa itu nggak cukup jelas?” Arga menghela napas panjang. “Dina... dia teman baikku dari dulu. Kami udah kenal lama dan dia sering merasa kesepian. Dia nggak punya banyak teman lain selain aku. Aku hanya nggak mau dia merasa sendiri. Tapi itu bukan berarti aku nggak serius sama kamu, Nayla.” “Tapi kenapa kamu janji seperti itu? Seolah-olah dia lebih penting daripada aku...” suaraku bergetar. Air mata yang tadi sudah kutahan mulai menggenang lagi. Arga menatapku dengan penuh penyesalan. “Bukan begitu, Nayla. Aku hanya nggak mau kehilangan persahabatan kami. Tapi aku juga nggak mau kehilangan kamu. Aku tahu ini semua rumit dan aku bodoh karena nggak menjelaskan lebih awal.” Aku terdiam, mencoba mencerna kata-katanya. Meskipun penjelasannya terdengar masuk akal, tapi perasaanku masih juga kacau. “Jadi, kamu memang masih peduli sama Dina?” tanyaku lirih. Arga mengangguk pelan. “Ya, aku peduli sama dia. Tapi Nayla, aku... aku lebih sayang sama kamu. Dan aku mau hubungan kita tetap berjalan.” Kata-katanya menggantung di udara. Meskipun perasaanku sedikit tenang aku masih merasa ragu. Apakah aku bisa mempercayainya? Atau akankah aku terus merasa terjebak di antara dia dan Dina? Namun, satu hal yang pasti, aku butuh waktu untuk menerima semua ini. Dan Arga, meskipun dengan semua kebingungannya, tampaknya benar-benar ingin memperbaiki semuanya. “Nayla,” Arga memanggil namaku lagi. “Aku harap kamu bisa memaafkanku. Aku janji, mulai sekarang aku akan lebih jujur sama kamu.” Aku menatapnya, mencoba menemukan kejujuran dalam matanya. Mungkin, ini saatnya aku memberikan kesempatan.Aku masih terbaring di tempat tidur, menatap langit-langit kamar yang terasa semakin sempit. Setiap tarikan napas terasa berat, seperti ada batu yang menghimpit dadaku. Setelah percakapan singkat dengan Papa dan Bara, hatiku semakin hancur. Perjodohan ini seperti belenggu yang tak bisa kulepaskan. Bagaimana bisa aku menikah di usia yang masih sekolah? Bagaimana dengan masa depanku?Aku memutuskan untuk menemui Bara. Aku harus berbicara dengannya, memohon agar pernikahan ini dibatalkan. Tidak ada jalan lain. Bara harus mendengar alasan logisku. Pasti dia mengerti, kan?Dengan langkah tergesa, aku turun ke ruang tamu berharap Bara belum pergi. Di sana dia masih duduk dan berbicara dengan Papa. Mereka terlihat sedang mendiskusikan sesuatu yang serius. Ketika Bara melihatku datang, tatapannya sedikit berubah. Aku menghela napas dan memberanikan diri untuk mendekat."Papa, aku ingin bicara dengan Bara," ucapku, mencoba terdengar tegas meskipun suara hatiku gemetar.Papa mengangguk pel
Arga mendesah pelan, namun tetap menatapku dengan penuh perhatian. "Baiklah, kalau kamu bilang begitu. Tapi kalau ada apa-apa, kamu janji akan cerita ke aku, ya?" Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hatiku ada kekhawatiran yang menggelegak. "Iya, aku janji," ucapku dengan suara yang hampir berbisik. Arga kemudian meraih tanganku dan menggenggamnya erat. Kehangatan sentuhannya memberikan sedikit ketenangan dalam kekacauan pikiranku. "Kamu tahu Nay, aku akan selalu ada buat kamu. Apa pun yang terjadi." Kata-kata itu, meskipun sederhana justru membuat hatiku semakin perih. Bagaimana bisa aku menyembunyikan sesuatu yang begitu besar darinya? Aku mencintainya, tapi kenyataan tentang perjodohan ini mengintai seperti bayangan gelap yang siap menghancurkan segalanya. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Aku tahu, Arga. Terima kasih." Aku berusaha mengalihkan pikiran dari kegelisahanku. Namun, sebelum aku sempat mengatakan apa-apa lagi, ponselku berbuny
“Aku harus mencoba,” jawabku, suaraku bergetar namun tetap berusaha tegar. “Aku nggak bisa menyerah begitu saja.” Bara mendekat, hingga jarak antara kami semakin sempit. Tatapannya dingin, tapi ada sesuatu dalam caranya melihatku yang membuatku merasa dia lebih dari sekadar seorang musuh. Ada penyesalan yang terpendam di matanya, meski suaranya tetap tegas. “Kamu selalu keras kepala, Nay. Tapi kali ini, kamu harus belajar menerima kenyataan. Apa pun yang kamu coba, nggak akan mengubah keputusan mereka.” Aku merasakan gumpalan amarah dan putus asa bercampur dalam diriku. Apa benar tak ada lagi jalan keluar? Apa semua ini sudah ditakdirkan sejak awal? Aku menatap Bara dengan penuh kebencian, namun di balik itu ada ketakutan besar. Ketakutan kehilangan Arga. Ketakutan bahwa hidupku akan dijalani tanpa pilihan. “Tapi ini hidupku!” seruku, suaraku nyaris pecah. “Kenapa kalian semua berpikir bisa mengambil keputusan untukku? Aku berhak atas pilihanku sendiri, Bara! Be
Malam itu terasa semakin sunyi, namun di dalam pikiranku badai tak kunjung reda. Rasanya aku terjebak dalam lingkaran yang sulit kutembus tanpa jalan keluar. Bara... kenapa semua ini harus terjadi padaku? Kenapa harus ada dia di antara aku dan Arga? Ketika matahari mulai menembus tirai jendela kamarku keesokan harinya, aku sadar bahwa aku harus menghadapi kenyataan. Tidak ada lagi waktu untuk lari. Pertemuan dengan Bara tak terhindarkan. Aku bangun dengan kepala berat, bersiap-siap seolah ini hanya hari biasa. Tapi hati kecilku tahu bahwa hari ini akan berbeda. Saat aku mengenakan seragam sekolah, aku melihat pantulan diriku di cermin. Mataku tampak lelah, seakan menjerit meminta bantuan yang tak pernah datang. Setelah selesai, aku keluar dari kamar. Papa dan Mama sudah di meja makan, tapi aku tidak berniat untuk bicara lebih dari yang diperlukan. Pikiran tentang pertemuan di parkiran sekolah terus menghantuiku. Sesampainya di sekolah, suasana pagi tampak normal seperti bi
Aku berjalan meninggalkan ruang tamu dengan langkah terburu-buru, seolah ingin segera lari dari kenyataan. Sejujurnya, aku masih tidak bisa menerima semua ini. Bara? Dari semua orang kenapa harus dia? Sialan!Aku bergegas menuju kamarku, berharap bisa sedikit menjernihkan pikiran. Tangan masih menggenggam ponsel erat, mataku terpaku pada pesan-pesan dari Bara yang terus menghantuiku. Bara dengan sikap yang menyebalkan dan kata-katanya yang kasar, selalu berhasil memancing emosiku.“Takut Arga tahu?” kata-kata Bara tadi kembali terngiang di telingaku. Apa dia benar-benar berpikir aku takut? Atau lebih tepatnya, apa dia menikmati fakta bahwa aku terjebak dalam situasi yang penuh tekanan ini? Seolah dia tahu bahwa aku tidak bisa leluasa memilih.Aku melempar ponsel ke atas kasur, merasa frustrasi, lalu jatuh terduduk di tepi ranjang. Rasanya pikiranku benar-benar kusut. Arga… Oh, Arga. Kalau dia tahu soal ini, apa yang akan terjadi? Aku tidak sanggup membayangkan reaksinya. Kami su
Makan malam akhirnya berakhir, dan aku merasa lega bisa melepaskan diri dari tatapan tajam Bara yang terus mengawasiku sepanjang acara. Aku berdiri dengan kikuk, memaksakan senyum pada Papa dan Mama yang tampak begitu bahagia malam ini. Bagaimana mungkin mereka bisa merasa senang dengan situasi ini? Perjodohan ini benar-benar absurd, dan yang lebih membuatku geram adalah kenapa harus Bara dari semua orang?Saat aku hendak melangkah keluar dari ruang makan, handphone di sakuku bergetar. Sebuah pesan masuk dari Bara. Jantungku berdegup tak beraturan, meskipun aku sudah berusaha mengabaikannya. Apa lagi yang dia mau?"Besok aku tunggu kamu di sekolah. Kita harus ngobrol soal ini, Nayla."Aku menggigit bibir, merasa emosi meluap dalam diriku. Bara benar-benar tidak mau membiarkanku lepas dari situasi ini. Bukannya aku bisa menghindari perjodohan ini, tapi kenapa dia harus begitu santai dan seolah menikmatinya? Dengan tangan gemetar, aku segera membalas pesannya."Aku nggak mau ketemu