╰(°▽°)╯ Huhm ... pagi yang manis! Terima kasih sudah selalu sabar menunggu sayang-sayangnya Chinta sekalian! Chinta up nanti lagi, ya! Eh, kalo rame chinta up bab bonus deh... wkwkwkwk Sayang kalian banyak-banyak! (◕‿◕✿)
Alisha mengembuskan napas pelan setelah berada di ujung ceritanya. Terlihat di bawah penerangan minim itu, matanya berkaca-kaca, dia masih terus menyembunyikan kesedihannya, dia masih terlihat kuat. Zayden merangkulnya makin erat, dia tahu ini tidak mudah, apalagi terkadang rasa tidak percaya diri Alisha muncul begitu saja terkait dengan latar belakangnya yang tidak ada keluarga. “Aku berharap, suatu saat sebelum kasus itu benar-benar kadaluarsa ada keajaiban untuk memberikan keadilan untuk Nariza.” Alisha menghela napas panjang, lalu memejamkan matanya, sembari menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi yang sulit untuk ditahan. Zayden memeluk Alisha dari belakang, sementara Alisha membiarkan dirinya bersandar pada pria itu. Kali ini, dia baru tahu artinya memiliki pasangan, menyandarkan dirinya saat dia merasa lemah dan menguatkan saat dia semakin rapuh. “Aku akan membantumu,” ucap Zayden dengan suara pasti. “Tapi … dia adalah keluargamu, bagaimana mungkin …?” Alisha berka
Mendengar kalimat yang diucapkan oleh temannya itu, membuat kepala Alisha berdenyut hebat.“Ke-kenapa?” tanya Alisha tidak terima.“Ini sangat sulit, Al, kamu bisa datang ke kantorku.” Tanpa banyak pertimbangan Alisha segera mendatangi temannya tersebut. Pria itu dengan wajah penuh penyesalan mengatakan pada Alisha kalau mereka harus mengikhlaskan masalah ini.Darah Alisha berdesir hebat.Bahkan belum sampai 24 jam dia memberikan laporan ke polisi kasus ini harus dihentikan begitu saja? Ini sangat tidak masuk akal baginya.“Al, kita harus realistis, kita tidak bisa menyeret anak-anak itu ke kasus hukum, ditambah lagi sebagian dari mereka masih di bawah umur dan masih mendapatkan perlindungan hukum.” Teman Alisha itu mengatakan dengan tegas kalau dia tidak bisa mengawal Alisha untuk melanjutkankasus ini.“Di samping itu juga, ada banyak tekanan yang akan aku terima kalau aku masih terus melanjutkannya. Kusarankan padamu, lebih baik kamu fokus dengan pemulihan adikmu saja.” Saran itu j
Pelukan Alisha makin erat. Dada perempuan itu terasa sesak, napasnya berat, tapi tak ada setetes pun air mata yang jatuh dari matanya. Bukan karena dia tak hancur — justru sebaliknya. Hatinya berkeping-keping, hancur jadi serpihan kecil yang mustahil bisa dipungut utuh lagi. Tapi Alisha bukan tipe yang membiarkan orang lain melihat dirinya lemah. Bahkan saat dunia seolah meruntuh di pundaknya, dia tetap berdiri.Kalimat yang diucapkan oleh Nariza itu seperti pisau tumpul yang perlahan menusuk ulu hati Alisha, berputar di dalamnya, menyayat pelan tapi pasti. Sakit. Sangat. Tapi wajah Alisha tetap tenang. Tangannya menggenggam kepala Nariza erat, seolah ingin memindahkan separuh beban itu ke dirinya.Tidak ada tangis di wajahnya. Tidak ada isak. Hanya rahang yang mengeras, dan napas yang sesekali ditahan dalam-dalam agar semua emosi itu tak tumpah di depan adiknya.“Dengarkan Kakak, Sayang,” ucapnya pelan tapi mantap, suara itu serak tapi tetap terdengar kuat. “Apa kamu masih punya tenag
Alisha terkejut mendengar ucapan Zayden barusan. “Kamu … tahu?” tanya Alisha saat Zayden mengatakan hal tersebut padanya saat mengurai dekapannya. Zayden mengangguk. “Kenapa kamu tidak langsung mengatakannya padaku, hehm?” Alisha diam, wajahnya menunduk. Sejujurnya dia juga tidak tahu bagaimana harus mengungkapkan masalah ini pada Zayden. “Hei, dengar, aku. Sekarang kamu memilikiku, tidak peduli seberat apa masalahmu, kamu bisa menceritakan semuanya padaku. Setidaknya aku bisa menjadi pendengarmu.” Zayden menangkupkan tangannya ke wajah Alisha hingga membuat wajah itu mendongak ke arah Zayden. Pandangan mata mereka bertemu, terlihat jelas guratan kesedihan yang dalam dari pancaran mata Alisha, dia tidak bisa menyembunyikan apa yang ada dalam hatinya lagi di depan pria itu. “Ceritakan padaku, bagaimana bisa semuanya terjadi,” ucap Zayden dengan nada rendah dan penuh ketulusan di sana. Alisha merasakan kehangatan yang luar biasa menjalar dalam tubuhnya. Setidaknya masalah ini menj
Kevin Thamrin.Alisha tidak akan pernah melupakannya.Nama itu membekas dalam pikirannya—sosok yang telah menghancurkan hidup Nariza dengan kejam. Seorang laki-laki dari keluarga terpandang, terbiasa mendapatkan segala yang ia inginkan. Ketika cintanya ditolak, ia berubah menjadi sosok yang mengerikan.Tuan Muda itu menghancurkan kehidupan orang lain tanpa rasa bersalah, alih-alih menyesal, dia merasa mendapatkan kepuasan.Hari itu, Nariza tidak bisa menghindar. Dan di hari itu juga masa depan Nariza terenggut tanpa adanya keadilan yang bisa dia rasakan.“Tuan…” Suara Arsel terdengar berat di seberang telepon. “Saya sudah menyelidikinya sekali lagi.” Arsel menarik napas pelan sebelum melanjutkan. “Kali ini… datanya benar-benar valid.”“Kamu yakin?” Zayden menekankan.“Yakin tuan dan masalahnya … salah satu dari pelakunya adalah Tuan Muda Kevin.” Arsel berhenti sejenak, lalu menambahkan, “Dan… dia yang mengatur semuanya.”Tubuh Zayden langsung menegang. Matanya menatap tajam ke luar jen
Dada Alisha bergejolak hebat. Detik ini, rasanya seperti ada yang menyesak di dadanya, membuat napasnya terasa berat. Dia harus memastikan. Harus. Dengan suara pelan nyaris tak terdengar, Alisha akhirnya bertanya, “Di sebelah Tania itu… Austin, kan?” Zayden mengangguk pelan tanpa menoleh. “Lalu yang di belakangnya… siapa?” tanya Alisha, kali ini nadanya bergetar, seakan takut dengan jawaban yang akan didengarnya. Zayden menarik napas singkat. “Itu… Kevin. Adiknya.” Tubuh Alisha langsung menegang. Suara tercekat keluar dari bibirnya. “Kevin Thamrin…?” Zayden kembali mengangguk, pandangannya tetap lurus ke depan, sama sekali tak menyadari perubahan drastis di wajah istrinya. Wajah Alisha mendadak muram, tatapannya gelap, giginya bergemeletuk pelan, dan jantungnya berdebar tak beraturan. “Dia adiknya Austin… anak Tante Vivian,” Zayden menambahkan, seolah itu adalah hal biasa. “Jadi… dia benar-benar Kevin Thamrin,” gumam Alisha, kedua tangannya mengepal begitu erat di pangkua
Mendengar hal itu, Henry langsung menegakkan punggungnya dari headboard tempat tidurnya, sama halnya dengan Helena yang saat ini sedang memotong apel itu menjadi beberapa bagian, dia menghentikan aktivitasnya itu.“Apa benar begitu?” Henry bertanya dengan antusias pada Alisha.Alisha mengangguk cepat. “Ya, tentu saja. Cuma … kita tidak bisa mengatur ketetapan Tuhan, kan?” Henry tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepalanya, merasa senang.Rasanya berbohong kali ini membuat Alisha sangat merasa bersalah, apalagi hubunganya dengan Zayden masih dalam proses pemulihan dan membangun kepercayaan kembali.“Benar, Kek, itu memang cara membuktikan yang paling tepat saat ini, tapi … rasanya juga kalau orang sudah tidak percaya tetap saja akan meragukan semuanya. Jadi, menurutku tidak perlu ada pembuktian, cukup lihat saja apa semuanya benar begitu atau tidak.” Zayden berkata pada Henry.Namun, melihat kepercayaan diri keduanya sudah membuat Henry cukup lega.“Masalah ini akan diatasi, kamu ten
Alisha tidak sempat untuk mengagumi keindahan dan kemegahan kediaman Kakek Zayden ini. Dia tahu kemungkinan besar tujuan Henry menyuruhnya datang ke tempat ini akan membahas masalahnya dengan Zayden.Di ruangan ini, selain mereka berdua hanya ada Tania dan suaminya, hanya saja … keduanya seperti orang asing yang duduk berjauhan dan sibuk dengan dunianya masing-masing. Sementara, Zayden dia memilih duduk di sebelah Alisha. Tanpa perkataan apapun jelas pria ini berusaha untuk melindunginya.“Ah, ternyata ucapanku benar kalau pernikahan kalian itu ada apa-apanya,” ucap Tania memecah keheningan di antara mereka. Dia mengatakannya dengan santai sambil menyesap teh yang baru saja dihidangkan oleh pelayan rumah ini.Alisha melihat ke arah Zayden, pria itu nampak tenang tanpa mengubris ucapan Tania. “Sayang, kamu mau kue?” tanya Zayden santai. Sama seperti sebelumnya, seolah-olah Tania adalah bayangan tak kasat mata. Tidak dianggap ada.Tanpa menunggu jawaban Alisha Zayden mengambil piring cak
“Kenapa kalian kembali ke sini?” tanya Zayden tanpa basa-basi, seharusnya rapat sudah selesai tidak ada alasan mereka kembali lagi kemari. Mereka saling pandang, “Tadi … ada yang menyampaikan kalau Pak Zayden menunggu kami lagi di ruangan ini.” Salah satu dari mereka kembali bicara. “Benar,” sahut yang lain. Zayden mengerutkan keningnya, merasa tidak pernah memanggil siapa pun ke ruangan ini. Kemudian dia mengangguk pelan. “Mungkin ada kesalahan komunikasi. Aku sudah mau pulang dan ini juga sudah jam pulang kantor kenapa juga harus memanggil kalian lagi saat rapat sudah dibubarkan?” Mengerti kalau ini bukan waktu yang tepat untuk bertanya apa dan kenapa, mereka langsung membungkuk sekejap dan keluar dari tempat ini. “Siapa yang menyuruh mereka?” tanya Alisha penasaran. Zayden hanya mengangkat bahunya. “Tidak perlu dipikirkan terlalu jauh. Ayo kita pulang.” Alisha lalu membereskan peralatannya di atas meja, setelah semuanya beres, Zayden langsung mengambil alihnya. Tas laptop dan