Mia terbangun dan memandang sisi ranjang yang kosong di sebelahnya. Kekosongan dalam hatinya kian menjadi, setiap Nathan tidak tidur di kamar mereka terasa seperti pengkhianatan. Pria itu lebih banyak menghabiskan waktunya dengan Alyra, anak kecil yang rapuh itu.
Mia merasa jahat, karena cemburu pada bocah tiga tahun yang tak berdosa. Alyra berhak mendapatkan cinta dari ayahnya, Mia tahu itu. Tapi, rasa cemburu itu tetap menggerogoti hatinya, membuatnya merasa tersingkirkan dan tak berdaya.
Nathan adalah suaminya, dan Mia merasa seharusnya masih memiliki hak atas dirinya. Mia menghela napas panjang, merasakan cemburu yang semakin sulit untuk diabaikan. Nathan mulai berat sebelah, dan itu tak bisa disangkal lagi. Sementara itu, Vena semakin sering mencuri ruangnya, seolah ingin mengukuhkan posisinya yang lebih istimewa daripada Mia. Setiap kali Vena ada di dekat Nathan dan Alyra, Mia merasa perannya sebagai istri Nathan semakin dipertanyakan.
Mia menolak larut dalam kesedihan. Dia segera beranjak mandi, berharap air dingin bisa menyegarkan diri dan pikirannya sebelum berjibaku dengan urusan rumah tangga. Memasak, menjaga kebersihan rumah, menata taman, mendampingi Rival bermain dan belajar, serta memastikan kebutuhan suaminya terpenuhi. Itu semua yang diharapkan Nathan darinya.
“Biar aku saja yang bekerja, Mia. Aku tak mau kamu nanti lelah untuk urusan di luar kita. Lagipula, bukankah aku sudah menjamin semua kebutuhan finansialmu dan juga Rival? Kalau masih kurang dengan uang bulanan yang kuberikan buat shopping, tinggal bilang saja.” Begitulah Nathan pernah berkata, saat Mia ingin berbisnis untuk mengisi waktu luangnya.
Sebagai istri dari seorang presiden direktur yang sukses, kehidupan Mia memang tergolong makmur. Dia bisa saja menghabiskan waktunya dengan santai keluar rumah, kongkow bersama geng sosialita, dan bersenang-senang. Tapi Mia bukan jenis orang yang seperti itu. Dia tidak suka basa-basi, apalagi dalam rangka pamer kesuksesan dan harta benda. Mia sudah terbiasa hidup kaya sejak kecil, dia tidak butuh pengakuan sebagai orang kaya dari siapapun.
“Bik, tolong ke kamar Rival. Kalau dia masih tidur, suruh bangun. Biarpun ini hari libur, tapi dia harus tetap mandi pagi,” kata Mia saat bertemu dengan si bibik di area dapur.
“Mas Rival ikut pergi sama Tuan, Nyonya. Mereka berangkat sebelum jam lima pagi tadi.”
Mia mengerutkan kening. “Kemana?” selidiknya dengan nada kesal, bisa-bisanya Nathan membawa Rival pergi tanpa bilang-bilang lebih dulu padanya.
“Katanya mau jalan-jalan sama non Alyra.”
Jantung Mia seperti ditusuk jarum. “Vena… ikut?” Dan anggukan si bibik pun kian menambah rasa nyerinya.
Mia menampilkan wajah baik-baik saja, meskipun dalam hatinya terasa sakit karena tersisihkan. Bisa-bisanya mereka semua pergi, tanpa dirinya.
Untuk meluapkan kesedihannya, Mia pergi main tenis hari itu. Setiap pukulan smash yang ia lepaskan memuat seluruh kemarahan dan kekecewaannya, membuat lawannya kesulitan menandingi serangan-serangannya yang mematikan.
"Wow, Mia! Kamu seperti kesetanan saja?" goda Michella, salah satu temannya di klub tenis, dengan senyum setengah heran.
Mia meneguk minum dari sebuah botol, mencoba meredakan denyut cepat di dadanya. "Kenapa? Apa biasanya pukulanku selemah itu?"
Michella terkekeh, matanya berbinar memandang Mia. "Tidak, kuakui kamu memang jago. Tapi kali ini, luar biasa. Biasanya aku yang selalu memenangkan pertandingan kita, bukan?" katanya sambil menyeka keringat di keningnya, kelelahan setelah bermain tiga set yang sengit dengan Mia.
Sekembalinya ke rumah, Mia uring-uringan karena ternyata Nathan dan Rival masih belum pulang. Dia mengecek ponselnya dan baru menyadari ada beberapa panggilan tak terjawab dari Nathan. Ada beberapa pesan darinya.
[Mia, maaf tadi pagi aku tak tega membangunkanmu, kamu kelihatan capek banget dan lelap sekali tidurnya. Sedangkan aku sudah janji sama anak-anak untuk mengajak mereka melihat sunrise di pantai.]
[Kata si bibik kamu tadi pergi main tenis? Pantas teleponku tidak kamu angkat.]
[Sayang, malam ini kami mau menginap di hotel. Sini menyusullah. I miss you.]
Mia tersenyum sinis. Menyusul mereka dengan kondisi hatinya yang telanjur sekesal ini bukanlah ide bagus. Bisa-bisa dia nanti malah bertengkar lagi dengan Vena, atau lebih parahnya dengan Nathan.
“Biarlah Mas Nathan puas bermain dengan Rival dan Alyra di akhir pekan ini. Lebih baik aku menenangkan diri di rumah saja.”
Mia mengusap wajahnya, mencoba menyingkirkan perasaan cemburu dan tak berdaya yang terus menghantuinya. “Alyra sedang sakit dan Mas Nathan hanya ingin memberikan perhatiannya sebagai seorang ayah. Aku harus mengerti.”
Dia tahu, dia harus bersabar. Namun, di balik kesabarannya mempertahankan keharmonisan rumah tangganya bersama Nathan, ada rasa takut yang terus mengintai. Rasa takut bahwa, pada akhirnya, dia akan benar-benar kehilangan Nathan.
Mia duduk merenung di kamarnya. Dia seorang introvert, dia biasa beraktivitas dalam kesendirian, tapi dia tak pernah merasa kesepian seperti sekarang.
Tiba-tiba, Mia teringat sesuatu. “Ah, iya. FIFA Matchday!”
Mia melirik jam digital yang ada di nakas. “Masih ada waktu.” Tanpa pikir panjang, iapun menyambar kunci mobilnya. Ada dorongan tak tertahankan untuk melarikan diri dari semua kesedihan dan kekecewaan yang selama ini menghimpitnya.
Mia menuju Stadion GBK dengan semangat membara di dadanya. Sudah lama sekali dia tidak merasakan euforia menonton pertandingan sepak bola langsung di stadion. Nathan selalu melarangnya, meremehkan hobinya sebagai sesuatu yang tidak layak bagi istri seorang presiden direktur. Tapi hari ini, Mia tidak peduli. Hari ini, dia akan hidup untuk dirinya sendiri.
Mia membeli tiket lewat calo biarpun harganya melambung tinggi. Uang tak masalah baginya. Tak ada yang bisa menghentikannya hari ini. Dia merindukan gemuruh penonton, hiruk-pikuk stadion yang selalu membuat darahnya berdesir.
Mia tersenyum lebar begitu kakinya menginjak tribun VIP. Setiap langkahnya terasa ringan, seolah beban yang selama ini menekannya perlahan menghilang. Dia duduk di salah satu kursi, menghirup dalam-dalam atmosfer stadion yang penuh semangat. Gemuruh suara suporter serta nyanyian ‘Ultras Garuda’ dan ‘La Grande Indonesia’ mengisi setiap sudut udara. Hatinya bergetar, mata Mia berkaca-kaca oleh keharuan. Akhirnya, dia kembali.
Tepukan kecil di pundaknya membuat Mia menoleh. “Michella? Kamu juga di sini? Sejak kapan suka bola?” tanyanya dengan nada terkejut namun senang.
Michella mengedikkan bahu. “Aku cuma diajak sama Karin,” jawab Michella sambil menunjuk wanita cantik di sebelahnya. “Kenalkan, Karin ini temanku. Pacarnya pemain timnas, mau turun tanding.” Michella mengedipkan sebelah mata.
Mia mengangguk kecil seraya tersenyum pada Karin yang tampak tersipu sambil mencubit lengan Michella. “Nomor punggung 23,” Michella pura-pura berbisik pada Mia, seolah itu masih rahasia, membuat Karin mencubitnya lagi.
Mia pun tercekat ketika menyadari bahwa pemain bernomor punggung 23 yang ikut berlaga malam ini adalah... Max.
Di lobi gedung rumah sakit elit di jantung kota Jakarta, sebuah sedan Rolls Royce hitam berhenti dengan anggun, memancarkan aura kemewahan yang nyata di antara deretan mobil mewah lainnya yang sedang memasuki halaman rumah sakit tersebut.Pintu mobil sedan mewah itu terbuka, menampilkan seorang pria tampan berwajah oriental yang melangkah keluar dengan aura kecerdasan dan percaya diri. Berbalut sepatu kulit hitam mengkilap, kaki pria itu menapak lantai lobi dengan ketegasan seorang pemimpin sejati. Setelan jas hitam yang dikenakannya begitu pas membingkai tubuhnya yang tinggi dan atletis, menambah kesan elegan dan berwibawa yang kini melekat erat pada diri pria berusia 40 tahun itu.“Silakan, Tuan Valen,” sapa asistennya sambil membukakan pintu mobil, memberikan anggukan hormat pada CEO “Bintang Hospital Group” yang baru saja tiba.Aura Dokter Joshua Valen kini begitu berbeda, mencerminkan transformasi yang telah ia lalui dalam beberapa tahun ini. Sejak ditinggalkan oleh Mia, Valen me
Max dan Mia memulai babak baru dalam kehidupan mereka di Lake District, Inggris, sebuah tempat yang menawarkan ketenangan dan keindahan alam yang kontras dengan kehidupan kota yang sibuk. Keputusan mereka untuk menetap di kawasan ini adalah bagian dari keinginan mereka untuk menemukan kedamaian dan kebahagiaan dalam kehidupan baru mereka bersama.Rumah mereka, sebuah cottage yang terletak di tepi danau, dikelilingi oleh hutan hijau dan pegunungan yang menjulang, memberikan latar belakang yang sempurna untuk melanjutkan kehidupan mereka. Setiap pagi, mereka disambut oleh pemandangan matahari terbit yang memukau dan suara lembut angin yang berdesir di antara pepohonan. Ini adalah tempat di mana Mia dan Max dapat menghindar dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari dan benar-benar fokus pada kebersamaan mereka.Max, sebagai pemain sepak bola profesional, berhasil menjalani karier yang cemerlang di Inggris bersama Lakeside City, klub sepak bola yang kini terdaftar dalam EPL (English Premi
Di sebuah rumah sakit, Valen duduk di ruang tunggu keluarga pasien, menantikan Mia yang sedang menjalani operasi darurat dan harus dikuret karena mengalami keguguran. Valen masih mengenakan kemejanya yang bersimbah darah—darah Mia. Asistennya mencoba membujuknya untuk mengganti pakaian. Namun, Valen menggelengkan kepala, menolak tawaran itu. Gelengan itu membuat asistennya mundur, memberikan ruang bagi Valen yang masih terlihat kalut dan terpukul oleh peristiwa tragis yang menimpa Mia.Di depannya, Max yang juga sedang tegang menantikan Mia, ia mengamati semua gerak-gerik Dokter Joshua yang semakin jelas di matanya. “Kamu jatuh cinta pada Mia kan, Dok?”Tanpa ragu, Valen mengangguk. “Aku jatuh cinta padanya sejak pertama kali kami bertemu, di ruang IGD itu. Kupikir saat itu aku hanya merasa iba kepadanya, tapi ternyata tidak… itu bukan hanya rasa iba ataupun sekadar simpati. Aku selalu ingin bersamanya sejak saat itu. Ingin melindunginya, ingin memastikan bahwa dia selalu baik-baik
Gavin menginjak gas mobilnya lebih dalam, melesat keluar dari basement dengan kecepatan yang mencerminkan kepanikan dalam dirinya. Jantungnya berpacu, diliputi oleh ketakutan dan penyesalan yang menghantui setiap pikiran.“Maafkan aku, Valen. Maafkan aku…!” suaranya nyaris tak terdengar, tercekik oleh emosi yang bergolak. Bibirnya gemetar, dan air mata mulai membanjiri pandangannya.Tangis Gavin pecah, mengalir deras seperti sungai yang tak terbendung. Hatinya terasa remuk, diremas oleh kepedihan yang tak tertahankan saat bayangan Valen melintas di benaknya. Bagaimana kondisi pria yang dicintainya itu sekarang?Pikiran itu mencabik-cabik ketenangannya. Ketakutan menyeruak, menggerogoti setiap sudut batinnya. Bagaimana jika Valen… mati? Atau lebih buruk, bagaimana jika Valen cacat permanen akibat keputusan impulsif yang baru saja ia buat?“Tidak…! Tidak!” Gavin memukul-mukul setir mobil dengan frustrasi.Penyesalannya datang terlambat, menghempaskan Gavin ke dalam jurang keputusasaan.
Di dalam basement, area parkir sebuah apartemen, tatapan Gavin tak lepas dari mobil yang terletak beberapa meter di depannya. Mobil itu seolah menjadi simbol dari seseorang yang diam-diam telah menjadi pusat dunianya—Dokter Joshua Valen. Hati Gavin bergejolak dengan perasaan yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kecuali kepada pemilik mobil itu sendiri.Joshua Valen, sang dokter yang tampan dan baik hati, adalah sosok yang telah membuat Gavin merasakan ketenangan yang tak pernah ia dapati dari orang lain. Setiap kali berada di dekat Valen, Gavin merasa damai, seolah semua beban hidupnya menghilang dalam sekejap. Kekaguman Gavin terhadap Valen melampaui batas-batas yang wajar, melebihi rasa kagum seorang pasien biasa kepada dokternya. Gavin telah jatuh cinta—perasaan yang ia tahu salah, namun tak bisa ia kendalikan.Gavin masih mengingat dengan jelas hari ketika ia akhirnya memberanikan diri mengungkapkan perasaannya kepada Valen. Detik-detik itu penuh ketegangan baginya, n
“Michella, kamu sekarang bisa mencairkan nilai pokok investasi milik Mia, lakukan segera.” Nathan menyampaikan instruksi itu lewat telepon. Michella terkejut mendengar permintaan Nathan. Padahal sebelumnya, Nathan kerap memberinya ancaman yang mengerikan bila ia sampai memberikan bantuan keuangan pada Mia, apalagi sampai mengembalikan nilai pokok investasi yang sudah sering diminta oleh Mia.Namun, tanpa banyak tanya lagi—khawatir Nathan berubah pikiran, Michella segera mentransfer uang itu pada Mia. Membuat Mia menangis lega saat ia menyampaikan kabar baik itu.“Maaf, aku baru bisa mengembalikan uang investasimu sekarang, Mia.” Michella berkata dengan hati yang diliputi rasa bersalah.“Tidak apa-apa, Michella…, yang penting sekarang bisnismu sudah stabil, kan?” ucap Mia begitu tulus.Michella diam-diam merasa bersalah dalam hatinya karena sebenarnya bisnisnya baik-baik saja selama ini. Tetapi ia tak berkutik dan tunduk pada perintah Nathan karena ancaman-ancamannya terhadap bisnis M