Ada sesuatu yang menegang di rahang Deon. Ia menghela napas panjang, lalu menggendong Alfie masuk ke dalam mobil tanpa berkata apa pun. Di sepanjang perjalanan pulang, hanya suara hujan yang menemani mereka.
Alfie menatap keluar jendela, lalu pelan berkata, “Pa, Semalam juga Bu Bella terlambat menjemput Alfie. Dia juga terlalu sibuk untuk mengurus rumah, sepertinya Bu bella jadi beda ya?"
"... dan rumah kita sekarang... Kayak bukan rumah kita lagi…”
Deon menoleh sekilas. Dari mulut anak kecil itu, kata-kata itu terasa seperti hantaman. Sudah hampir seminggu, Deon menggunakan alasan 'lembur' dan menginap di kantor untuk pekerjaan yang memang sangat banyak, sehingga dia sama sekali tidak melihat perubahan yang sudah dilakukan oleh Bella.
“Iya,” jawabnya akhirnya. “Nanit kita lihat dan tanyakan langsung ya.”
Alfie mengangguk lalu tertidur di pangkuan ayahnya karena sudah kelelahan.
Sesampainya di rumah, Deon langsung turun dengan langkah berat.
Deon memang pendiam, namun dia sering melirik istrinya dalam hening. Atau saat Jannah tidur, dia ingin menyentuhnya, menciumnya, namun dia harus membatasi diri karena dia sadar rapuhnya tubuh sang istri. Ia sudah lama menahan banyak hal, terlalu banyak hal yang tak bisa ia ucapkan.Saat ini, semua hampir hancur. Alfie yang mendadak menjadi pendiam dan Bella yang gila-gilaan belanja serta tidak pulang semalam sehingga menjadi sakit hari ini.Bella duduk di sofa dengan tubuh terbungkus selimut, berusaha tersenyum walau wajahnya tampak pucat. Tubuhnya terasa remuk bukan karena penyakit, tetapi karena pria semalam menyiksanya berulang kali di atas ranjang yang hanya diketahui oleh mereka berdua.“Deon, kamu tidak usah terlalu khawatir. Alfie anak kuat, dia akan cepat sembuh.”Deon menoleh, menatap Bella sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kamu sendiri bagaimana? Sudah baikan? Aku lihat kamu agak lesu dan masih pucat.”Bella buru-buru menunduk, menutupi kec
“Baik,” katanya perlahan tapi mantap, “kalau itu maumu, aku akan membawanya pulang sekarang juga.”Bella membeku di tempat. Ia tak menyangka kalimat itu benar-benar keluar dari bibir pria itu.“Deon…”Namun Deon sudah mengambil kunci mobil dan melangkah tanpa menoleh. Tatapan matanya menusuk, dan setiap langkah yang menjauh dari rumah itu terdengar seperti cambuk yang memukul dada Bella.Pintu tertutup keras.Bella terdiam beberapa detik, menatap ruang makan yang kini kosong, hanya menyisakan suara detak jam yang lambat tapi menusuk.Tangan Bella gemetar. Bukan karena marah, tapi karena sadar, ia baru saja menyalakan api yang mungkin akan membakar dirinya sendiri.Ia mencoba menenangkan napasnya, tapi dada itu terasa sesak. Tatapan Deon sebelum pergi, dingin dan pasti, membuatnya takut, takut bahwa kali ini pria itu sungguh akan melakukan apa yang ia katakan.Dan kalau De
Bella berjalan cepat ke tepi jalan, menghentikan taksi pertama yang lewat. Begitu duduk di kursi belakang, ia menarik napas panjang, tapi udara terasa menyesakkan. Dunia di luar jendela berputar cepat, gedung-gedung, pepohonan, dan langit biru bercampur jadi satu dalam pandangan kabur.Dalam keheningan kabin, pikirannya berlari ke arah yang tidak ingin ia tempuh. Setiap kalimat Tommy semalam bergema kembali, tentang cinta yang salah, tentang kesetiaan, tentang kehilangan diri sendiri demi seseorang.Ciuman yang dasyat dan aroma maskulin yang dia sukai dalam setiap sentuhan Tomy.Ia menatap pantulan dirinya di kaca jendela taksi. Wajahnya tampak asing, wanita itu tampak rapuh, kusut, tapi juga keras kepala. “Kamu udah jauh, Bella,” bisiknya sendiri. “Terlalu jauh. Sungguh memalukan.”"Kau menghancurkan apa yang sudah kau capai sendiri sampai hari ini!" geramnya sendiri dengan mata mulai berkaca-kaca.Tiba-tiba ponselnya berge
Sebuah ciuman yang dalam diberikan dan entah kenapa, Bella sama sekali tidak menolak. Bella menutup mata dan meresapi ciuman serta kehangatan dari bibir Tomy.Waktu seperti berhenti seketika, Bella mengecap manisnya bibir pria tampan itu dan membiarkannya membawa dalam gendongan, menuju ke kamar kecil berukuran 3x3 meter itu.Lampu redup dan cuaca dingin membuat Bella tidak mampu mengeluh, apalagi di saat Tomy mulai melancarkan aksinya yang penuh dengan hasrat.Ciuman yang membara dan pelukan nan hangat sudah lama dia dambakan dari Deon, namun tidak pernah ditanggapi pria itu."J-jangan, Tomy. Ini salah, aku akan... Deon," ucap Bella dengan lirih saat pria itu mulai membuka pakaiannya sambil dengan lembut menelusuri jenjang lehernya dengan bibir yang hangat miliknya."Kamu menginginkanku juga, Bella. Kamu tahu itu, tatapanmu juga memberitahukanku. Gerakan tubuhmu juga tidak bisa menolak sama sekali. Kamu ingin menikmatinya juga, bukan? Jangan bohon
Bella menatap kosong ke arah cangkirnya. “Sedih itu cuma bagian dari hidupku sekarang. Aku nggak tahu kapan terakhir kali aku bahagia tanpa berpura-pura.”Tommy tidak membalas. Ia duduk di sebelah Bella kembali. Ia hanya duduk lebih dekat, bukan karena niat, tapi karena jarak di antara mereka terasa terlalu dingin. Hujan di luar seperti mengunci waktu, membuat dunia hanya milik mereka berdua.“Kamu tahu rasanya sendirian padahal ada orang di sampingmu?” tanya Bella tiba-tiba, suaranya nyaris berbisik.Tomy menatapnya dalam. “Setiap hari.”Mata mereka bertemu. Lama. Tidak ada yang berani berpaling. Dalam tatapan itu, ada kesepian yang saling mengenali, ada luka yang sama, ada rasa ingin dipahami tanpa harus menjelaskan apa pun.Bella menelan ludah, jantungnya berdetak pelan tapi berat. “Tom…”Suara itu berhenti di tenggorokan, seolah takut pada apa yang akan keluar berikutnya.Tomy
Tommy memegang bahu adiknya, menatapnya dengan campuran marah dan sedih.“Dia sudah punya istri, Lira! Kamu sadar nggak? Kamu mau jadi apa nanti? Perempuan simpanan? Kamu kira cinta seperti itu bisa bertahan lama?”Suara Tommy meninggi, tapi nada getirnya lebih terdengar seperti luka lama yang tergores lagi."Kita masuk dulu dan bicara, ini temanku, Bella." Tomy menarik tangan Bella supaya masuk ke dalam rumah lalu menguncinya dari dalam, sementara Lira hanya melangkah pelan dengan lesu tanpa menanggapi lebih lanjut keberadaan Bella sama sekali."Lira, kamu salah. Memangnya kamu bersedia jadi istri simpanan? Alias pelakor?"Bella menelan ludah. Setiap kata “istri”, “salah”, “perempuan simpanan” menusuk dadanya seperti pisau. Ia ingin pergi, tapi sesuatu menahannya.Lira menggigit bibirnya, menatap Bella. “Kak, Mas nggak ngerti. Aku cuma pengin dicintai. Aku tahu dia salah, tapi aku ngeras