Suasana sedikit menjadi dingin, dan … baru saja Helena akan bicara, bunyi ponsel Alisha terdengar nyaring. Dia diam sejenak menatap layar ponselnya.Zayden.Namun, Alisha membuatnya menjadi senyap dan meletakkan kembali ponsel itu di atas meja. Helena melihatnya dengan tatapan menyelidik.“Zayden pasti menghubungimu, kan?” tanyanya dengan nada datar.Alisha mengangguk. “Benar, Nek.” “Kenapa kamu tidak menjawabnya? Dia pasti akan sangat khawatir padamu.” Helena berkata pelan namun penuh penekanan.Hal ini membuat minat Alisha makin tinggi terhadap apa yang terjadi pada keduanya. Dia menyipitkan matanya dan memandang ke arah Helena dan berkata, “Khawatir? Kenapa Zayden harus khawatir, Nek? Aku bersama neneknya, kan? Tidak mungkin juga neneknya melakukan sesuatu padaku.” Memancing!Akan tetapi Alisha lupa kalau yang berada di hadapannya ini bukan orang sembarangan yang bisa diberdayakan begitu saja.Helena tersenyum sekilas lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.“Itu pikiranmu, kan? Berbe
Zayden masih diam. “Masih tidak mau cerita ya?” Alisha terkesan sedikit memaksa. Zayden menarik napas dalam dan berkata, “Bukankah kita sudah sepakat untuk tidak mencampuri urusan–” “Kalau kasusnya begini, jelas aku harus tahu, setidaknya ini melibatkanku sebagai istrimu. Kecuali kalau aku tidak ada di tengah-tengah kalian!” potong Alisha cepat dengan nada frustrasi. Entah kenapa susah sekali membuka mulut Zayden ini! SREET! Suara kursi tertarik mundur, Alisha berdiri dari tempat duduknya, berjalan mondar-mandir di sekitar kursinya dan kursi Zayden sambil menghela napas panjang. Sementara, Zayden masih di tempat yang sama, duduk membisu seperti patung, menatap lurus tanpa ekspresi. Alisha menghentikan langkahnya tepat di depan pria itu. Matanya menatap sebal, bibirnya manyun, dan kedua tangan dilipat di depan dada. “Ya sudah kalau kamu nggak mau cerita!” serunya dengan nada tinggi, bola matanya berputar malas. “Menyebalkan sekali! Nggak nenek, nggak cucu, sama-sama biki
Alisha masih berdiri terpaku, mencoba mencerna kata-kata pria itu.Membunuh?Siapa yang dibunuh? Maksudnya seseorang itu siapa?Atau jangan-jangan…Entahlah, dia tidak berani menebak-nebak, hanya saja, entah kenapa dia merasa kalau ada perasaan aneh mulai menyusup dalam hatinya. Ini sedikit berlebihan dan terasa seperti hal yang siap meledak.Hingga akhirnya, dia memutuskan untuk keluar dari tempat itu dan menyusul Zayden. Dia menghubungi Zayden, hanya saja tidak ada jawaban. Saat mendatangi kamar Zayden, juga sama, tidak ada sahutan.“Apa … dia gak balik ke kamar ya?” gumam Alisha.“Ya kalo gak ke kamar dia pergi kemana?” tanya Alisha sambil berpikir keras. Kakinya berjalan tak kenal lelah melewati koridor hotel ini, lalu berakhir di lobi hotel. Melihat jam di pergelangan tangannya sudah pukul 4 sore.“Duh! Apaan sih, kayak anak kecil aja! Padahal tinggal angkat aja teleponnya kok susah sekali sih!” gerutu Alisha.Akhirnya dia mempunyai ide.Dia menghubungi seseorang dengan harapan b
Alisha duduk diam, isi kepalanya terasa penuh dan sangat berisik, apalagi dia terngiang-ngiang kalimat sang nenek yang bertanya tentang masa lalu Zayden, ternyata itulah kenapa wanita itu terlihat skeptis saat Alisha mengatakan kalau semua orang memiliki masa lalu. Bukankah dia terlalu naif dan sombong dengan pernyataannya sendiri?Alisha kembali mengatur napasnya, agar bisa menjaga moodnya tetap baik, walau sebenarnya itu cukup sulit.“Al, apa kamu mendengarkanku?” tanya Yumi dengan suara pelannya.Yumi sudah yakin sejak awal, kalau Alisha pasti akan menyukai Zayden! Dia adalah Zayden, yang mana walaupun semua orang menghujatnya sebagai pria penyuka sesama jenis, tetap akan ada wanita yang berlomba berdiri paling depan untuk meraihnya, dan mengatakan kalau cinta bisa mengubah segalanya!“Alisha,” panggil Yumi lagi.“Ah, iya, Yum! Aku tidak apa-apa kok!” Lalu Alisha terkekeh ringan. “Kamu … yakin tidak apa-apa?” tanyanya Yumi dengan nada khawatir.“Tidak apa-apa kok!” Alisha masih ter
Tiga puluh menit sebelum rapat dengan calon klien, Alisha sudah memastikan semuanya berjalan aman, dia juga sudah berkoordinasi dengan orang-orang dari calon klien ini terkait persiapan-persiapannya. Tentu saja, masalah pribadi tidak boleh membuat moodnya berantakan, dia harus tetap profesional dengan pekerjaannya, lagipula dia datang kemari bukan untuk urusan pribadi, kan? Setelah urusan di sini selesai, Alisha kembali menghubungi Zayden, hanya saja pria itu masih belum menjawabnya. Jelas saja hal ini membuat Alisha mendadak khawatir! Bagaimana jadinya kalau tiba-tiba Zayden tidak datang?! Dengan cepat dia mengambil tindakan untuk kembali menyusul Zayden ke kamarnya. “Al, mau kemana?” tanya Tika saat berpapasan di depan lift, saat itu Tika ingin menuju ke ruang pertemuan yang sudah disiapkan bersama rekan mereka yang lain. “Aku mau menemui Pak Zayden dulu, memastikan makan malamnya aman atau tidak.” Tanpa mendengar jawaban dari Tika Alisha berjalan dengan langkah cepat. Alisha
Rapat berjalan lancar dan menghasilkan kerjasama yang mulus. Untuk selanjutnya akan dilakukan penandatanganan kontrak di kantor pusat OWL. Sepanjang rapat itu, Alisha tak hentinya memperhatikan Zayden, dia benar-benar sangat profesional, mulai dari gayanya bicara, gestur tubuhnya yang terlihat cukup bijak, dan semua itu tidak menampakkan apa yang sebenarnya terjadi beberapa jam sebelum ini.Dalam hal ini Alisha merasa lega. Sepertinya dia yang sedikit berlebihan untuk mengkhawatirkan pria itu, mungkin … yang perlu dikhawatirkan saat ini adalah dirinya sendiri yang secara perlahan berjalan mendekati pria itu!Setelah, semuanya bubar, Alisha melihat Zayden yang langsung pergi ke luar bersama dengan klien mereka.“Baguslah,” gumamnya pelan.Walaupun dia bergumam dengan nada senang dan bibir yang tersenyum, tetapi tetap saja dia tidak bisa membohongi hatinya sendiri, atas apa yang dia ketahui dari Zayden.“Al, berhubung kita akan bertemu dengan klien yang satu lagi besok siang, malam ini a
Mendengar pengakuan itu, Yumi langsung menarik Alisha ke dalam pelukannya. Jantungnya berdebar, namun ia berusaha menenangkan Alisha yang terlihat begitu rapuh.Yumi tahu betul, meskipun Alisha selalu tampak kuat, dia punya cara tersendiri untuk menyembunyikan kesedihan. Dan kini, kesedihan itu begitu jelas terlihat, walau tanpa air mata seperti wanita kebanyakan. Sepanjang Yumi mengenal Alisha, Yumi tidak pernah melihatnya sekali pun menangis, termasuk saat ini.Sebenarnya, Alisha cukup senang saat tahu informasi kalau Zayden tidak menyimpang, setidaknya apa dia masih bisa ada kesempatan untuk memperoleh hatinya? Walaupun hal ini dirasa terlalu serakah.Hanya saja … jika sudah berhubungan dengan seseorang dari masa lalu … rasanya hal itu tidak mungkin! Apalagi dia bisa melihat jelas sorot kehilangan mendalam yang dirasakan oleh Zayden saat dirinya menyinggung tentang masalah masa lalu Zayden itu.“Sebenarnya … ini yang kutakutkan sejak awal, Al!” Suara Yumi memecah keheningan yang ad
Tentu saja ide Yumi barusan membuat Alisha tercengang.“Apa kamu sudah tidak waras, Yum?!” Alisha tentu saja tidak bisa menerima ini begitu saja.“Ini satu-satunya jalan, Al!” Yumi berkata dengan tegas.“Kamu terlalu munafik kalau tidak mengharapkan balasan untuk perasaanmu, kan?” Langsung saja, ucapan Yumi ini tepat sasaran!Alisha terdiam.“Sekarang hubungi Kak Zayden!” perintah Yumi.Alisha menghela napas dalam. “Sepertinya dia gak mau terima telepon dari aku deh.” Yumi mengerutkan keningnya. “Memang kenapa? Apa alasan dia tidak menerima telepon istrinya sendiri?”Alisha akhirnya menceritakan pada Yumi tentang kejadian yang dia alami hari ini.“Ini … kebetulan sekali,” ucap Yumi dengan nada lemah saat Alisha mengakhiri ceritanya.“Tapi, tidak-tidak! Menurutku dia mungkin tidak melihat panggilanmu saja. Sekarang coba kamu telepon lagi!” Yumi memaksa Alisha.“Tapi–”“Sudah hubungi sekarang! Tanya dia ada dimana!” Yumi lalu mengambil ponsel Alisha yang ada di atas kursi dan menjejalka
Nariza melihat Alisha yang turun dengan wajah sumringah tersenyum menatap kakaknya ini.“Kakak seneng banget pagi ini,” godanya pada Alisha.“Wuih, kamu sudah masak ternyata!” Alisha mengalihkan pembicaraannya, dia hanya tidak ingin Nariza menyinggung paginya dengan Zayden barusan. Entah kenapa dia menjadi salah tingkah saat Zayden melakukan hal itu padanya, untungnya dia bisa menahan diri dan segera menjauh! Kalau tidak …?!“Iya, aku sudah masak! Nungguin kakak turun kelamaan! Tapi aku gak tau ya, apa Kak Zayden suka dengan sarapannya, kan beda tangan yang ngebuatnya.” Nariza berkata sambil terkekeh ringan.“Eh, Iza, nanti kakak mau pergi sama mamanya Kak Zayden, kamu … tinggal di rumah sendiri tidak apa-apa?” Alisha berkata pada Nariza sambil mengambil kerupuk yang ada di dalam toples di atas meja.“Kakak mau pergi sama mama mertua?” Nariza senyum menanggapi ucapan kakaknya itu.Sambil mengunyah kerupuk itu, Alisha mengangguk.“Ya tidak masalah! Pasti mamanya Kak Zayden ini baik bang
Pilihannya tidak semudah itu, karena ada satu hal yang membuat Zayden masih tetap ragu. Alisha juga masih tahu kalau hubungan dan perasaan mereka ini masih terlalu awal.“Entahlah, bisa dipikirkan saja nanti? Kita harus bekerja hari ini.” Alisha berkata dengan suara seraknya.Sementara Zayden dia hanya tersenyum ringan. “Hari ini ada libur nasional, seharusnya kita masih bisa bersantai di rumah.” “Oh, ya?!” tanya Alisha dengan mata membulat.Zayden mengangguk lalu memperlihatkan kalender yang ada di ponselnya.“Ah! Enaknya, artinya aku masih bisa tidur, dong!” Alisha terkekeh puas.Namun, belum sempat niat itu terlaksana ponsel Alisha berdering di atas nakas, dengan gerakan yang malas-malasan, dia kemudian mengambil benda itu.Mama Martha.“Mama menghubungiku,” ucap Alisha pada Zayden.Zayden hanya mengangguk, memberi isyarat agar Alisha menerimanya. Segera, Alisha menggeser tombol hijau di layar.“Halo, Ma,” sapa Alisha saat panggilan tersebut tersambung.“Sayang, apa hari ini kamu s
Zayden terdiam. Wajahnya tak menunjukkan ekspresi apapun, tapi matanya seketika redup. Jawaban Alisha sepertinya adalah sebuah jawaban yang dia pikir tidak akan pernah dia dengar. Ada jeda. Hening menyergap di antara mereka. Zayden menutup mata sejenak, menghela napas panjang. Saat kembali membuka matanya, senyum samar terlukis di sudut bibirnya — senyum getir. “Aku mengerti,” ucapnya akhirnya, lirih. “Apa yang kamu mengerti?” tanya Alisha dengan suaranya yang terdengar stabil. “Aku mengerti, jawabanmu memang sangat normal, kupikir hanya aku yang sedikit naif untuk mendengarkan alasan tidak logis.” Zayden berkata datar. Alisha menggelengkan kepalanya beberapa kali, lalu melipat tangannya di depan dada. “Aku ada di sini saat ini, jelas karena kamu adalah Zayden Wicaksana. Tahu kenapa?” Alisha berkata datar menatap tajam ke arah suaminya itu. “Karena saat itu…” Alisha membuka suara, nadanya terdengar santai, tapi ada getaran halus yang samar. “Kamu berhasil membuatku menyetujui se
Suasana di ruangan itu masih membeku. Zayden tetap diam di tempatnya, rahangnya mengeras, kedua tangannya mengepal di sisi tubuh. Tatapan matanya tidak sedikit pun bergeser dari wajah Helena. Helena menarik napas perlahan, menyandarkan punggung ke kursi antik yang didudukinya. Wajahnya tetap tanpa ekspresi, tapi sorot matanya jelas menyimpan banyak makna. “Tak peduli kau suka atau tidak, Zayden. Posisi itu akan tetap jatuh ke tanganmu. Dan sebagai pemilik masa depan keluarga Wicaksana, kau tak boleh membuat keputusan yang sembrono, apalagi menyangkut urusan pribadi.” Zayden mendengkus pelan. “Jadi ini semua tentang kuasa?” “Bukan hanya kuasa,” jawab Helena pelan, tapi suaranya cukup untuk memotong udara. “Ini tentang garis warisan, reputasi, dan harga diri keluarga. Kau harus tahu, setiap langkah yang kau ambil akan selalu memiliki dampak. Bukan hanya untuk dirimu, tapi untuk semua orang yang membawa nama Wicaksana di belakangnya.” Zayden mengepalkan tangannya lebih erat, meredam
Zayden langsung mendatangi kediaman kakek dan neneknya. Dia tahu ini sudah waktunya untuk mereka beristirahat, hanya saja, Zayden tidak suka dengan cara neneknya yang menekan orang-orangnya. Setidaknya dia harus menyelesaikan masalah ini secepat mungkin! Bukankah dia juga mengatakan pada Arsel untuk segera menemuinya setelah dia sampai?Kali ini Zayden sudah di tahap tidak peduli dengan jam kunjungan tamu! Dia sungguh tidak bisa mentolerir tindakan neneknya lagi kali ini.“Tuan Zayden, Tuan dan Nyonya Besar baru saja istirahat.” Kepala pelayan di rumah ini berkata sopan pada Zayden.“Katakan pada Nyonya Helena, aku datang, kalau dia tidak menemuiku sekarang aku yang akan datang langsung ke kamarnya!” Zayden berkata dengan tegas. Ucapannya seolah-olah tak terbantahkan.“Tapi, Tuan … Nyonya pasti sangat lelah, pagi tadi beliau baru sampai dari luar kota dan juga langsung mengurus Tuan Besar ke untuk berobat dan —”“Katakan saja padanya aku sudah disini. Apa kamu tidak mengerti dengan bah
Beberapa jam sebelumnya.Saat Arsel memasuki kediaman Keluarga Wicaksana, selalu saja ada hal yang perlu dia waspadai, jelas ini akan berkaitan dengan Zayden. Hanya saja, kali ini dia masih belum bisa menebaknya secara jelas.Arsel mengiringi langkah Danti yang membawanya ke ruang kerja Helena.“Masuklah Pak Arsel, Nyonya sudah menunggu di dalam.” Danti menghentikan langkahnya tepat di depan pintu besar itu.“Terima kasih,” ucap Arsel lalu mendorong pintu itu.Baru saja menutup pintu, aura dominan ruangan ini sangat menekannya. Bahkan walau dia sudah terbiasa dengan Zayden yang memang tampak dingin itu, Helena jauh lebih dari itu.“Duduklah,” ucap Helena dengan suara datar, menyuruh Arsel untuk duduk di sofa tamu.Arsel mengangguk sopan, dalam hati jelas sudah tenang. Apalagi tatapan Helena sangat tajam dan menusuk.Kemudian Helena membawa beberapa file dan meletakkannya di atas meja yang ada di depan Arsel.“Ini … apa Nyonya?” tanya Arsel pelan, di depannya sudah ada amplop coklat bes
Di tempat lain, jauh dari hiruk pikuk hotel tempat Zayden dan Alisha berada, suasana di sebuah ruangan megah dengan interior klasik-modern itu terasa tenang, hanya diisi suara detik jam dinding antik yang menggema pelan.Helena Wicaksana duduk anggun di balik meja kerjanya. Di hadapannya, secangkir teh melati masih mengepulkan uap harum. Wanita paruh baya itu tampak tenang, membaca sebuah laporan yang baru saja diberikan asistennya, Danti.Senyum tipis mengembang di wajah Helena saat beberapa lembar foto terpampang jelas — Zayden dan Alisha, tertangkap kamera sedang berjalan berdua, duduk berdekatan, bahkan sebuah foto samar ketika Zayden tanpa ragu memegang tangan Alisha di pinggir pantai.Bahkan laporan video tentang keduanya juga terlihat jelas saat ini, hal ini membuat Helena mengangguk pelan, walau dalam hatinya masih tersirat sedikit kecurigaan terhadap hubungan keduanya saat melihat foto dan video ini rasanya semuanya memudar begitu saja.Helena menegakkan duduknya. “Sepertinya
Usai mandi, Alisha tampak jauh lebih segar. Rambutnya yang masih sedikit basah di bagian ujung dibiarkan tergerai alami, menyentuh bahu dengan manis. Wajahnya bersih tanpa riasan berlebih, hanya sedikit sapuan lip balm dan bedak tipis yang membuat kulitnya terlihat cerah alami. Mengenakan blouse merah muda sederhana dipadukan celana kain lembut, penampilannya tampak rapi sekaligus nyaman.Baru saja ia selesai merapikan rambut di depan cermin, suara bel kamar terdengar pelan namun jelas.TING TONG!Alisha refleks menoleh saat suara bel terdengar, lalu berjalan santai ke arah sekat kamar. Begitu membuka pintu, aroma segar dari tubuhnya masih samar tercium, menyisakan suasana nyaman di ruang itu.Dari ruang tengah, terdengar suara ringan Farhan yang sempat ingin berdiri. Namun sebelum sempat melangkah, Alisha sudah bersuara. “Eh, kalian lanjutkan saja. Pasti itu dari hotel, bawain sarapan,” ucapnya santai dengan senyum kecil.Ketiganya langsung menoleh, dan Zayden yang tengah duduk di sof
Suasana di ruangan itu tiba-tiba membeku. Alisha berdiri kaku di ambang pintu, matanya langsung menangkap sosok Zayden yang sudah terlihat segar dan rapi dalam balutan kemeja dan celana dasarnya, menatap ke arahnya sambil menggeleng pelan. Ekspresi pria itu seakan berkata tanpa suara, ‘Nah, itu salahmu sendiri, aku tidak memberitahukan hubungan kita pada temanmu.’Tika yang sejak tadi masih terbelalak akhirnya memberanikan diri membuka suara.“Al, kamu…,” ucapnya, tapi kalimat itu menggantung di udara. Wajahnya jelas menunjukkan banyak pertanyaan, namun sadar ini bukan situasi untuk interogasi terang-terangan, apalagi Zayden ada di antara mereka.Alisha buru-buru menyambut ucapan setengah jadi itu dengan senyum kaku. “Ah, iya… kalian ini… sedang kerja, ya?”‘Ya ampun, Alisha… tentu saja mereka kerja! Apa coba yang mereka lakukan kalau bukan kerja?!’ batin Alisha berteriak panik dalam kepalanya.Tika, Farhan, dan Aldian saling pandang cepat. Ketegangan masih terasa menggantung, sementar