Hai, apa kabar semuanya?! Bagaimana suasana lebaran-nya? hehehe! Sehat-sehat selalu ya temen-temennya Chinta.
Perlakuan Zayden barusan—di tempat umum, di hadapan banyak pasang mata—membuat Alisha nyaris kehilangan napas. Dadanya bergemuruh tak karuan, seperti genderang perang yang ditabuh terlalu keras. Dia berdiri kaku, seolah disengat aliran listrik tegangan tinggi. Pria itu baru saja menciptakan badai kecil, dan Alisha berada tepat di tengah pusarannya. Tangan Zayden melingkar santai di pinggangnya, seolah-olah tindakan tadi bukanlah sesuatu yang besar. Lalu dengan tenang, dia membelai rambut Alisha, senyumnya manis tapi berbahaya—senyum yang bisa meruntuhkan pertahanan siapa pun. Beberapa kali Alisha mengerjapkan mata, berusaha menstabilkan degup jantung yang masih kacau. Meskipun mereka pernah lebih dekat dari ini, ciuman yang lebih dalam dan momen yang lebih intim—kenapa kali ini terasa … berbeda? Belum sempat pikirannya mengurai makna dari semua sensasi yang mekar di dadanya, sebuah suara familiar menginterupsi. Ceria dan sedikit mengusik. “Wah … ternyata pengantin baru memang seda
“K-kamu ngomong apa sih, Tik!?” tanya Alisha cepat, masih berusaha keras mengelak. “Ya bercandalah, Al!” Tika tertawa, tidak menyadari betapa pucat wajah sahabatnya itu. “Aku cuma godain kamu karena nama istrinya Pak Zayden sama kayak kamu. Namanya Alisha juga.” Tika kemudian menepuk pundak Alisha ringan. “Ya masa iya istri Pak Zayden tuh kamu? Heleeh, mimpi apa aku semalam kalau sampai iya.” Tika menggelengkan kepalanya, sama sekali tidak tahu betapa lega hati Alisha mendengar balasannya itu. “Katanya dia ini anak pejabat gitu, mereka udah lama rahasia-rahasia karena gak mau ada gejolak sesuatu … ya … kamu tahu sendiri lah kalo misalnya urusan politik dan pengusaha.” Tika kembali melanjutkan. “Eh, Al, tapi kalo dipikir-pikir, Bos besar emang sering kan ya panggil kamu ke ruangan dia, apa karena dia kesel kali ya, kok bisa nama bininya sama kayak kamu!” Tika kembali terkekeh. Alisha turut tertawa mendengarnya, hanya saja tawa Alisha ini menutupi rasa gugupnya yang mungkin sempat
Alisha berjalan dengan langkah gontai ke kamar perawatan Nariza, dalam setiap langkah kakinya entah kenapa dia menjadi sedih saat Zayden tidak mampu memenuhi janjinya sendiri. Padahal, pria itu yang benar-benar sangat memaksa sebelumnya.“Ah, gimana cara jelasin sama Nariza, ya?!” rutuknya.Akan tetapi kalau dipikir lagi, jelas Zayden sibuk di urusan pekerjaan, lagipula dia mendengar gosip kabarnya perusahaan mereka ini sedang tidak baik-baik saja dan Zayden mencoba untuk mengobati perusahaan mereka.Kalau memikirkan hal ini, entah kenapa Alisha menjadi bangga dengan pria itu. Dia bersedia ditempatkan di tempat yang bermasalah, padahal dia bisa saja menolak hal ini.Ah, entahlah rasanya kehidupannya benar-benar campur aduk dan terasa seperti naik roller coaster sejak bertemu dengan Zayden. Cukup naik turun, mendebarkan dan tidak disangka-sangka.Dia menggelengkan kepalanya ringan sebelum akhirnya mendorong pintu kamar di mana Nariza berada.Namun, baru saja dia membuka pintu itu, dia t
“Kamu pikir aku nggak bisa menebak, Al? Orang yang punya tekad kuat untuk tidak menikah seumur hidupnya, mendadak menikah dengan pria bernama Zayden Wicaksana?” Yumi menarik napas dalam. “Lelucon macam apa yang sedang kamu tunjukkan padaku?” Alisha menelan ludah. Tangannya menggenggam ujung bajunya dengan erat. “Jadi, jujurlah!” Yumi berkata dengan suara bergetar karena menahan rasa kesal yang melihat Alisha begitu erat menyembunyikan hal itu. “Apa kamu melakukan semua ini demi pengobatan Nariza?” Kalimat itu sontak membuat Alisha mengangkat kepalanya melihat ke arah Yumi. “Jadi benar? Demi Nariza, ya? Jadi, kamu menerima tawaran menikah dengannya karena Kak Zayden juga memiliki peluang bagus untuk menutupi skandal menyimpangnya agar keluarganya tidak lagi bicara macam-macam terhadap hal itu, kan?” Tebakan Yumi sangat tepat dan tidak meleset, bahkan dia juga tahu kalau Zayden itu memiliki perilaku yang menyimpang sebagaimana yang Alisha ketahui sejauh ini. “Kamu tahu tentang Zay
Menyadari suasana yang terasa dingin ini, dengan cepat Yumi membuat langkah antisipasi.“Eh, Kak Zayden sudah datang!” Dia berkata dengan nada cukup ceria.Zayden hanya mengangguk pelan.“Alisha bilang katanya Kak Zayden gak bisa dateng, dicariin banget tuh sama si Iza, dia terlihat sedih kalau memang Kak Zayden gak dateng loh.” Yumi mulai nyerocos, hal itu tentu saja, membuat Alisha mendapat kesempatan untuk sedikit bernapas lega.“Aku sudah janji, tentu saja aku datang.” Zayden menjawab singkat.Mendengar hal itu, baik Alisha maupun Yumi saling pandang. Ucapan pria itu memang sangat hemat. Dia sangat paham dengan kalimat efektif yang tidak perlu basa-basi panjang lebar.“Ya sudah kalau Kak Zayden sudah datang, aku pulang dulu, ya! Alisha, aku akan menghubungimu lagi nanti.” Yumi berkata dengan senyum merekah.“Iya,” jawab Alisha singkat.“Kak Zayden, aku pulang dulu, ya! Jaga sahabat baikku ini jangan sampai terluka sedikit pun!” Yumi berkata dengan penuh penekanan dan tentu saja kal
“Sha, kamu kenapa?” tanya Zayden dengan tersenyum pada Alisha, tetapi detik berikutnya, seolah tersadar dengan apa yang terjadi, apalagi ucapan Zayden barusan terkesan mengejeknya!“Ah, tidak apa-apa,” Alisha menjawab cepat.Mendapati hal itu, dari sudut pandang Alisha Zayden terlihat tersenyum penuh kemenangan. ‘Ah! Pria ini benar-benar sangat licik! Menyebalkan sekali!’ maki Alisha dalam hati.Demi menutupi hal itu, Alisha segera mengalihkan pandangannya dan melihat ke arah televisi.“Walaupun ini minuman tidak ada rasanya, tapi kalau diberikan oleh Kakakmu rasanya sangat nikmat!” Kembali Zayden memuji Alisha di depan Nariza.Jelas hal ini makin membuat Alisha keki dalam hati.Makin lama rasanya akting Zayden sangat luar biasa!“Kak Al sangat beruntung mendapatkan suami seperti Kak Zayden!” puji Nariza.Sementara Alisha hanya menanggapinya dengan senyuman yang merekah.Obrolan berlanjut santai. Mereka berbincang soal pernikahan yang tidak dihadiri Nariza. Tawa, canda, dan beberapa le
Zayden menarik napas dalam atas tindakan Alisha barusan. “Alisha apa kamu bisa untuk tidak berbuat onar?” Zayden mengambil tisu di atas meja dan mengelap wajahnya. “Kenapa kita harus satu kamar?” Alisha tidak peduli kalau dia baru saja melakukan tindakan buruk terhadap suaminya itu. Menurutnya, masalah tinggal di satu kamar ini jauh lebih luar biasa untuk didiskusikan segera! “Tentu saja karena kamu adalah istriku, apalagi?” Zayden berkata dengan sangat enteng. “Tapi ini tidak mungkin!” Alisha menolak keras ide ini. “Yang tidak mungkin itu tinggal di kamar yang berbeda, apalagi saat Nariza dinyatakan boleh pulang.” Zayden berkata dengan datar lalu, memasukkan tangannya ke dalam saku celana. Alisha terdiam. O-ow... Dia lupa soal Nariza. Kalau mereka terlihat tidur di kamar berbeda, bisa-bisa Nariza tahu bahwa pernikahan mereka adalah pernikahan dengan kesepatakan. “Kalau kamu mau tinggal di kamar lain sementara Nariza belum pulang, silakan saja. Tinggal pilih saja kamar yang ada
“Se-re-na … wajahmu sepertinya memperlihatkan suasana hatimu yang menjadi tidak baik." Tania berkata dengan nada provokasi yang cukup kental. Serena adalah wanita yang pernah Zayden cintai. Seseorang yang pernah hampir pria itu nikahi. Sampai 'kecelakaan' itu terjadi .... "Kalau kamu kembali muncul, menurutmu bagaimana reaksi Zayden?" lanjut Tania lagi. Serena berusaha menguasai dirinya. Dia kemudian tersenyum dan berusaha tenang menghadapi kalimat provokasi tersebut. “Kalau dia sudah menikah, ya biarkan saja dia menikah. Lagi pula, aku tidak berniat untuk mengganggu hubungan orang lain.” Gaya bicaranya terdengar tenang, tidak seperti sebelumnya, membuat Tania sedikit terkejut, tetapi dia segera menetralkannya. “Oh, ya? Yakin kamu tidak terganggu dengan kebahagiaan yang dia punya?” Tania kembali memancing wanita yang ada di depannya ini. Serena hanya diam. Namun, kepalanya jelas sangat berisik dan suasana hatinya menjadi tidak karuan! Mana mungkin dia rela Zayden bisa hidup bah
Zayden terdiam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi matanya seketika redup. Jawaban Alisha sepertinya adalah sebuah jawaban yang dia pikir tidak akan pernah dia dengar.Ada jeda. Hening menyergap di antara mereka.Zayden menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Saat kembali membuka matanya, senyum samar terlukis di sudut bibirnya — senyum getir.“Aku mengerti,” ucapnya akhirnya, lirih.“Apa yang kamu mengerti?” tanya Alisha dengan suaranya yang terdengar stabil.“Aku mengerti, jawabanmu memang sangat normal, kupikir hanya aku yang sedikit naif untuk mendengarkan alasan tidak logis.” Zayden berkata datar.Alisha menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu melipat tangannya di depan dada. “Aku ada di sini saat ini, jelas karena kamu adalah Zayden Wicaksana. Tahu kenapa?” Alisha berkata datar menatap tajam ke arah suaminya itu.“Karena saat itu…” Alisha membuka suara, nadanya terdengar santai, tapi ada getaran halus yang samar. “Kamu berhasil membuatku menyetujui sesuatu
Suasana di ruangan itu masih membeku. Zayden tetap diam di tempatnya, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Tatapan matanya tidak sedikit pun bergeser dari wajah Helena.Helena menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke kursi antik yang didudukinya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan banyak makna.“Tak peduli kau suka atau tidak, Zayden. Posisi itu akan tetap jatuh ke tanganmu. Dan sebagai pemilik masa depan keluarga Wicaksana, kau tak boleh membuat keputusan yang sembrono, apalagi menyangkut urusan pribadi.”Zayden mendengkus pelan. “Jadi ini semua tentang kuasa?”“Bukan hanya kuasa,” jawab Helena pelan, tapi suaranya cukup untuk memotong udara. “Ini tentang garis warisan, reputasi, dan harga diri keluarga. Kau harus tahu, setiap langkah yang kau ambil akan selalu memiliki dampak. Bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk semua orang yang membawa nama Wicaksana di belakangnya.”Zayden mengepalkan tangannya lebih erat, meredam emos
Zayden langsung mendatangi kediaman kakek dan neneknya. Dia tahu ini sudah waktunya untuk mereka beristirahat, hanya saja, Zayden tidak suka dengan cara neneknya yang menekan orang-orangnya. Setidaknya dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin! Bukankah dia juga mengatakan pada Arsel untuk segera menemuinya setelah dia sampai?Kali ini Zayden sudah di tahap tidak peduli dengan jam kunjungan tamu! Dia sungguh tidak bisa mentolerir tindakan neneknya lagi kali ini.“Tuan Zayden, Tuan dan Nyonya Besar baru saja istirahat.” Kepala pelayan di rumah ini berkata sopan pada Zayden.“Katakan pada Nyonya Helena, aku datang, kalau dia tidak menemuiku sekarang aku yang akan datang langsung ke kamarnya!” Zayden berkata dengan tegas. Ucapannya seolah-olah tak terbantahkan.“Tapi, Tuan … Nyonya pasti sangat lelah, pagi tadi beliau baru sampai dari luar kota dan juga langsung mengurus Tuan Besar ke untuk berobat dan —”“Katakan saja padanya aku sudah disini. Apa kamu tidak mengerti dengan bah
Beberapa jam sebelumnya.Saat Arsel memasuki kediaman Keluarga Wicaksana, selalu saja ada hal yang perlu dia waspadai, jelas ini akan berkaitan dengan Zayden. Hanya saja, kali ini dia masih belum bisa menebaknya secara jelas.Arsel mengiringi langkah Danti yang membawanya ke ruang kerja Helena.“Masuklah Pak Arsel, Nyonya sudah menunggu di dalam.” Danti menghentikan langkahnya tepat di depan pintu besar itu.“Terima kasih,” ucap Arsel lalu mendorong pintu itu.Baru saja menutup pintu, aura dominan ruangan ini sangat menekannya. Bahkan walau dia sudah terbiasa dengan Zayden yang memang tampak dingin itu, Helena jauh lebih dari itu.“Duduklah,” ucap Helena dengan suara datar, menyuruh Arsel untuk duduk di sofa tamu.Arsel mengangguk sopan, dalam hati jelas sudah tenang. Apalagi tatapan Helena sangat tajam dan menusuk.Kemudian Helena membawa beberapa file dan meletakkannya di atas meja yang ada di depan Arsel.“Ini … apa Nyonya?” tanya Arsel pelan, di depannya sudah ada amplop coklat bes
Di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk hotel tempat Zayden dan Alisha berada, suasana di sebuah ruangan megah dengan interior klasik-modern itu terasa tenang, hanya diisi suara detik jam dinding antik yang menggema pelan.Helena Wicaksana duduk anggun di balik meja kerjanya. Di hadapannya, secangkir teh melati masih mengepulkan uap harum. Wanita paruh baya itu tampak tenang, membaca sebuah laporan yang baru saja diberikan asistennya, Danti.Senyum tipis mengembang di wajah Helena saat beberapa lembar foto terpampang jelas — Zayden dan Alisha, tertangkap kamera sedang berjalan berdua, duduk berdekatan, bahkan sebuah foto samar ketika Zayden tanpa ragu memegang tangan Alisha di pinggir pantai.Bahkan laporan video tentang keduanya juga terlihat jelas saat ini, hal ini membuat Helena mengangguk pelan, walau dalam hatinya masih tersirat sedikit kecurigaan terhadap hubungan keduanya saat melihat foto dan video ini rasanya semuanya memudar begitu saja.Helena menegakkan duduknya. “Sepertinya
Usai mandi, Alisha tampak jauh lebih segar. Rambutnya yang masih sedikit basah di bagian ujung dibiarkan tergerai alami, menyentuh bahu dengan manis. Wajahnya bersih tanpa riasan berlebih, hanya sedikit sapuan lip balm dan bedak tipis yang membuat kulitnya terlihat cerah alami. Mengenakan blouse merah muda sederhana dipadukan celana kain lembut, penampilannya tampak rapi sekaligus nyaman.Baru saja ia selesai merapikan rambut di depan cermin, suara bel kamar terdengar pelan namun jelas.TING TONG!Alisha refleks menoleh saat suara bel terdengar, lalu berjalan santai ke arah sekat kamar. Begitu membuka pintu, aroma segar dari tubuhnya masih samar tercium, menyisakan suasana nyaman di ruang itu.Dari ruang tengah, terdengar suara ringan Farhan yang sempat ingin berdiri. Namun sebelum sempat melangkah, Alisha sudah bersuara. “Eh, kalian lanjutkan saja. Pasti itu dari hotel, bawain sarapan,” ucapnya santai dengan senyum kecil.Ketiganya langsung menoleh, dan Zayden yang tengah duduk di sof
Suasana di ruangan itu tiba-tiba membeku. Alisha berdiri kaku di ambang pintu, matanya langsung menangkap sosok Zayden yang sudah terlihat segar dan rapi dalam balutan kemeja dan celana dasarnya, menatap ke arahnya sambil menggeleng pelan. Ekspresi pria itu seakan berkata tanpa suara, ‘Nah, itu salahmu sendiri, aku tidak memberitahukan hubungan kita pada temanmu.’Tika yang sejak tadi masih terbelalak akhirnya memberanikan diri membuka suara.“Al, kamu…,” ucapnya, tapi kalimat itu menggantung di udara. Wajahnya jelas menunjukkan banyak pertanyaan, namun sadar ini bukan situasi untuk interogasi terang-terangan, apalagi Zayden ada di antara mereka.Alisha buru-buru menyambut ucapan setengah jadi itu dengan senyum kaku. “Ah, iya… kalian ini… sedang kerja, ya?”‘Ya ampun, Alisha… tentu saja mereka kerja! Apa coba yang mereka lakukan kalau bukan kerja?!’ batin Alisha berteriak panik dalam kepalanya.Tika, Farhan, dan Aldian saling pandang cepat. Ketegangan masih terasa menggantung, sementar
Alisha tidak pernah membayangkan kalau dia akan mendapatkan adegan manis dalam hidupnya seperti saat ini, bahkan bermimpi pun rasanya dia tidak berani. Banyak hal yang rasanya sangat tidak mungkin baginya, tetapi nyatanya dia ada bersama Zayden saat ini.“Ahhhhh … kenapa aku senang sekali?” Alisha berkata dengan senyum lebarnya, dia benar-benar tidak bisa menyembunyikan rasa bahagianya itu, dengan cara menggerak-gerakkan tubuhnya dan memegangi lengan Zayden yang melingkar di bawah dagunya.“Dasar berlebihan,” ucap Zayden santai, lalu melepaskan tangannya dan memutar tubuh mungil itu hingga menghadap ke arahnya.Mata bulat Alisha berkedip-kedip sesaat sebelum akhirnya benar-benar melihat ke dalam mata Zayden yang cukup tenang.“Ke-na-pa liatnya begitu?” tanya Alisha.Zayden hanya menggeleng pelan lalu mendesah berat. “Apa kamu yakin bisa bertahan untuk tidak meninggalkanku?” Pertanyaan tiba-tiba ini membuat Alisha terkejut.‘Aduh! Kenapa sih dia merusak suasana bagus gini dengan bertan
Aldian merasa sangat terpojok saat ini, apalagi pandangan kedua rekannya ini seolah menekannya untuk berkata dengan jujur. Dia menimbang-nimbang sesuatu, apa harus dia berbicara atau tetap diam saja.“Hei, kamu mau ceritain sama kita atau … nggak? Atau kamu sudah tahu hubungan gelap mereka?” Tika kembali menekan Aldi.“Ih, apaan sih kalian, udah lagian mau mereka ada hubungan gelap atau nggak kan gak ada efeknya di kita.” Aldian berkata dengan suara beratnya.“Nggak bisa gitu dong! Alisha itu teman kita, kita tidak boleh membiarkan dia merusak hubungan orang lain, dan jadi wanita simpanan!” sahut Tika lagi.“Lagian sepertinya kamu tahu sesuatu deh, Aldi!” Kali ini Farhan menatap tajam ke arah Aldian.“Udah kayak perempuan aja, kamu Farhan, mau-maunya bergosip.” Aldian berkata santai.“Ah, ternyata memang benar ya!” Tika menarik kesimpulan sendiri dari apa yang dia perhatikan dari Aldian.“Kalau begitu aku harus menghubungi Alisha segera! Dia harus diperingatkan! Dia tidak boleh menjadi