LOGINBlurb: Demi melunasi hutang keluarganya, Anaya dipaksa menghadiri jamuan makan malam bersama seorang pria tua kaya raya. Di depan keluarga, lelaki tua itu tampak ramah. Tapi di balik senyumannya, ada tatapan genit yang membuat Anaya merinding ketakutan. Yang tidak Anaya tahu, semua itu hanyalah jebakan licik Sang Opa Gaul yang sengaja pura-pura melamarnya, hanya untuk menekan cucunya sendiri, Si Bujang Tua Raka, agar segera menikah. Raka muak dengan permainan Opa-nya. Melihat Anaya diperlakukan sebagai “calon istri Opa”, ia akhirnya mengambil langkah gila. “Lebih baik kau menikah denganku. Kontrak tiga tahun. Setelah itu, kita bebas.” Anaya tak punya pilihan. Ia lebih rela terikat kontrak dingin dengan cucu tampan itu, daripada jatuh ke pelukan Opa Gaul mesum yang mengerikan. Namun siapa sangka, di balik pernikahan pura-pura itu, ada rahasia dan perasaan yang tak bisa mereka tolak. Apakah kontrak bisa menjaga batas, atau justru membuat mereka terjebak dalam cinta yang nyata?
View More“Pakailah gaun itu. Jangan bikin malu keluarga.”
Suara Mama terdengar tajam dari balik pintu kamar. Anaya memandangi gaun merah marun yang tergantung di depan lemari. Bahannya mengilap. Bahunya terbuka. "Belahannya… ya ampun, sampai paha. Aku mau makan malam, atau mau kemana sih. Aneh ...padahal bukan mau tampil di red carpet ma,” gumamnya pelan, nyaris seperti mengutuk nasib. Namun wajah Papanya seketika langsung terbayang di benaknya. Wajah lelah yang makin hari makin tirus. Mama bilang , hutang menumpuk dan cicilan rumah macet. Sekarang, Mama menyuruhnya ikut jamuan makan bersama, katanya, ada seorang pria kaya yang bisa ‘menolong’ mereka. " Nolong? Tidak...…. Ini bukan pertolongan. Ini perangkap. zaman sekarang mana ada yang mau nolong cuma cuma. pasti ada pambrihnya." Sementara itu, di sebuah restoran mewah. Begitu melihat Anaya dan mamanya masuk ke restoran Opa Hartono tersenyum sumbringah dan menyambut mereka dengan senyum termanisnya. “Cantik sekali. Persis seperti yang Opa bayangkan.” Anaya nyaris mundur selangkah saat pria tua itu menyambutnya di depan pintu restoran. Usianya mungkin di atas enam puluh, tapi wajahnya tampan dipulas rapi dengan senyum lebar, rambut disisir licin ke belakang, dan parfum yang aromanya terlalu tajam untuk hidungnya. “Selamat malam, Anaya. Nyonya Herlambang” Pria tua itu meraih tangannya dan menciumnya pelan. Seperti di film-film lama. Tapi alih-alih merasa terhormat, Anaya merasa… jijik. “Selamat malam… Pak Hartono,” “Panggil aku Opa saja,” katanya sambil berkedip nakal. Anaya ingin lari. Mama mencubit pelan lengannya dari belakang. "Jangan bikin masalah, bertahanlah sebentar saja." sambil terus melangkah mengikuti Opa menuju meja yang sudah di reservasi. Meja makan sudah disiapkan di sudut restoran mahal itu. Mewah. Tenang. Tapi Anaya merasa seperti duduk di ranjau yang siap meledak. Sepanjang makan malam, Sang Opa terus berbicara tentang bisnis, keluarganya dan cucu kesayangannya serta rencana hidupnya yang tidak ingin kesepian di masa tuanya. Sesekali tatapannya meluncur turun, ke arah dada Anaya. Senyumnya tetap ramah. Anaya merasa ingin muntah. “Terima kasih sudah mau menemani Opa malam ini. Jarang ada gadis muda sebaik kamu" ucapknya sopan. Terlihat si Opa mengedarkan pandangannya ke sekeliling restoran. "Sebentar lagi cucu Opa yang kurang ajar datang” katanya sambil ingin menyentuh tangan Anaya di atas meja. Anaya buru-buru menarik tangannya, berusaha tetap sopan. “Kalau boleh tahu… Bapak eh, Opa, sebenarnya mau apa?” Pria tua itu tersenyum lebar, terlalu lebar malah.. “Opa ingin melamarmu.” Dunia Anaya seakan berhenti. “Apa?” “Opa serius. Opa suka kamu dan Opa yakin, kamu bisa membuat hari-hari tuaku lebih cerah dan berwarna.” “Tidak, saya ….saya masih muda, dan…” “Kalian butuh bantuan Opa, kan?” Anaya menggigit bibirnya. Tidak bisa menjawab. Tiba tiba, dari arah belakang, terdengar suara berat yang membuat semua mata di ruangan menoleh. “Opa, sugguh keterlaluan.” Seorang pria tinggi bersetelan hitam berdiri di sana, matanya tajam menatap mereka. Usianya mungkin 30-an. Wajahnya tegas, sorot matanya dingin. dari aura tubuhnya, jelas bukan orang sembarangan. “Sudah kukatakan, jangan main-main dengan gadis muda Opa.” Anaya memandang pria itu. Napasnya tercekat. Ia bahkan belum tahu siapa dia. Untuk pertama kalinya malam itu, ia merasa sedikit… aman dan sedikit penasaran. Anaya tidak tahu harus berdiri atau tetap duduk. Pria yang baru datang itu, yang tadi memanggil Sang Opa dengan nada setengah menghardik berjalan mendekat, matanya mengunci ke arah laki-laki tua di seberang meja. “Opa, kau masih saja pakai cara kotor seperti ini?” ucapnya dingin. Opa hanya tersenyum tenang. “Raka, tidak usah ganggu dengan suara berisik kamu itu. Kami sedang menikmati makan malam. Malu tau sama Calon Ibu Mertua” “Dengan gadis yang bahkan lebih dari setengah umurmu?” Raka memutar mata. Lalu menoleh pada Anaya. “Kau baik-baik saja?” Anaya hanya mengangguk pelan. Meski masih bingung siapa pria ini, instingnya berkata, ia berada di pihak yang benar. Tanpa berkata apa-apa, Raka menarik kursi dan duduk di samping Anaya. "Kau mengerikan, Opa,” katanya pelan, namun tajam. “Ini sudah kelewatan.” Sang Opa menyenderkan tubuh di kursinya. Wajahnya masih tersenyum tapi kali ini, ada sinar licik di balik matanya. "Kau itu selalu anti kalau opa ajak bicara soal pernikahan. Opa mau bahagia. Masa begini aja marah?” Raka menghela napas. “Opa pikir aku bakal tinggal diam lihat Opa... menggoda gadis seumuran keponakanku?” “Kalau kamu mau dia lepas dariku, ya nikahi dia. Nggak berani kan” Anaya membeku. Raka terdiam sejenak. Lalu matanya kembali menatap Anaya. Tatapannya tajam, seperti sedang menilai. “Namamu siapa?” tanyanya tiba-tiba. “A....Anaya…” “Anaya.” Raka mengulang pelan, lalu mengangguk kecil. “Oke, dengarkan baik-baik.” Anaya menelan ludah. Deg-degan. Ia tidak suka nada suara laki-laki ini. Terlalu tenang, datar dan berbahaya. “Kau tidak usah menikah dengan Opa,” katanya, “Nikah saja denganku.” Anaya dan mamanya mematung. Apa yang baru saja dia bilang... menikah?! “Apa maksudmu?” tanyanya, nyaris berbisik. “Kontrak tiga tahun,” lanjut Raka santai. “Aku butuh status untuk menghentikan Opa. Kamu butuh uang. Win-win.” Opa tertawa kecil. “Gila. Raka, kau akhirnya juga main kotor, ya?” “Lebih baik aku main kotor, daripada melihat Opa benar-benar menikahi gadis ini,” balas Raka dingin. Anaya menggeleng. “Tunggu... Ini keterlaluan. Aku bahkan tidak kenal kalian.” Raka menyandarkan tubuh, matanya menatap lurus padanya. “Kau bisa tolak. Tapi setelah ini, Opa nggak akan berhenti. Dia akan mengirim bunga ke rumahmu, jemput kamu pakai mobil mewah, merayu keluargamu dengan uang. Kamu mau” Anaya mencelos. Ia tahu itu mungkin terjadi. “Kalau kamu jadi istriku, maksudnya istri palsu, tentu saja Opa akan menyerah. Tiga tahun, kita jalanin kontrak, lalu cerai. Nanti aku kasih kompensasi uang di akhir.” “Tapi…” “Pilihannya cuma dua.” Raka mencondongkan tubuh ke depan, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan. “Jadi istri kakek kakek bau minyak angin ini atau istri kontrak pria seperti aku, yang nggak akan menuntut lebih darimu.” Anaya menatapnya. Wajah dingin, tatapan tajam, tapi ada satu hal yang bisa ia lihat di mata pria itu, ketulusan yang tidak pura-pura. Ia tidak percaya dengan laki-laki itu, tapi lebih tidak percaya lagi dengan Opa Gaul. Anaya yakin keluarganya… tak akan bisa menolak jika pria seperti ini datang membawa ‘solusi’. Anaya menarik napas panjang. “Boleh kutanya satu hal?” “Tanya apa ???.” “Kenapa aku? Kenapa kau yakin aku bakal setuju?” Raka tersenyum tipis. Kali ini, senyuman yang membuat jantung Anaya berdebar. "Karena kamu perempuan pertama... yang berhasil bikin Opa serius mau nikah lagi.” Anaya nyaris tertawa sekaligus nyaris menangis juga. Karena ini mungkin gila, tapi gila kadang... lebih baik daripada menyerah. ***Subuh hari, Anaya dan Raka duduk di teras villa sambil menikmati kopi hangat. Lembang diguyur hujan sejak semalam, udara sejuk dan segar menyelimuti halaman villa.Suasana damai itu tiba-tiba pecah oleh suara video call Opa yang menghubungi Raka“Raka, Jadi kalian pulang subuh ini kan. Hujan dari semalam, Jakarta juga ujan dari semalem. Hati hati ya berkendara, sarapan dulu, ngopi juga biar melek hmmm, cucu menatu mana....!” teriak Opa sembari mencari cai keberadaan Anaya."Iya Opa, aku di sini deket Mas Raka. Nih di paksa Mas Raka ngopi, biar melek katanya" ujar Anaya sambil menunjukkan cangkir yang berisi kopi.'Iya, baguslah. nanti kamu ajakin Raka ngobrol terus biar dia nggak ngantuk, bila perlu kamu nyanyi" ujar Opa semangat."Kan Ada Tape Musik di mobil , di gedein aja, teganya Opa nyuruh Aya konser" rajuk Anaya ke Opa."Iya ..iya, pokoknya lamet lambet aja nyetirnya, jalan licin. Ya udah. Opa tutup ya, Opa mau jogging dulu
Jumat sore Anaya dan Raka berangkat menuju ke Villa Opa di Lembang untuk mengisi Weekend mereka.Pagi itu, matahari menyinari villa dengan hangat. Suara burung berkicau lembut, udara segar menyapu wajah mereka yang baru bangun. Anaya membuka mata, tersenyum kecil ketika melihat Raka masih terlelap di sampingnya. Perasaan hangat merambat di dada, kehangatan yang berbeda dari sebelumnya.Raka membuka mata perlahan, menatap Anaya yang sudah menatapnya dengan senyum malu. " Sayang sudah bangun ya, tidur aja lagi yang, masih pagi, lagian cuaca di sini dingin banget,” ucapnya sambil meraih tangan Anaya.Anaya tersipu, menarik tangannya sedikit tapi tak lepas dari genggaman Raka.'Iya Mas, masih betah juga di peluk Mas Raka.”Raka tersenyum nakal, menyentuh hidung Anaya dengan ujung hidungnya sebentar.“Ya sudah sini mas peluk. cuaca kek gini buat males kemana mana, enaknya kelonan aja "bisik Raka sambil menarik Anaya ke dal
Aktivitas keseharian pasangan Anaya dan Raka berjalan normal.. mereka menyibukkan diri dengan aktivitas masing masing.. Malam adalah waktu untuk mereka bisa saling berbagi segalanya Seperti malam ini, Anaya duduk di ranjang, memeluk bantal sebentar, ia melihat Raka yang sedang menyiapkan selimut. Ada rasa tegang, namun juga nyaman. semacam perasaan yang muncul ketika dua orang yang saling menyukai memutuskan untuk benar-benar dekat. Raka meletakkan selimut dengan hati-hati di ranjang. Ia menatap Anaya sejenak, mata berbinar, senyum tipis di bibirnya. “Saset, tidur yuk, badan Mas kayak ya capek bener hari ini” ajak Raka. Anaya menggangguk, akhirnya mereka berdua sama sama merebahkan diri, kali ini tidak ada lagi rasa canggung. Raka menarik Anaya ke dalam pelukannya sembari mengusap bahunya lembut "Mas , boleh nanya nggak??? tanya Anaya lembut. " Mo ta
Malam berikutnya, kamar terasa hangat. Lampu lembut memantul di dinding, menciptakan bayangan samar yang menambah keintiman. Anaya duduk di ranjang, masih mencoba menenangkan diri setelah beberapa menit berada di pelukan Raka. Jantungnya masih berdegup kencang, wajahnya memerah karena grogi.Raka, di sisi lain, menatap Anaya dengan senyum nakal yang tak bisa disembunyikan.Ia menikmati momen itu, sekaligus sadar bahwa reaksi Anaya selalu menjadi bumbu kocak yang membuat hatinya meleleh.Anaya akhirnya memberanikan diri, mendorong Raka pelan dengan kedua tangannya. “Mas Raka, jangan terlalu dekat, kasih jarak dikit dong!”Raka terkekeh, lalu memeluk Anaya lembut.. “Kamu itu obat lelah Mas setelah seharian bekerja. dengan seperti ini, segalanya beban langsung hilang.”Anaya menelan ludah, matanya berkaca-kaca karena terharu.“Padahal di kantor Mas Raka banyak cewek cantik kan, dasar gombal!”
Malam itu, kamar terasa sunyi. Lampu lembut menerangi setiap sudut, tapi keheningan itu tidak membuat suasana menjadi dingin. Sebaliknya, ada kehangatan yang berbeda. kehangatan yang muncul dari kedekatan Raka dan Anaya. Anaya duduk di ranjang, tubuhnya sedikit menunduk, tangannya masih memegang jemarinya yang nampaknya dingin. Raka duduk di seberangnya, menatapnya dengan tatapan yang dalam, berbeda dari biasanya. Tatapan yang seakan ingin berbicara tanpa kata. Anaya merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Ia mencoba menenangkan diri, setiap kali mata Raka menatapnya, ia seolah terhanyut. Napasnya sedikit tersengal, tubuhnya membeku di tempat. Raka menggerakkan tangannya perlahan, hampir seperti ingin menyentuh pipi Anaya, tapi berhenti. “Saset” bisiknya pelan, nyaris tak terdengar. Anaya hanya bisa menatapnya, tidak berani menanggapi. Hatinya campur aduk ant
Malam itu suasana di kamar Anaya terasa lebih hangat dari biasanya. Lampu menyala, dan aroma wangi lavender yang selalu menenangkan masih bergelayut di udara. Anaya duduk di ranjang, membuka laptop, dan sibuk nonton drakor favoritenya, sementara Raka duduk di sisi lain, menatapnya dengan mata berbinar. Raka menghela napas panjang, menahan diri beberapa saat, tapi akhirnya rasa sayang dan cintanya makin menjadi jadi melihat tingkah polos Anaya tak bisa lagi dibendung. Ia tersenyum nakal, lalu mencondongkan tubuhnya. “Saset, Mas tu gemes liat tingkah polosnya kamu?” bisik Raka pelan, hampir seperti mengungkap rahasia dunia. Anaya menoleh, alis mengerut. “Polos apanya Mas, Mas aja nggak tau!” Raka terkekeh, lalu tanpa aba-aba, ia meraih Anaya dan memeluknya erat. “Bener nih Saset, kamu nggak polos seperti dugaanku. baguslah kalau begitu, sekarang Mas
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments