"Astaghfirullah!" Abu gosok meletakan aku pada brankar dengan kasar. Bahkan aku sampai sakit pinggang."Pelan kenapa? Sakit tahu!" Gerutuku. "Ngga usah ketakutan begitu, Allah pasti mengampuni dosa-dosa hambanya yang tak sengaja." Sengaja aku menyindir, seperti kata dia tadi."Kalau apa-apa panggil saja aku! Jangan lakukan apapun sendiri. Aku ngga mau kamu makin parah karena nanti adikku yang akan disalahkan!" ujarnya dengan nada sedikit ketus. Aku memilih memalingkan wajah.Dia mengaduh dan mengangkat kakinya yang berdarah."Astaga! Itu kena beling, Bu!" ujarku melihat dia tapi tak dapat berbuat apapun.Dia berjalan dengan pincang menuju sofa. Mencoba mencabut pecahan gelas yang menancap pada kakinya.Aku memanggil suster saat melihat ada suster lewat."Sus, bisa bantu obati lukanya dan sapu pecahan kacanya!" "Baik, Mbak. sebentar saya ambil alatnya."Tak lama datang dua suster, satu memegang sapu satunya membawa kotak P3K."Saya obati ya, Mas!" ujar suster yang bertugas mengobati
"Apa aku terlalu percaya diri? Atau kamu yang terlalu serius menanggapi sampai expresinya begitu!" Kelakarku. Melihat dia yang kaget seperti itu membuat aku kasihan padanya.Lagian jika aku yang dinikahi dia, bagaimana dia akan menyembunyikan wajahnya. Dia itu ustadz terkenal, masa nikah sama pe la cur seperti aku.Walau aku tahu, Allah maha pemurah, tapi jelas aku dan dia tetaplah berbeda. Dia rajin ibadah dan berpendidikan tentu akan mencari yang sepadan. Mana mau dia sama aku yang sekolah pun hanya SD dan ngaji cuma sampai jilid dua. Bisa di ketawain jamaah kalau pas manggung. "Ah, sepertinya kamu memang terlalu percaya diri. Kalau dilihat dari prinsip kamu, aku suka. Kamu itu pekerja keras dan optimis, bahkan sangat profesional." Pujinya membuat wajahku memerah.Tentu semua itu dari pengalaman masa lalu. Semua yang terbentuk dari diri seseorang sebagian besar adalah dari pengalaman masa lalu.Aku yang memiliki keluarga utuh namun tak harmonis, tentu tetap berefek pada aku yang me
Menjadi seorang ustadz bukan hal yang mudah dilalui, bukan juga sebuah kebanggaan yang harus dipamerkan.Tentu setiap manusia memiliki sisi kelam, begitu pun dengan aku. Walau sekarang mencoba untuk memperbaiki diri, juga Allah bukakan jalan taubat juga rezeki yang mengalir deras. Namun semua itu tetap menjadi noda hitam dalam hidupku.Itulah kenapa aku tak memandang rendah seseorang walau aku sudah tinggi. Aku tak malu bahkan tak segan bergaul dengan siapapun, dari preman, penjahat atau bahkan pelacur. Bagi aku selama mereka tak lagi menjerumuskan aku kepada dosa yang lebih besar lagi, itu hal yang wajar.Bahkan tentu aku harapkan mereka mau bertaubat, walau aku bukan ahli tauziah setidaknya pendekatan pelan aku mampu menyentuh hatinya."Tadz, apa ngga capek setiap mau tampil, Ustadz itu selalu saja bawa orang-orang ngga bener numpang. Saya sampai heran loh, Tadz. Duh ... Apalagi malam ini, bawa Pe la cur yang sangat percaya diri seperti wanita tadi," ujar Pak Yono supir yang selalu
"Terima kasih sudah mengurus semuanya." Aku berkata dengan datar. Malu karena topeng aku yang sebenarnya sudah ia ketahui.Dia tersenyum nakal, seolah tengah mengejek aku yang masih tak bisa berkata-kata setelah terbongkarnya aibku. Aib karena aku menggunakan nama samaran.***Aku memilih mengemasi barang-barang sendiri. Walau memang tadi suster mengatakan jika akan ada yang menjemput aku dan mengantarkan, tentu aku tak mau semua dilakukan orang lain. Pelan-pelan aku mulai mengemasi apa yang dibawa pulang."Assalamualaikum ...." Abu Gosok datang tepat waktu. Aku sudah selesai berberes."Sudah selesai?" tanyanya heran ketika melihat semuanya rapi."Iya, karena aku sudah tak sabar untuk tidur dikasurku yang empuk," ujarku dengan berdiri setelah tadi tengah duduk."Kamu aku bawa ke pesantren dan tinggal disana!" ucapnya tanpa penawaran."Apa? Aku di suruh tinggal di pesantren? Gila kamu ya! Apa aku harus me la cur disana?" Aku yang kaget langsung mencoba menatapnya. Mencari keseriusan da
"Maaf, maksudnya ustadz Abu, pasalnya ini cuma ada empat piring?" Aku membenarkan ucapan."Nggak, Mbak. Aa Abu mah ngga pernah makan bareng, dia itu sukanya menyendiri, apa-apa sendiri dan terpisah, itulah yang membuat Abah juga Umi khawatir tak dapat jodoh." Nay berkata dengan antusias. Aku mendengar dengan segsama."Nay!" Pangil Abah terdengar tak suka anak perempuannya berkata terus terang."Tak usah pikirkan itu, Nduk, makan dulu! Setelah itu istirahat, Nay sudah menyiapkan kamar untukmu." Kali ini Umi yang bersuara, aku hanya mengangguk dan mulai memakan hidangan yang tersaji.Aku menikmati dengan khusu, makanan yang terhidang memang lezat, apalagi gratis."Mbak sebentar lagi kan puasa, nanti kita salat tarawih bareng ya!" Ajak Nay berbicara disela makan.Tarawih? Ah rasanya sudah lama sekali aku tak melakukan salat itu, entah sudah berapa tahun, aku tak mengikuti puasa. Mungkin lebih tepatnya saat aku di nikahi oleh juragan Komar. Jangankan untuk salat tarawih bersama, bahkan s
Aku langsung berjingkrak dan lari masuk ke kamar, menutup pintu dengan keras."Astaghfirullah! Apa ya tadi?" Aku masih berdiri dibelakang pintu. Nafas masih ngos-ngosan.Mungkin mitos tentang pesantren yang banyak hantunya itu real. Kali ini aku mengalaminya. Aku masih mencoba mengatur nafas saat sebuah ketukan kembali membuat aku berjingkrak."Kiara, Ki! Ini aku Abu, tadi itu aku yang memangil dan melemparkan benda kecil agar kamu menoleh, kamu ngga apa-apa, Kiara?" Ketukan itu disertai ucapan Abu.Huh, ternyata dia! Aku sampai hampir jantungan karenanya. Aku siap memutar kenop pintu namun sebuah suara membuat aku urungkan."Ehem!""Abah?" Suara Abu terdengar kaget.Artinya Abah pasti ada disana juga. Aku memilih untuk tetap berada dibelakang pintu tanpa membuka."Masuklah, ini sudah malam. Ngga baik ngetuk pintu kamar seorang perempuan." Terdengar nada tegas Abah. Aku menelan saliva. Untung aku belum keluar."Tadi hanya ingin menjelaskan kesalah pahaman, Bah." Terdengar Abu masih be
Jalan Hijrah Si Kupu-Kupu Malam 15Aku masih memainkan ujung jari, rasanya sulit sekali mulut ini membuka, seperti terkunci bahkan terasa dilem."Kiara?" Panggilnya lagi, aku bingung mau memulai dari mana, tapi sepertinya aku harus mengatakan sekarang."A-apa aku boleh disini sampai dekat lebaran nanti?" tanyaku tercekat. Aku takut dia mengira aku disini karena ingin dekat dengannya. Nanti dia ke GR an. Ah, bukan dia yang ke GRan, tapi aku yang terlalu berharap."Tentu saja, kamu boleh disini sampai kapanpun, bahkan aku senang jika kamu mau taubat dan mau hijrah," jawabnya dengan mata berbinar. Apa dia memiliki perasaan padaku?Kiara! Jangan selalu berfikir demikian, ingatlah kamu siapa dan dia siapa? Jika Ning aja dia tolak apalagi hanya aku yang seongok sampah."Kamu tak perlu merasa sungkan dan segan disini, kamu bisa meminta bantuan Nay atau santriwati jika kamu ingin belajar tapi malu untuk belajar dengan Asatidzah." Ia kembali berkata dengan antusias.Aku hanya mengangguk pelan,
"Dia tadi bilang mau menikahkan kamu sama orang kaya raya dan menyuruh kamu untuk pulang ke kontrakan." Dengan santai ia berkata.Ah bagaimana ini?Tentu Mami Mawar tak akan putus asa menyambangi aku disini. Bagaimana kalau Abah tahu aku ini mantan wanita ...."Sum ... Sumi?" Panggilnya membuat aku yang terdiam dalam pikiran langsung menatapnya."Kenapa?" tanyanya. Dia pikir ini bukan hal besar hingga masih tanya kenapa?"Orang kaya raya loh, katanya punya banyak kontrakan dan dia sudah sangat mengenal kamu karena langganan," ucapnya membuat aku tak enak hati. Memang Bang Rozak sudah membooking aku berkali-kali tapi tak terbesit sedikitpun untuk menikah dengannya. "Nggak mau, aku belum ingin menikah." Aku beralasan. Pasalnya tak tahu lagi harus mengatakan apa untuk menghindari pertanyaan Abu gosok."Apa aku harus pulang saja ya?" tanyaku kemudian setelah terjadi keheningan."Lah tadi katanya ngga mau, sekarang mau pulang itu artinya mau dong!" Abu gosok menyempitkan mata."Bukan beg