Share

Kesal

Mataku membulat sempurna kala melihat uang merah yang jumlahnya tak sedikit.

"Astaga, ini?" Aku mulai menghitungnya yang ternyata berjumlah empat puluh lima, artinya keseluruhan uang yang dia berikan adalah lima juta.

"Andai tiap malam nemu pelanggan yang beginian terus, cepat tobat aku." Aku bergumam sendiri. Memandangi uang pecahan seratus ribu itu.

Aku tersenyum mengingat wajah Abu gosok. Pemuda berwajah bersih dengan jambang tipis didagu sampai ke pipi. Ah! Kini imajinasi aku melayang jauh. Merasakan bagaimana jika Jampang itu menyentuh pipiku.

Hufh, Kiara kamu jangan ngimpi terlalu tinggi. Benar kata sopir usil itu, jika tak mungkin seorang ustadz tampan nan terkenal menikah dengan seorang pe la cur seperti dirinya. Sadar diri sepertinya lebih baik, tapi jujur hati ini begitu tertarik akan dirinya.

Apa aku akan menjadi punguk yang merindukan bulan?

Aku menjatuhkan bobot pada tempat tidur. Bahkan uang pun masih tergeletak di kasur. Membayangkan wajah sang ustadz tampan itu seolah menjadi candu. Manis senyumnya dan rupawan wajahnya. Aku menggigit bibir bawah, mengingat bagaimana tadi kejadian demi kejadian terlewati bahkan saat suaranya yang merdu menentramkan hati itu terdengar ditelinga.

Mungkinkah ia manusia paling sempurna yang pernah aku temui?

Aku teringat pada pemberian Ning Sukma. Langsung meraih paperbag itu dan membukanya.

"Masya Allah ...." Entah bagaimana kali ini aku menyebutkan keagungan Allah. "Ini mukena cantik banget."

Aku membolak-balikkan mukena putih dengan full bordil. Indah sekali, di hiasi dengan beberapa manik disekitar lubang wajah. Kuusap lembut, menciumnya dalam.

Entah sudah berapa lama aku tak memakai ini, yang artinya entah sudah berapa ribu kali aku ingkang untuk menyembah pada sang pemilik alam semesta.

Tak terasa air mata ini luruh. Berdoa dalam hati agar Allah segera membuka jalan tobat untuk dirinya.

"Mungkin Allah mengirimkan ini, agar aku ingat akan kewajibanku sebagai seorang muslim." 

Dalam hati aku berjanji mulai besok untuk salat. Entah Allah terima atau tidak salatnya orang hina dan kotor, itu jadi rahasia Allah.

***

Pagi hari ponselku berdering, sudah kutebak jika itu dari ibu.

"Halo, Bu, Ibu sehat?" tanyaku langsung.

"Alhamdulilah, Sum. Kamu sehat?" tanyanya. Ibu memang masih memanggil aku dengan sebutan Sumi, ya nama asliku Sumiati.

"Alhamdulilah juga, Bu. Bagaimana dengan Arif dan Intan? Sekolah lancar?" Aku mencari bahan obrolan sebelum akhirnya aku tahu tujuan Ibu menelfon adalah meminta uang atas suruhan ayah. Sengaja sepanjang telfon akupun tak menanyakan dia, aku yakin dia berada tepat disamping Ibu, mendengarkan kami berbicara.

"Ya sudah, Bu. Nanti aku transfer ya. Semoga dengan uang ini, ayah sadar dan berhenti berhutang untuk berjudi. Aku ingin punya Ayah yang waras dan memiliki kasih sayang untuk keluarganya!" Sengaja aku tekan dikata terakhir sebelum kumatikan.

Kadang rasa sesak didada, saat uang belum terpegang tapi Ayah memaksa untuk mengirim. Dengan alasan aku kabur dari kampung, ayah meminta aku mentransfer sejumlah uang setiap bulan jika tak mau aku dibawa pulang paksa dan kembali kepada juragan Komar. Tentu aku lebih memilih jalan itu, lebih memilih jadi Kupu-Kupu malam dari pada menjadi samsak hidup.

Kuhitung uang yang semalam di kasih oleh Abu gosok. Entah kenapa, aku merasa punya uang ini sangat berbeda dengan uang yang aku dapat dari laki-laki hidung belang.

Jika biasanya aku akan selalu royal saat menerima uang banyak, entah kenapa kali ini aku tenang, tak panas ataupun membuat gerah untuk segera membelanjakan uang itu.

Aku memilih keluar menuju bank untuk setor tunai. 

"Alhamdulilah," ucapku merasa lega.

Sore menjelang, seperti biasa tentunya aku bersiap untuk berangkat mangkal. Sebelumnya aku menghangatkan lauk yang semalam diberikan oleh Abu gosok. Nasi Kebul-kebul satu kotak juga beberapa lauk pauk yang juga sama satu kotak terpisah. Tadi siang nasinya aku habiskan dan kini tinggal lauk pauknya yang tersisa. Aku bergegas makan setelah mandi kemudian berdandan.

Cinta sudah duduk di cafe saat aku tiba, ia langsung mendekati aku.

"Hey, Kiara, semalam kamu kemana? Dicariin Mami Mawar tuh!" ujarnya langsung menujuk ke cafe dengan dagu.

"Semalam aku dapat orderan diluar, memangnya ada apa Mami Mawar mencari aku?" 

"Ada pelanggan tetap kamu itu, Bang Rozak!" Cinta berkata.

"Benarkah? Duh, males benar sama dia!" Aku mengerutu.

"Memangnya kenapa?" tanya Cinta. Dia memang tak pernah di booking olehnya, karena Bang Rozak lebih suka wanita yang masih muda. Umur kisaran dibawah tiga puluh tahun, sedangkan cinta sudah berusia tiga puluh lima.

"Memangnya kamu ngga tahu, kalau Bang Rozak itu terkenal kucir dan kikir. Gayanya aja selangit, mintanya daun muda tapi uangnya seret pisan! Males kan kalau sama orang yang begitu? Mana banyak maunya kalau di ranjang!" Aku mengatakan semuanya pada Cinta.

"Amit-amit orang begitu ya, Ra?"

"Makanya aku males, Cin. Mending kalau dia mau kesini, aku mau pulang saja deh." Aku beranjak untuk pergi. Cinta pun tak melarang. Ia tahu bagaimana perasaan kita saat pelanggan pelit dan kebanyakan maunya.

"Kiara tunggu!" Tiba-tiba suara Mami Mawar terdengar. Gawat ini, kalau sudah ketemu Mami auto maksa aku untuk melayani Bang Rozak.

Aku menghentikan langkah, siap-siap berdrama untuk meyakinkan Mami Mawar agar boleh kabur.

"Iya, Mam, ada apa?" tanyaku dengan wajah kubuat menahan sesuatu.

"Kamu semalam kemana? Di cariin Bang Rozak!" Cetusnya jutek seperti biasa. Wanita ini hanya akan tersenyum saat menerima lembaran uang, selebihnya menyeramkan seperti rentenir.

"Semalam aku pulang, Mam. Perutku sakit, ini juga mau pulang. Sudah dua hari ini aku diare, tadinya aku pikir udah mendingan mau berangkat karena tak punya duit juga, tapi ternyata perutnya masih ngga bisa dikompromi. Ini juga sudah di ubun-ubun, aku mau pergi dulu, Mam!" Aku segera berlari, bahkan memilih membawa handal hak tinggi ku, agar bisa lari lebih kencang.

Aku ngos-ngosan saat sudah kulihat Mami Mawar tak terlihat, kupastikan dulu agar dia tak mengikuti aku sampai rumah. Aku celingukan karena takut tiba-tiba Bang Rozak atau Mami Mawar menyusul.

"Sepertinya sudah aman, lebih baik aku pulang saja!" Aku bergegas untuk pulang dengan kaki telanjang. Terasa begitu sakit saat menginjakan kaki pada kerikil kecil. Aku memilih berjalan dipinggir trotoar agar tak terasa makin menusuk.

Saat tiba-tiba dipinggir trotoar yang tengah aku gunakan jalan ternyata licin dan aku terpeleset tepat saat itu sebuah mobil tengah melaju. Aku yang jatuh kejalan raya harus terbentur dengan badan mobil bagian samping. Tentu sopir pasti kaget dan banting setir kekanan walau nyatanya tetap saja aku terkena benturannya.

Aku merasa tubuhku guling-guling diatas aspal setelah merasakan sakit yang teramat dibagian kepala. Aku berusaha berdiri walau sangat sulit, melihat cairan merah menetes dari rambutku. Hingga terasa begitu lemas dan tak bertulang hingga akhirnya tak berdaya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status