“Mas, kita perlu bicara.” Mia buka suara begitu Nathan memasuki kamar pada esok paginya. Semalam, Nathan tak kembali ke kamar mereka. Mia mendengar balita itu terus saja menangis dan dia tahu Nathan pasti ada di kamar itu untuk menenangkan putrinya.
Oh, Tuhan. Fakta bahwa Nathan memiliki seorang putri bersama wanita lain telah membuat hati Mia remuk. Ditambah sekarang, mereka juga ada di sini, di rumahnya! Perasaan marah dan kecewa bercampur aduk dalam dadanya.
“Bicaralah.” Nathan duduk di tepi kasur, dengan nada lelah dan sorot mata redup seperti masih mengantuk. Namun, seberat apapun kondisinya, dia ingin memberi kesempatan istrinya berbicara.
“Vena…," suara Mia sedikit bergetar, "dia tidak seharusnya ada di sini."
Nathan menghela napas panjang, mengusap wajahnya dengan tangan. “Aku tahu, Mia. Aku tahu." Pria itu mengangguk-angguk pelan. "Tapi kita tak boleh mengusirnya. Dia harus tetap di sini.” Nathan memandang Mia lurus-lurus.
Pernyataan Nathan barusan seperti belati yang menusuk tepat ke jantungnya. “Kamu jahat, Mas.” Mia menunduk dan menangis. Perasaan sakit atas ucapan suaminya begitu mendalam hingga membuatnya sesak.
Nathan memeluk Mia dan mengecup keningnya dalam-dalam. “Sayang, anak itu sakit. Dia akan segera mendapatkan penanganan di rumah sakit. Alyra dan Vena hanya sementara tinggal di sini.” Nathan meremas tangan Mia dan mengecupnya dengan lembut, memohon pengertiannya.
Mia tahu, dia tak bisa mencegah keputusan yang telah diambil oleh suaminya. Nathan pasti akan memprioritaskan Alyra saat ini.
“Marahlah padaku, tapi jangan pada Alyra. Anak itu tak berdosa, Mia.”
Mia berusaha mengambil jalan tengah. “Baiklah, aku mengizinkan Alyra tinggal di sini," wanita itu mengangguk-angguk sejenak, "tapi hanya Alyra, tidak dengan perempuan itu,” tegasnya sambil menyilangkan tangannya di atas perut.
“Sudah kujelaskan bahwa Alyra tidak bisa berpisah dari Vena. Bagaimanapun Vena ibunya, kita tak boleh memisahkan mereka," jawab Nathan tak kalah tegas.
"Tapi, Mas..., perempuan itu sepertinya ingin memanfaatkan kondisi Alyra untuk menguasai perhatianmu!"
Mia pun mengomel panjang. Sedangkan Nathan memijit keningnya yang berkerut-kerut, banyak hal yang sedang dia pikirkan.
"Kamu jahat, Mas!"
Nathan cepat-cepat memeluk Mia yang tersedu-sedu dalam dekapannya. Dia tahu keputusannya ini menyakiti istrinya, tapi dia tak mungkin mengusir Vena hanya demi menuruti emosi Mia. Dia tak tega memisahkan Alyra dari ibunya sendiri, apalagi anak itu sedang dalam keadaan sakit.
***
Nathan dikenal memiliki keterampilan komunikasi yang baik. Tapi Mia benci itu, karena setelah berkomunikasi dengan Nathan, putranya itu justru bisa menerima Alyra sebagai adiknya. Bahkan Rival terlihat iba pada bocah itu.
Mia berusaha tetap elegan menghadapi Vena, pelakor yang kini bersarang di rumahnya. Dia berusaha untuk tidak menunjukkan rasa cemburu dan sakit hatinya. Biarpun setiap malam dia menangis karena Nathan tak pernah berada di ranjang mereka. Hatinya hancur melihat suaminya harus berbagi perhatian setiap hari dengan Alyra dan Vena, tetapi Mia bersabar demi Rival.
Mia mengerutkan kening, memandang Vena yang tersenyum padanya sepagi ini dengan rambut yang masih basah. Mia merasakan hatinya disayat. Vena selalu melakukan ini, sengaja membiarkan rambutnya basah setiap pagi, seolah-olah ingin menunjukkan bahwa dia dan Nathan telah tidur bersama. Ditambah fakta bahwa Nathan tak pernah lagi menyentuhnya. Mungkin sudah dipuaskan Vena.
Mia bertahan dengan penuh kesabaran, tetap menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga yang baik. Demi Rival yang membutuhkan stabilitas dan kasih sayangnya di tengah badai rumah tangganya bersama Nathan.
Mia telaten menyiapkan keberangkatan sekolah Rival, juga melayani Nathan seperti biasanya. Dia selalu memastikan penampilan suaminya, yang merupakan seorang presiden direktur, agar selalu terlihat rapi dan kharismatik. Tangannya yang terampil memutar dasi Nathan dengan cekatan, memastikan simpulnya sempurna.
Nathan memandang wajah Mia. Wanita itu jarang bicara akhir-akhir ini. Diam-diam Nathan menyadari bahwa dia kurang memperhatikan istrinya karena sibuk mengurus pengobatan Alyra bersama Vena. Nathan menunduk dan dengan lembut dikecupnya bibir Mia. Dia merasakan dinginnya sikap Mia, wanita itu seperti telah kehilangan gairahnya terhadap Nathan.
Setelah selesai membantu Nathan merapikan penampilannya, Mia pergi menuju dapur. Di sana, Vena sudah mengambil alih tugas memasak. Wanita itu berdiri di depan kompor, dengan senyum yang tampak terlalu lebar di wajahnya.
"Halo, Mia?" sapa Vena dengan nada yang dibuat-buat ramah.
Mia menghela napas, menahan jengkel karena wanita itu menguasai dapurnya. Dilihatnya si bibik malah sedang mengurus jemuran.
"Sarapannya sudah siap?” Suara Nathan terdengar di ruang makan.
Mengabaikan Mia, Vena berbalik dengan senyum ceria. "Tentu saja, Pak.”
Mia mendengus pelan. Dia mengambil cangkir kopi dan duduk di kursi makan. Nathan duduk di sampingnya, sementara Vena membawa piring-piring berisi makanan ke meja.
"Sarapan hari ini spesial," kata Vena dengan nada manis. "Kurasa kita semua butuh sedikit kebahagiaan di pagi hari dengan makan yang enak-enak."
Mia merasa muak dan berkata sinis, "Kamu tidak perlu mengambil alih segalanya. Kamu cuma tamu di sini, lain kali jangan lancang memakai dapurku."
Vena memasang wajah sedih, menatap Nathan seolah mencari dukungan. "Saya hanya ingin membantu Mia supaya tidak terlalu repot setiap pagi.”
"Mia, Vena hanya ingin membantu." Nathan berbisik seraya menggenggam tangan istrinya.
Namun, Mia justru merasa darahnya mendidih mendengar pembelaan suaminya untuk wanita itu. "Aku punya bibik yang bisa membantuku. Tolong dicatat, ini dapurku, bukan dapur umum yang bebas dimasuki orang asing," ketusnya.
“Sudah, cukup. Ayo kita sarapan.” Suara Nathan, rendah tapi tegas, membuat kedua wanita itu mengatupkan mulut dan sarapan bersama dalam diam.
Setelah Nathan selesai sarapan dan menyingkir dari ruang makan terlebih dahulu, tiba-tiba saja Vena berkata dengan sinis, “Kamu memang istrinya, tapi sesungguhnya kamu orang ketiga di antara kami, Mia.”
Mia memandangnya dengan sorot menyala-nyala.
Vena tertawa pelan. “Aku sudah mendampingi Pak Nathan sebagai asisten pribadinya selama sepuluh tahun lebih, hingga akhirnya kami tidur bersama. Kami bahkan memiliki Alyra.” Dengan berani wanita itu membalas tatapan Mia.
Mia terdiam, menahan geram.
“Tapi situasinya sekarang, Alyra membutuhkan Pak Nathan sebagai papanya, sama seperti Rival. Kasihan Alyra terus-terusan disembunyikan.” Vena tersenyum, menyematkan rambutnya yang masih setengah basah ke balik telinganya.
“Aku ingin kami tinggal di sini, tapi bukan untuk sementara. Alyra juga berhak memiliki papanya. Jangan egois, Mia. Anggap ini caramu membalas kebaikan hati Pak Nathan yang telah sudi menikahimu dalam kondisi mengandung Rival yang merupakan benih dari pria lain yang nggak jelas. Kamu hanyalah wanita bekas pakai pria lain, sedangkan aku… benar-benar telah mempersembahkan kesucianku untuknya.”
Plak! Tamparan keras Mia tiba-tiba saja mendarat telak di pipi Vena.
“Mia!” tegur Nathan yang tiba-tiba kembali memasuki ruang makan sambil menggendong Alyra.
Vena menangis dan menghambur ke dalam pelukan Nathan, berlindung dalam dekapan hangat sang presdir, sambil memegangi pipinya yang kesakitan.
“Mia, cukup!” bentak Nathan saat Mia bersiap menyerang Vena lagi. Dicekalnya erat-erat tangan Mia yang sudah mengudara.
***
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M