Menjadi seorang single parent bukanlah sebuah hal mudah. Dan itulah yang dirasakan oleh Edwin Pramudya, seorang CEO berusia 37 tahun yang baru saja bercerai dari isterinya. Untunglah puteranya adalah anak yang cerdas dan tidak sulit diatur. Tapi siapa yang mengira kalau anaknya yang cerdas ini akan memilih sendiri wanita yang akan menjadi calon Ibunya? Dan wanita itu adalah Davina Anindira. Seorang gadis 27 tahun yang bekerja sebagai guru di sekolah Clay, putera Edwin. Davina yang ceria dan hangat bagaikan matahari tidak hanya berhasil membuat Clay menyayanginya. Tetapi juga mampu melelehkan es yang membeku di hati Edwin. Bagaimana kisah cinta mereka? Apakah Clay benar-benar bisa memepersatukan keduanya?
Lihat lebih banyak"Clay! Hati-hati! Disana licin loh!"
Davina berlari tergopoh-gopoh mengejar seorang bocah laki-laki berusia enam tahun yang berlari tak jauh darinya. Anak gemuk itu tampak begitu senang bermain dengan Davina.Belumlah lima menit dari kata-kata Davina diucapkan, bocah bernama Clay itu jatuh tersungkur karena terpeleset. Alhasil, Clay menangis begitu kencang dan membuat Davina berseru kaget."Clay!" Seru Davina panik sambil berlari mengejar Clay.Davina langsung menggendong Clay dalam pelukannya. Berusaha menenangkan anak itu agar tidak menangis lagi. Namun Clay malah makin menangis di dalam pelukan Davina. Jari-jarinya yang pendek dan gemuk meremas baju Davina karena menahan sakit."Sakit sekali, Miss." Ucap Clay lirih.Davina dengan cekatan membawa Clay masuk ke dalam klinik sekolah. Ia mendudukkan anak laki-laki itu di kasur pasien dan segera mencari kotak P3K untuk mengobatinya."Sabar ya, Clay. Miss Davina akan segera mengobati kamu. Miss janji nanti Clay tidak akan kesakitan lagi." Ujar Davina dengan suara yang lembut.Sambil tersedu-sedu, Clay meringis kesakitan sementara Davina mengobati lukanya. Beberapa menit kemudian, luka itu telah diplester dengan baik oleh Davina. Wanita itu lalu kembali menggendong Clay dan tersenyum sumringah. Tangannya meraih sebuah lolipop yang ada di meja klinik."Karena Clay sudah jadi anak baik, Miss akan kasih Clay permen ya!" Seru Davina ceria.Bocah gendut itu tersenyum menyeringai mendengar iming-iming lolipop atas kepatuhannya. Tangannya yang gemuk meraih lolipop warna warni itu dan segera melahapnya ke dalam mulut. Clay tertawa bahagia dan langsung memeluk Davina dengan senang."Clay sayang Miss Davina!" Seru Clay bahagia.Davina tertawa renyah. Ia balas memeluk anak gendut dalam gendongannya itu."Miss juga sayang sekali sama Clay!"***Bel sekolah baru saja berbunyi. Davina segera menutup pelajarannya hari ini dan mengingatkan murid-muridnya untuk tidak melupakan pekerjaan rumah mereka. Wanita itu dengan lincah menghadapi setiap anak muridnya dan mengajak mereka bernyanyi bersama. Lagu penutup untuk mengakhiri kelas mereka hari ini."Mari pulang! Marilah pulang! Marilah pulang! Bersama-sama!" Seru anak-anak mengakhiri lagu mereka.Setelah lagu selesai dinyanyikan, satu persatu anak lima tahun di kelas Davina berbaris keluar dengan rapi. Mereka mencium tangan Davina, melambaikan tangan, dan segera keluar dari kelas. Satu persatu anak lalu menghampiri orangtua mereka masing-masing.Namun hingga kelas menjadi sepi, satu orang anak tidak kunjung berdiri. Clay masih duduk sendirian di ruang kelas dengan wajah yang murung. Davina yang melihat hal itu langsung menghampiri Clay dengan wajah khawatir."Ada apa, Clay? Kenapa kamu belum pulang?" Tanya Davina lembut.Clay mengerucutkan bibirnya. Pertanda bocah itu sedang merajuk."Papa Clay tidak bisa jemput Clay, Miss. Jadi Clay harus menunggu lagi." Ujar Clay dengan nada sebal.Davina tertawa renyah. Bocah yang satu ini memang selalu bertingkah menggemaskan. Selain karena tubuhnya yang gembul dan pipinya yang tembam, Clay seringkali mengoceh seperti orang dewasa yang kehabisan kesabaran."Jangan marah dong, Clay. Bagaimana kalau Miss Davina ajak Clay main sampai Papa Clay menjemput Clay? Mau?" Ajak Davina dengan riang.Clay sontak tersenyum sumringah. Memamerkan deretan giginya yang kecil dan putih. Bocah gendut itu langsung berdiri dan menarik tangan Davina."Ayo, Miss! Kita main lagi!" Seru Clay bersemangat.Davina mengangguk ceria. Ia mengikuti bocah itu ke taman bermain sekolahnya. Clay dengan semangat menaikki perosotan dan permainan lainnya. Sementara Davina tertawa ceria sembari mengajak Clay bermain.Sejak dulu ia memang selalu menyukai anak-anak. Karena itu, Davina memilih kuliah di jurusan Pendidikan Anak Usia Dini dan menjadi guru TK saat lulus. Beruntungnya Davina, ia bisa bekerja di salah satu TK Swasta terbaik di Jakarta. Dan karena itu pula ia bisa bertemu dengan anak-anak yang lucu dan pintar ini.Davina dan Clay begitu asyik bermain hingga tanpa sadar, satu jam telah berlalu. Clay berjalan terseok-seok dengan wajah dramatis sembari menghampiri Davina. Wanita itu menatap Clay dengan bingung."Ada apa, Clay?" Tanya Davina khawatir."Clay lelah sekali, Miss. Sepertinya Clay akan menjadi kurus kalau bermain terus." Gerutu Clay yang malah membuat Davina tertawa terbahak-bahak.Davina langsung menggendong Clay dan mencubit pipinya dengan gemas. Ia memutuskan untuk ikut dalam sandiwara Clay yang entah sudah mencapai episode keberapa."Astaga! Kalau Clay menjadi kurus, nanti tidak akan ada yang mengenali Clay lagi! Kalau begitu Miss Davina harus menyelamatkan Clay sekarang!" Seru Davina bersemangat.Davina lalu mengeluarkan sebungkus cokelat dari sakunya. Ia memberikan makanan itu kepada Clay yang menyambutnya dengan mata berbinar. Tangan Clay yang gemuk meraih cokelat itu dan langsung membuka kemasannya tanpa ragu. Dalam hitungan detik, cokelat itu sudah masuk ke dalam mulut Clay. Pipi anak itu bahkan menggembung karena makan dengan begitu cepat.Clay lalu duduk di bangku taman sekolahnya. Mulutnya sibuk mengunyah cokelat tersebut seolah ia harus mengembalikan energinya yang terbakar karena bermain. Davina lalu ikut duduk di samping Clay dan tersenyum bahagia melihat bocah itu. Tangannya terulur dan mengelus kepala Clay dengan lembut."Anak pintar! Miss Davina sayang sekali sama Clay!" Puji Davina dengan tulus.Clay mendongak dan melihat ke arah Davina. Senyumnya menyeringai menampakkan deretan giginya yang ditutupi cokelat."Clay juga sayang Miss Davina!" Seru Clay sambil memeluk Davina.Keduanya berpelukkan dengan hangat hingga akhirnya sebuah suara menyadarkan mereka. Suara seorang pria yang membuat Clay menjerit senang. Matanya berbinar ketika menyadari sosok ayahnya yang sudah datang menjemput.Bocah gendut itu langsung berlari menghampiri ayahnya yang datang dengan menggunakan kemeja dan celana dasar. Sepertinya pria itu baru saja pulang dari rapat atau acara penting khas CEO."Papa!" Seru Clay berlari menghampiri ayahnya.Pria itu langsung tersenyum cerah dan mengangkat Clay dalam gendongannya."Anak Papa! Bagaimana sekolahnya hari ini?" Tanya pria itu ceria."Senang sekali, Pa! Tadi Miss Davina kasih Clay banyak sekali makanan!" Seru Clay dengan penuh semangat."Oh, bagus dong kalau begitu! Clay harus bilang apa sama Miss Davina?" Tanya pria itu lagi."Terimakasih, Miss Davina cantik!" Seru Clay yang membuat Davina tertawa renyah.Pria itu lalu melihat ke arah Davina yang berdiri tak jauh dari mereka berdua. Wanita itu tersenyum tipis sambil menganggukkan kepalanya sedikit."Terimakasih untuk hari ini, Miss. Saya dan Clay pamit dulu." Ujar pria itu sopan. Sepersekian detik kemudian, pria itu sudah berbalik dan pergi meninggalkan taman kanak-kanak tempat Davina mengajar.Davina melambaikan tangannya dengan riang karena Clay yang masih menoleh ke arahnya. Beberapa menit kemudian, Clay dan ayahnya sudah menghilang bersama dengan sedan mereka yang melesat jauh.Davina menghela nafas bahagia dan sedikit meregangkan tubuhnya. Ia lalu berjalan memasukki sekolahnya lagi dan mulai membereskan kelas tempat ia mengajar. Rutinitas yang selalu ia lakukan setiap hari selama tiga tahun terakhir.Mobil Edwin melesat bagaikan peluru. Membelah jalanan Jakarta yang lengang di pukul satu malam. Erangan Davina yang tergolek lemah di jok belakang membuat Edwin tidak bisa berkonsentrasi sepenuhnya pada jalan di hadapannya. Sesekali ia menengok ke belakang melalui kaca mobil dan mendapati wajah Davina yang tampak sangat menderita. Ia merintih kesakitan sementara tangannya memegangi perutnya yang sudah membulat. Mata Edwin pun tak bisa lepas dari cairan merah kental yang membasahi kaki istrinya sejak tadi.Perkataan Mbak Murni yang tiba-tiba menyambar Edwin bak petir di siang bolong.“Pak, Nyonya Davina pendarahan!”Dan secepat itu pula, tanpa berpikir dua kali Edwin memacu mobilnya. Membawa Davina ke rumah sakit dengan harapan besar untuk menyelamatkan keduanya. Istri yang paling ia cintai dan calon bayi yang sangat ia tunggu kehadirannya.“Kumohon bertahanlah, Sayang. Sebentar lagi kita akan sampai.” Ucap Edwin bagaikan mantra seolah berusaha meredakan sakit yang dialami Davina.Wani
“Clarissa?”Edwin tanpa sadar mencetuskan si empunya mobil saat sedan mewah itu berhenti tepat di depannya. Davina juga tahu benar siapa pemilik mobil itu karena bukan sekali atau dua kali Clarissa datang ke rumahnya. Dan wanita itu selalu datang dengan mobil yang sama, Mercedes Benz S-Class kebangaannya.Davina melepaskan genggaman tangan Edwin yang melingkar di pergelangan tangannya. Tanpa berpikir dua kali, Davina berlari menghampiri mobil itu. Menemui wanita yang duduk di balik kursi pengemudi.“Mbak Rissa!” seru Davina seraya menghampiri Clarissa yang melangkah keluar dari mobil.Wanita itu berdiri dengan begitu angkuh. Matanya menatap Davina dengan tatapan yang begitu meremehkan. Tatapan yang seolah mengatakan bahwa Davina tidak becus mengurus anaknya sendiri. “Aku kesini untuk mengantarkan Clay pulang.” Jawabnya datar.Ucapan Clarissa sudah cukup membuat Davina menghembuskan nafas lega. Bagaikan batu besar yang sejak tadi mengganjal hatinya telah terangkat, dan beban yang ia r
Entah kenapa, sejak tadi Davina merasa hatinya terus dipenuhi rasa gelisah. Jantungnya berdegup kencang seolah sebuah hal buruk akan terjadi. Davina merasakan sebuah firasat yang aneh dalam hatinya namun ia tidak bisa menebak itu apa.“Kamu sudah makan, Vin?” tanya Edwin saat ia pulang kerja dan menghampiri Davina yang tengah duduk dengan gelisah di ruang tamu.Suaminya itu menghampiri Davina dan mengecup bibir Davina lembut. Rutinitas yang selalu dilakukan Edwin sebelum dan sepulang kerja.Davina menggeleng. Rasa gelisah yang sejak siang tadi melandanya membuat Davina tidak bisa menelan bahkan sesuap nasi pun. Pikirannya terlalu sibuk berkutat dalam rasa khawatir tak berujung.“Kenapa belum? Aku suapi, ya?” Wanita itu kembali menggeleng, “Clay belum pulang, Mas. Kamu tidak menjemput Clay di sekolah, Mas?”Edwin menggeleng, “Bukannya Pak Teguh yang harusnya menjemput Clay hari ini? Aku sudah bilang kalau ada rapat sampai sore, kan?”Jantung Davina mencelos. Rasanya bak disambar petir
Hari berganti minggu, dan minggu berganti bulan. Tanpa terasa lima bulan telah berlalu dan usia kandungan Davina hampir mencapai tujuh bulan. Perutnya semakin membesar dan gejala mualnya sudah tidak separah di masa awal kehamilannya. Tapi tetap saja, tubuh Davina masih saja lemah dan tidak bisa beraktivitas seperti biasanya.Selama hamil, Davina menghabiskan hampir seluruh waktunya di dalam rumah. Enam puluh persen berada di kamar dan empat puluh persen berada di area rumah lainnya. Rasanya bosan bukan kepalang terkungkung di rumah dengan tidak memiliki pekerjaan apapun. Ingin sekali Davina ikut mengunjungi sekolah Clay atau bahkan bermain dengannya. Namun membawa dirinya untuk berdiri lebih dari setengah jam pun Davina tidak mampu. Bagaimana mungkin ia bisa bermain dengan Clay?Edwin pun benar-benar menjaganya mati-matian. Sepulang kerja, suaminya akan terus bersamanya. Mengurusnya mulai dari hal terkecil seperti pergi ke kamar mandi, menyuapi Davina makan, hingga ke urusan paling be
Dokter Santi berkali-kali meyakinkan Davina bahwa operasi yang akan ia lalui hanyalah operasi kecil. Bedah dengan anastesi lokal yang paling lama hanya memakan waktu satu setengah jam. Namun Davina tidak merasa gentar sama sekali. Tidak terbersit sedikitpun ketakutan di kepalanya. Yang ia pikirkan hanyalah bagaimana caranya ia bisa menyelamatkan janinnya. Satu kali insiden sudah cukup menjadi alarm baginya. Dan Davina tidak yakin apakah ia akan seberuntung itu di kesempatan lainnya.Di lain sisi, Edwin lah yang merasa begitu khawatir. Ia sangat takut sesuatu terjadi pada istrinya. Bagaimanapun juga, Davina akan menjalani operasi. Tidak peduli sekecil apapun itu, rasa sakitnya pasti akan tetap ada. Membayangkan wanita kesayangannya harus melalui semua itu membuat Edwin benar-benar tidak sanggup. Hatinya memang selalu lemah jika itu bersangkutan dengan seseorang yang ia cintai. Edwin selalu mencintai seorang waniita dengan sepenuh hatinya. Memberikan semuanya tanpa terkecuali.Karena i
Brankar yang ditempati Davina didorong dengan begitu cepat oleh beberapa perawat. Dalam sekejap, lima orang itu melesat masuk ke dalam Instalasi Gawat Darurat. Edwin ikut di belakangnya sembari menggandeng Clay, namun langkahnya dihentikan oleh perawat yang bertugas untuk menjaga ruangan itu.“Bapak tunggu disini saja. Biarkan dokter memeriksa ibu Davina terlebih dahulu. Dan anak kecil tidak diperkenankan masuk ke dalam IGD, Pak.” Jelas gadis muda itu dengan sopan.Edwin mengangguk. Ia terkulai lemas di kursi tunggu sementara tangis puteranya juga tak kunjung reda. Kepalanya terasa mau pecah dengan semua hal yang terjadi berbarengan. Ia meraih ponselnya dan menghubungi supir pribadinya.“Tolong jemput Clay di rumah sakit Pondok Gede, Pak.” Titahnya singkat.Tak perlu waktu lama bagi orang kepercayaan Edwin untuk tiba disana. Dua puluh menit berselang, supir pribadinya tiba dan berlari begitu cepat menghampiri Edwin.“Ada apa, Pak? Dimana Ibu?” tanyanya bingung saat mendapati hanya ada
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen