Jantung Davina berdebar begitu kencang. Kakinya melangkah cepat menyusuri salah satu mall terbesar di Jakarta. Hari ini semestinya ia akan bertemu dengan pengirim paket misteriusnya. Kalau memang orang itu setuju untuk menemuinya.Davina menekan lift dan masuk. Kotak besi itu segera melesat ke lantai tiga tempat Davina akan bertemu dengan orang tersebut. Davina berjalan dengan cepat sembari pandangannya menyebar ke seluruh penjuru mall. Beberapa menit melangkah, Davina akhirnya menemukan kafe Pulang. Tempat ia akan bertemu dengan si pengirim paket.Namun langkah Davina tiba-tiba terhenti. Ia terperanjat melihat sosok yang ada di tempat itu. Sosok yang tampaknya sedang menunggu seseorang disana. Seorang pria yang Davina tidak pernah menyangka akan ditemuinya disana."Pak Edwin?"Davina mengerjapkan matanya beberapa kali. Berusaha memastikan apakah sosok yang dilihatnya benar-benar ayah dari muridnya. Edwin Pramudya. Davina dengan cepat berusaha menepiskan kemungkinan itu."Ah, mungkin
Davina mengamati dengan saksama ekspresi wajah Edwin. Pria itu tampak benar-benar terperanjat. Davina yakin benar bahwa Edwin bukan pelaku di balik semua ini. Namun semuanya jadi semakin membingungkan bagi mereka berdua. Kalau bukan Edwin, lalu siapa yang berani mencatut nama Edwin?Edwin berpikir keras. Kenapa nomor ponselnya bisa ada dalam identitas pengirim paket Davina? Edwin yakin siapapun yang melakukannya pasti berhubungan dekat dengannya dan Davina. Edwin mengangkat wajahnya dan melihat ke arah Davina dengan serius."Apa saja paket yang kamu terima?" Tanya Edwin penasaran.Davina tampak mengingat-ingat."Awalnya hanya sebatas buket mawar dan cokelat, Pak. Tapi belakangan hadiahnya menjadi semakin mahal. Terakhir saya menerima anting-anting yang sepertinya berharga jutaan rupiah." Jawab Davina.Edwin membelalak. Otaknya seolah menghubungkan setiap potongan-potongan puzzle itu. Mencoba mencari penjelasan yang paling masuk akal terhadap kejadian itu. Dan tiba-tiba ia seolah menem
Edwin melontarkan pertanyaan itu kepada puteranya tanpa ragu. Bocah itu tampak gugup setelah mendengar pertanyaan ayahnya. Rautnya menampakkan dengan jelas bahwa Clay seperti orang yang tertangkap basah. "Jawab, Clay. Apa kamu yang mengirim paket-paket untuk Miss Davina?" Ulang Edwin lagi dengan tegas. Clay mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk dan ia tak berani menatap ayahnya. Tangan mungilnya berpegangan erat pada Davina yang memangkunya. "Kenapa kamu melakukannya?" Tanya Edwin lagi. Clay terdiam. Ia tidak berani menjawab ayahnya. Edwin memang sangat jarang marah kepada puteranya ini namun jika itu terjadi, maka gunung meletus pun akan kalah mengerikan dibandingkan amarahnya. Davina membungkuk dan melihat ke arah Clay. Bocah itu menangis sesenggukan karena takut. Tangannya terkepal di kedua pahanya dan kakinya gemetar. Davina memutar tubuh Clay hingga menghadapnya. Ia lalu tersenyum lembut sembari menyeka air mata Clay dengan ibu jarinya. "Kalau Clay tidak mau jawab pertanyaa
Dilema benar-benar menggulung otak Davina. Ia bingung harus memilih yang mana. Di satu sisi, menjadi guru playgroup benar-benar impiannya sejak kecil. Ia sudah berusaha begitu keras hingga bisa mendapatkan pekerjaan itu. Namun tidak bisa dipungkiri, Davina cukup tergiur dengan tawaran Edwin.Gaji sebesar dua kali lipat, tempat tinggal, dan bahkan makan pun akan ditanggung. Sudah pasti kehidupan Davina akan menjadi lebih terjamin dengan memilih tawaran Edwin. Selain itu, Davina juga bisa selalu dekat dengan Clay. Anak murid kesayangannya.Davina menghempaskan kepalanya ke bantal. Ia memejamkan matanya sembari kepalanya berpikir begitu keras. Setelah berpikir kurang lebih dua jam, akhirnya Davina mantap memilih. Ia segera meraih ponselnya dan menekan nomor Edwin untuk meneleponnya.Beberapa kali nada tunggu berbunyi. Tak lama, terdengar suara berat khas Edwin dari seberang telepon."Selamat malam, Davina." Sapa Edwin sopan."Selamat malam, Pak. Maaf jika mengganggu Bapak malam-malam beg
Hari ini sudah genap seminggu Davina bekerja sebagai pengasuh Clay. Edwin benar-benar menepati kata-katanya. Fasilitas yang diberikan kepada Davina sungguh tidak main-main. Dan Davina pun sebenarnya mendapatkan kamarnya sendiri. Cukup besar dan sangat nyaman. Tapi kenyataannya Davina lebih sering menghabiskan malamnya di kamar Clay. Bocah itu benar-benar tidak mau melepaskan Davina bahkan sedetik saja.Sungguh, bukannya Davina merasa keberatan. Hanya saja Davina sesekali terpikir bagaimana keadaan Clay jika Davina benar-benar pergi dari rumah ini?"Clay sudah mengantuk? Kita tidur yuk, nanti besok kita akan bermain lagi." Bujuk Davina sembari mengusap lembut kepala Clay.Clay mengangguk dengan patuh. Anak laki-laki itu selalu patuh pada Davina. Ia mendengarkan setiap kata-kata Davina dengan baik dan tidak pernah membantah. Tiba-tiba terpikir oleh Davina tentang pertanyaan yang selalu ia pikirkan itu. Ia mencoba memberanikan dirinya untuk bertanya kepada Clay. Karena Davina sadar bena
Davina melangkah keluar dengan cepat dari kamar Edwin. Jantungnya berdebar tidak karuan karena kejadian tadi. Davina bahkan merasa wajahnya terbakar rasa malu dan memerah seperti tomat. Dengan tergesa-gesa, Davina masuk ke kamarnya yang berada di lantai satu. Ia membuka pintu dan segera bersembunyi di balik selimutnya. "Gila! Apa-apaan ini? Kenapa jantungku berdebar kencang sekali?" Seru Davina heboh kepada dirinya sendiri.Kaki Davina sibuk menendang-nendang selimutnya. Ia dapat merasakan perutnya yang terasa lucu. Seperti ada jutaan kupu-kupu yang berterbangan disana. Davina berusaha keras mengatur nafasnya dan membuat dirinya lebih tenang. Ia berbaring dan berusaha memejamkan matanya untuk tidur namun yang ia lihat hanyalah wajah Edwin disana."Argh! Sialan! Aku bisa gila kalau seperti ini!" Gumam Davina kesal.Davina menatap kosong ke arah langit-langit kamarnya. Ia kembali membayangkan momen yang hanya terjadi beberapa detik tadi. Betapa dekatnya wajah Davina dan Edwin. Betapa
Hari ini adalah hari keberangkatan Clay untuk mengikuti karyawisata sekolahnya. Dan karena Davina bukan lagi guru di sekolah Clay, gadis itu tidak bisa lagi menyertai Clay dalam perjalanannya. Jadi yang dapat Davina lakukan hanyalah mengantar bocah itu bersama ayahnya."Clay hati-hati disana ya. Nanti kalau sudah sampai, jangan lupa untuk menelepon Papa ya." Pesan Edwin kepada Clay.Clay mengangguk mantap. Senyumnya menyeringai memamerkan deretan giginya yang putih dan seperti kelinci."Siap, Pa!" Jawab Clay bersemangat.Davina berdiri tak jauh dari keduanya dan tersenyum bangga kepada Clay. Untuk pertama kalinya bocah itu akan bepergian sendiri dan Davina merasa sangat bangga terhadap Clay. Seolah gadis itu adalah ibunya sendiri.Clay melihat ke arah Davina dan berlari menghampirinya. Ia memeluk erat Davina hingga topi yang ia pakai terlempar ke belakang."Clay pergi dulu ya, Miss. Sebentar kok, cuma tiga hari. Miss jangan kangen sama aku ya." Canda Clay dengan riang.Davina beraktin
Di depan matanya, Davina melihat Edwin yang bertelanjang bulat. Tangannya tampak memainkan kejantanannya dengan cepat. Ia memompa miliknya sendiri dengan gerakan yang membuatnya mengerang. Iya, Davina tidak salah lagi. Erangan itu berasal dari Edwin yang sedang bermasturbasi di kamar mandinya.Davina mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum sebuah jeritan tertahan lolos dari bibirnya."Bapak? Pak Edwin?!" Seru Davina tak percaya.Edwin dapat mendengar jelas teriakan gadis itu. Ia tercekat karena tertangkap basah sedang bermain dengan dirinya sendiri. Dan yang lebih memalukan lagi, yang memergokkinya adalah gadis yang belakangan ini menjadi objek fantasinya. Davina Anindira. Pengasuh anaknya.Edwin menoleh ke arah Davina yang berdiri di depan pintu kamar mandinya. Ia dengan buru-buru mengambil handuknya dan menutup bagian bawahnya yang masih menegang. Edwin dengan cepat menghampiri Davina seolah ingin menjelaskan apa yang baru saja dilihat gadis itu."Tunggu dulu, Davina. Saya bisa m