Vena cepat-cepat mengambil alih Alyra yang kaget dan ketakutan mendengar teriakan Nathan yang menggelegar. Bocah itu menangis. Vena buru-buru menenangkannya sambil berjalan menuju sebuah Toyota Vellfire hitam yang telah menunggu mereka di lobi.
Sementara itu Nathan, dengan sorot matanya yang menyala-nyala, segera menuju ke arah Mia yang sedang saling berpegangan tangan dengan Max.
“Rupanya kamu masih di sini?” katanya sambil menarik tangan Mia. Dengan sekali sentak, Mia terlepas dari Max.
“Kalian bersama semalam?” cecar Nathan pada Mia, lalu pria itu menoleh kepada Max. Bila tatapan Nathan bisa membunuh, mungkin Max sudah menggelepar di lantai sekarang.
Max mengenali sosok pria di depannya. Nathan adalah sepupu Mia, sudah seperti kakak kandung bagi Mia. Pria itu memang dikenalnya over protektif terhadap Mia sejak dulu.
“Nathan? Apa kabar?” Max mengulurkan tangan, ingin bersalaman. Namun tangannya hanya menggantung di udara, tak menerima sambutan dari Nathan.
Max menarik kembali tangannya, tak terlihat tersinggung. Dia justru tersenyum dan berkata, “Itu tadi… istri dan anakmu, Nath?” tanyanya sambil menunjuk ke arah mobil yang dituju oleh Vena dan Alyra. Max lalu mengangguk-angguk ringan. “Anak yang lucu dan istri yang cantik, kau pasti berbahagia memiliki mereka.”
Jantung Mia tersentak keras. Dia belum memberitahu Max bahwa Nathan adalah suaminya. Ucapan Max tadi hanya didasarkan pada penglihatannya semata.
Namun, Nathan mengira Mia telah berbicara banyak kepada Max, ia pikir Max sedang sengaja menyindirnya.
“Jangan ikut campur, bung!” ketus Nathan sambil menarik Mia pergi dari tempat itu.
“Sakit, Mas!” Mia mengibaskan tangannya dari cekalan Nathan yang justru semakin erat.
Melihat Mia kesakitan, Max cepat-cepat menegur Nathan. “Pelan-pelan, Nath. Kau tak lihat Mia betul-betul kesakitan? Mia bukan adik kecilmu lagi, tolong perlakukan dia dengan benar.”
Nathan memandang Max dengan tatapan kesal, kecemburuan menggelegak dalam dadanya. Bagaimana dia tidak merasa cemburu? Dia tahu sekali seperti apa hubungan antara Mia dan Max di masa lalu.
“Kau benar. Mia memang bukan adik kecilku lagi… karena dia adalah istriku.”
Suara Nathan tidak terlalu keras, namun terdengar seperti geledek yang menyambar-nyambar telinga Max dengan kekagetan. Pria itu menoleh kepada Mia, bertanya "apakah itu benar" lewat tatapannya.
Anggukan pelan Mia pun terasa menusuk-nusuk jantungnya.
“Bagaimana bisa kamu menikah dengan sepupumu sendiri, Mia?” Max menggeleng tak percaya. “Jadi kamu menghilang dari hidupku selama tujuh tahun ini karena menikah dengan… Nathan?” Wajahnya terlihat syok.
“Antara kau dan Mia sudah selesai, Tuan Max Julian.” Bersama dengan ucapannya, Nathan membawa Mia pergi dari hadapan Max yang terdiam dengan tangan terkepal erat.
“Ternyata diam-diam kamu sudah ada main sama Nathan sejak masih bersamaku. Hubungan kalian rupanya bukan sekadar saudara sepupu semata. Selama itulah kamu membodohiku, Mia!”
Perasaan Max menggelegak oleh sakitnya pengkhianatan Mia selama ini.
***
Nathan membawa Mia pulang ke rumah dan mereka ribut besar malam itu. Bagi Nathan, bekas ciuman Max di leher Mia adalah bukti yang nyata bahwa Mia memang masih menjalin hubungan asmara dengan mantan kekasihnya itu.
“Apa kamu sengaja melakukannya untuk menyakitiku, Mia?” Nathan menggebrak meja rias hingga perlengkapan kosmetik Mia berjatuhan. "Apa saja yang sudah kalian lakukan selama ini?" Teriakannya yang keras menggelegar ke seluruh penjuru kamar mereka.
“Mas!" Mia balas berteriak. "Kamu menuduhku selingkuh?" Suaranya seraknya tercekat di tenggorokan. "Padahal jelas-jelas kamu yang selingkuh, bahkan kamu punya anak dengan perempuan itu!”
“Apa penjelasanmu tentang kissmark di leher kamu itu? Semua orang tahu sekali bekas apa merah-merah di lehermu itu, Mia!”
Mia merasa terpojok. Tapi dia tetap tak ingin mengatakan bahwa Max ingin memperkosanya. Bisa-bisa Nathan murka dan menjebloskan Max ke penjara. Padahal masalahnya dengan Max sudah selesai. Mia sudah memaafkannya.
Mia akhirnya mengangguk pelan. “Baiklah. Aku memang bersama Max semalam. Anggap saja kita impas: kamu selingkuh, aku juga selingkuh.” Mia terpaksa mengakui hal yang tidak dia lakukan. “Lalu, mari kita urus saja perceraian kita,” pungkasnya.
“Mia!” Nathan menghunuskan tatapan sedingin es kepadanya. Ada sorot sakit di matanya mendengar pengakuan Mia secara langsung, bahwa istrinya itu telah bermalam bersama mantan kekasihnya, ditambah… permintaan cerainya.
“Jangan…!” Tiba-tiba Rival menerobos masuk ke dalam kamar. “Kalian nggak boleh cerai. Punya orang tua yang bercerai itu nggak enak, teman-temanku banyak yang mengalaminya. Kalian nggak boleh bercerai…,” bocah lelaki enam tahun itu menangis sambil memeluk Mia.
Mia tercekat. Pertengkaran mereka ternyata didengar oleh buah hatinya.
“Rival, anak kesayangan Papa….” Nathan berjongkok dan memeluk Rival, menenangkan tangisannya.
“Mama dan Papa nggak akan bercerai, Mama tadi cuma marah kok. Maafkan kami ya? Karena marahnya berlebihan dan mengagetkan Rival,” katanya dengan nada kebapakan.
Nathan memang sangat mencintai Rival, bahkan sejak masih berupa janin dalam kandungan. Anak itu juga sangat lengket dengan papanya. Dan mendengar penuturan lembut papanya, tangis Rival pun lekas mereda.
“Ayo, Mam… kita berbaikan di depan Rival.” Nathan memeluk Mia dan mengecup lembut keningnya, bahkan mencuri ciuman di bibirnya.
Melihat kedua orangtuanya kembali berbaikan dan mesra, senyum Rival pun mengembang lebar.
Melihat ketulusan Nathan terhadap Rival, Mia pun merasa luluh. Dia mencoba bersabar dan tetap tenang agar masalahnya jangan sampai mengguncang psikologis sang putra.
Hingga beberapa malam selanjutnya, Rival tak mau tidur di kamarnya sendiri. Dia ingin tidur di kamar orangtuanya, di tengah-tengah antara Mia dan Nathan.
Sambil memeluk Rival, tangan Nathan juga membelai-belai sayang tubuh Mia seperti yang biasa dilakukannya setiap malam. Suaminya itu seolah ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk menjalin kembali ikatan manis mereka. Sikap Nathan juga semakin hangat padanya sejak pertengkaran besar mereka, seolah dia ingin menebus kesalahannya.
“Aku bisa memindahkan Rival ke kamarnya… kalau kamu mau, Mia.”
Mia tahu apa arti di balik kalimat suaminya itu. Ditambah dengan kilatan di mata Nathan yang terlihat sedang menginginkan dirinya.
“Biarin aja Rival di sini, dia ingin tidur sama kita. Jangan diganggu,” ketus Mia masih kesal.
'Tak semudah itu, Ferguso!' Hati Mia masih sakit atas pengkhianatan Nathan.
Mia baru saja menutup matanya ketika tiba-tiba saja pembantu mereka mengetuk pintu kamar. Saat Nathan membuka pintu kamar mereka, si pembantu segera mengatakan bahwa ada tamu dari Malang yang datang dengan membawa seorang anak kecil.
Mia mengikuti langkah Nathan yang tergesa-gesa menuju ruang tamu.
“Ngapain kamu ke sini?” Suaminya itu terkejut melihat kedatangan Vena yang menggendong Alyra.
“Maaf, Pak. Saya terpaksa membawa Alyra ke sini. Sebab… dokter menyarankan agar Alyra melakukan pemeriksaan lebih lanjut di Jakarta. Dan menurut pertimbangan saya, tak ada tempat yang lebih baik dari rumah ini sebagai tempat tinggal Alyra selama di Jakarta.”
Jantung Mia bagai disayat melihat Nathan dengan mudahnya mengangguk-angguk. Suaminya itu bahkan mengulurkan tangannya, mengambil alih Alyra dari gendongan Vena.
Ketika Nathan berbalik badan, dia seperti baru menyadari keberadaan Mia yang memandangnya dengan sorot marah dan terluka. Namun, Nathan tak bicara apa-apa. Seolah mengabaikan Mia, pria itu segera melangkah menuju kamar tamu, diikuti Vena di belakangnya.
Dan demi Tuhan, meskipun sekilas, tapi Mia sempat melihat Vena tersenyum sinis saat melewatinya.
***
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M