Laura mendekati Riana dan duduk di sampingnya. Dia memeluk Riana sambil ikut menangis mengabaikan Joe yang darahnya masih bercucuran.Mental Riana lebih penting dari pada luka di dahi Joe terlebih Riana dalam keadaan hamil yang moodnya sudah pasti naik turun.Laura tahu Riana sangat terkejut mengetahui rahasia besar ini tapi sekali lagi Laura sangat mendukung pola pikir Joe yang tak peduli anak siapa dalam rahim Riana karena dia tulus mencintai wanita ini sejak mereka masih kuliah dulu.“Maafkan Papanya anak-anak sudah melukaimu,” ucap Laura tulus setelah mengurai pelukannya.Riana masih menangis karena tak tahu aibnya ternyata sudah diketahui oleh Joe dan David, tapi tetap saja dia tak rela berbagi suami dengan wanita lain.Lalu pelayan masuk ke dalam kamar itu untuk meminta Joe ke ruang tamu karena dokter sudah datang. Sebagian pelayan datang membersihkan pecahan kaca, laura memberikan susu ibu hamil untuk Riana yang barusan kembali dibawakan sang kepala pelayan.Setelah ruangan it
“Bi, saya titip mereka berdua ya.”Laura berujar pada sang kepala pelayan, dia memutuskan untuk menjemput kedua anaknya dan membawa mereka makan di restoran bersama sang papa seperti yang barusan David bilang melalui pesan singkat.David sudah membatalkan semua kegiatannya hari ini karena biar bagaimanapun dia kepikiran atas masalah Joe, pria yang selama ini selalu pasang badan untuk David.David merasa sangat bersalah karena secara tidak langsung kembali melukai perasaan Joe dengan mengingat pria itu tentang anak tak berdosa yang ada di rahim Riana.“Baik Nyonya. Anda membawa mobil sendiri?” tanya sang pelayan.“Tidak Bi, nanti dijemput sopirnya anak-anak. Oh iya kami makan siang di luar ya Bi.”Laura tidak ingin pelayan di rumahnya sibuk menyiapkan makanan sedang dirinya akan memilih untuk makan di restoran langganan Dita dan Dika.“Baik Nyonya,” jawabnya Lagi.Laura pun berpamitan untuk segera bersiap-siap. hatinya lelah dengan masalah yang ada belum lagi dia harus bicara banyak de
“Alex,” sapa Laura.Laura dan si kembar terkejut melihat Alex di rumahnya tanpa memberitahu kalau pria itu akan datang.“Papa Alex.”Si kembar berlari dan memeluk Alex yang sudah berjongkok sambil merentangkan tangannya. “Kangen Papa tauuuk,” Dita mulai memanyunkan bibirnya.Sudah lama rasanya Alex tak pernah mengunjungi keduanya membuat Dita dan Dika sangat merindukan pria tersebut.Mereka bercengkrama sebentar sembari menunggu Laura berganti pakaian. Setelah sang mama kembali dengan pakaian rumahan Laura meminta Dita dan Dika untuk tidur siang.“Janji ya Papa Alex jangan pulang dulu,” pinta Dika.“Iya janji. Papa Alex mau nginep kok di sini,” sahut Alex.“Benarkah Papa?”Dita sangat bahagia, mereka benar-benar merindukan pria tersebut.“Benar dong sayang.”Laura pun meminta kedua anaknya naik ke lantai atas, karena jam tidur siang sudah lewat.Laura mengajak Alex menuju ruang keluarga setelah meminta pelayan untuk menyiapkan minuman untuk mereka.“Kamu kenapa Lex?” tanya Laura.Ale
"Kedatanganku ke mari adalah untuk menjemputmu pergi ke West Country.”Laura terdiam mendengar ucapan David–pria keturunan West Country yang mengaku sebagai adik angkat almarhum ayahnya.Gadis 21 tahun itu mencoba memproses semua informasi yang sedang terjadi.Baru saja, desanya terkena gempa dan tsunami yang menewaskan hampir seluruh warga, termasuk orang tuanya.Laura termasuk beruntung bisa selamat dari bencana itu karena sedang menempuh semester satu di perguruan tinggi di Sun City–setelah dua tahun mengumpulkan uang sebagai pegawai minimarket.Bila harus pergi kala tanah kuburan mereka masih basah, rasanya sungguh sulit meskipun sebenarnya Laura sudah tidak punya apa-apa lagi di sini.“Laura….” Seolah mengetahui kegelisahannya, seorang pria paruh baya yang merupakan sahabat baik ayahnya tiba-tiba berbicara, "Ikutlah dengan Mas Bule. Bapak yakin Ayahmu pasti bahagia bila kau bertemu dengan adik angkat yang selama ini dia rindukan. Takdir telah membawanya kembali di saat yang tepat.
"Di mana anak miskin itu?" tanya Monica pada sang kepala pelayan.Semenjak David dinas ke luar kota, wanita itu benar-benar memperlakukan Laura sewenang-wenang.Bahkan, beberapa pelayan menaruh simpati pada gadis muda tersebut."Baru saja saya suruh istirahat Nyonya, sepertinya Nona Laura sedang tak enak badan. Biarlah saya yang melanjutkan tugas ini Nyonya," jawab bawahannya itu."Jangan panggil dia dengan sebutan Nona! Panggil namanya saja, dia tak pantas diperlakukan baik di rumah ini! Panggil dia sekarang, dan suruh bersihkan guciku!" perintahnya lagi."Baik Nyonya."Sang kepala pelayan pun langsung ke kamar yang ditempati oleh Laura. Dia mengetuk pintu sebanyak tiga kali, tapi tak ada jawaban dari Laura.Wanita paruh baya itu pun akhirnya membuka pintu kamar Laura dan mendapati gadis malang itu sedang terlelap. Hatinya sangat terenyuh kala melihat Laura yang masih menyesuaikan diri di West Country–harus dipaksa untuk langsung melakukan pekerjaan pelayan.Andai saja Tuan David me
"Wah, pacar baru nih!" goda seorang pria yang kini menahan pintu mobil David agar sang pemilik tidak menutupnya."Minggir, Joe!" usir David kesal dengan bahasa Inggris. Ia tahu benar kalau sahabatnya itu juga datang ke kampus karena mengantar kekasihnya juga yang kuliah di sana. Hanya saja, David tak yakin sahabatnya yang playboy itu bisa setia pada satu wanita.Alih-alih, menuruti ucapan David. Joe justru menatap ke arah Laura yang saat ini sedang tersenyum ramah menyapanya–mengira pria itu adalah teman David.Bukankah sesama teman terkadang suka menjahili satu sama lain?"Siapa namamu, Nona manis?" tanya Joe sembari mengulurkan tangan pada Laura."Laura," jawabnya sambil membalas uluran tangan pria itu.David langsung menghentikan jabatan tangan keduanya. “Enyahlah!”"Apaan sih? Belum juga kenalan," jawab Joe kesal, "Oh, iya. Namaku Joe, sahabat baik calon suamimu ini." Mendengar Joe mengiranya sebagai calon istri David, mata Laura seketika membulat penuh. “Hah?” ucapnya tanpa sad
Setelah menempuh perjalanan selama kurang lebih 9 jam, kini Laura dan David sudah tiba di Bandara Internasional yang ada di Victoire.Keduanya hanya membawa dua koper berukuran kecil–sesuai dengan perintah David.Dalam diam, Laura sedang mengucap syukur. Mengunjungi kota ini adalah impian terbesar Laura sejak dulu. Dia ingin sekali mengunjungi Victoire. Dulu, ketika dia masih berada di kampung, impian ini seakan tidak akan pernah terwujud."Kita langsung ke hotel dulu, ya. Sebaiknya, istirahat dulu sekarang. Jalan-jalannya, nanti saja," ajak David–menyadarkan Laura dari lamunannya.Gadis itu pun mengangguk.Tak lama, keduanya tiba di hotel. David segera melakukan check in–lalu menuju ke dalam kamar.Klik!Pintu kamar presidential suite terpampang jelas di hadapan Laura.Gadis itu seketika membeku ketika tersadar sesuatu."Ayo masuk, kenapa kamu diam di depan pintu?" tanya David."Apa kita akan tidur satu kamar Om?" tanya Laura menatap curiga. Biar bagaimanapun, dirinya sudah masuk
Hari berganti minggu.Minggu berganti bulan. Hubungan Laura dan David semakin baik. Pria itu memperlakukan Laura bak permaisurinya.Segala hal tentang Laura adalah prioritasnya. Laura pun sudah mengubah panggilannya menjadi sayang–bila mereka hanya berdua saja.Bahkan, mereka punya cincin yang sama yang sengaja ditaruh di dalam dompet masing-masing. David juga membeli kalung emas putih yang liontin itu bila disatukan akan membentuk tanda jantung dan di dalamnya terukir nama mereka berdua. Liontin itu pasangannya dan tidak bisa dipasangkan dengan liontin lain yang sejenis. Tepat pukul 22.00 waktu New Capitol, David tiba di kediamannya. Ia langsung mencari Laura. Pucuk dicinta ulam pun tiba. Laura ada di dapur sedang mengambil air minum."Sayaaaaaang," panggil David pelan sambil memeluk Laura dari belakang. Sontak Laura kaget dan menjauhkan tubuhnya dari David."Kalau ada yang lihat bagaimana?" tanya Laura berbisik."Mama pasti sudah di dalam kamar sayang, pelayan juga sudah isti