Share

8. Berniat untuk Ibadah

-tekadku-

          Kini pada akhirnya kuharus pulang sendiri usai memarahi Aisy, yang baru saja menikmati waktu malamnya beserta teman-temannya yang tidak benar. Dalam perjalanan pulang kali ini, aku mulai mengeluh dan juga sedikit menangis meratapi apa yang sudah Aisy lakukan. Dalam hati, aku benar-benar bingung, mengapa Aisy bisa seperti ini perilakunya, tak seperti dulu sebagaimana Aisy yang pernah aku kenal. Kubenar-benar sangat prihatin sekali, aku merasa bahwa Aisy sudah terjebak dalam sebuah pergaulan yang sangat membahayakan dirinya. Entah sudah berapa lamakah Aisy seperti ini.

           “Ya Allah semoga tidak sampai terjadi apa-apa dengan Aisy ke depannya.” Batinku.

          Saat diriku sudah tiba di rumah, kumulai terduduk dan hanya diam. Kumulai berpikir dengan cukup cermat, mengenai apa yang harus kulakukan nantinya setelah mengetahui perilaku Aisy yang seperti ini. Dan satu hal yang pasti kulakukan adalah, aku akan merahasiakan tentang kelakuan apa yang sudah Aisy lakukan, karena ku tak ingin kedua orang tuanya tahu bahwa Aisy sudah keblabasan dalam bergaul. Waktu sudah mendekati tengah malam, lebih baik segera kutunaikan ibadah shalat sebelum diriku tertidur, apa yang akan kulakukan di malam ini tiada lain adalah mendoakan kebaikan bapak di alam kubur, selain itu kujuga turut mendoakan secara khusus pada diri Aisy agar dirinya bisa diberikan hidayah oleh Allah, sehingga dia bisa kembali menjalani hari-hari yang penuh dengan kebaikan.

          Aku mulai tertidur setelah baru saja melaksanakan shalat, lalu aku terbangun di jam tiga pagi. Sudah menjadi rutinitas untukku dalam melaksanakan shalat di sepertiga malam terakhir. Dan di malam inilah kucoba untuk melakukan shalat Istikharah, berharap akan datang suatu petunjuk dari Allah mengenai rencana yang akan aku lakukan selanjutnya, termasuk rencana untuk melamar Aisy.

-curhatku-

          Saat pagi hari telah tiba, aku mulai terdiam. Bahwasanya diriku telah memiliki rencana untuk membimbing Aisy. Aku sadar jika kelakuan serta pergaulannya memang di luar batas, namun hal tersebut tak menggugurkan semangatku untuk bisa mendapatkan hatinya.

           “Aldi.” Ucap ibu.

           “Iya buk,” jawabku.

           “Kenapa kamu daritadi ibuk lihatin kok selalu diam saja. Ada masalah apa nak?” tanya ibu.

           “Emmm, enggak apa-apa kok buk.” Jawabku.

           “Udah nggak usah disembunyiin nak, cerita sama ibu. Pasti akan ibuk bantu.” Desaknya.

           “Hemmm, iya buk. Sebenarnya Aldi sudah berniat untuk menikahi seseorang. Aldi ingin, ibuk nanti sore bisa anterin Aldi ketemu sama orang tuanya.” Pintaku.

           “Ohhh begitu. Memangnya kamu ingin melamar siapa nak?” tanya ibu.

           “Sama Aisy buk. Aldi sudah benar-benar sangat mencintai dia dari dulu.” Jawabku.

           “Ohh Aisy teman kamu waktu SD itu kah? Kalau ibuk sih ya merestui jika Aisy benar-benar wanita yang baik dan bisa membahagiakanmu. Tapi apakah Aisy juga mencintai kamu nak?” tanya ibu kembali.

           “Sudahlah. Nanti ibuk juga akan tahu sendiri. Maaf untuk saat ini Aldi belum bisa menceritakan banyak soal Aisy buk. Karena yang pasti, Aldi hanyalah berniat untuk menyempurnakan ibadah.” Terangku.

           “Ya sudah jika memang itu sudah menjadi kemauan kamu. Insya Allah sore ini ibuk bisa antar kamu nak, untuk menemui orang tuanya.” Imbuh ibu.

           “Iya buk. Terima kasih.” Jawabku kembali.

          Apapun yang terjadi, aku harus siap untuk menikahi Aisy, karena hanya itulah satu-satunya cara agar aku bisa mendidiknya ke jalan yang baik. Demi Allah, aku benar-benar sangat mencintai Aisy sejak lama, dan aku sudah benar-benar sudah memiliki tekad yang kuat untuk bisa meminangnya. Kutak bisa terus-terusan diam dalam menyimpan rasa yang begitu sesak di dada, karena kuyakin jika hanya Aisylah satu-satunya kebahagiaanku, aku akan tetap menyayanginya meski dirinya mulai membenciku.

          Waktu di sore hari mulai tiba. Jam telah menunjukkan di angka tiga dan suara adzan mulai berkumandang. Aku dan ibu segera menunaikan shalat Ashar berjamaah. Segala doa sudah pasti aku panjatkan agar di waktu sore ini bisa diberi kelancaran, di mana ku telah berencana menemui kedua orang tua Aisy bersama ibu. Usai mandi, kusegera mempersiapkan diri, begitu juga dengan ibu. Aku dan ibu segera menaiki motor dan mulai melaju dengan kecepatan sedang.

-melamarnya-

          Dalam perjalanan ini, aku mulai menikmati suasana dengan cuaca yang penuh dengan kesejukkan. Sambil menikmati waktu di perjalanan, ku mulai ngobrol dengan ibu di atas dua roda ini, baik itu soal bapak maupun soal Aisy. Dalam waktu tidak sampai tiga puluh menit, kini ku telah tiba di rumahnya. Tapi sayangnya, kulihat mobil Aisy tidak ada, sudah pasti dia sedang keluar rumah. Ya sudahlah tidak masalah, yang penting diriku bisa bertemu dengan kedua orang tuanya.

          Tok tok tok.

           “Assalamualaikum.” Ucapku sambil mengetuk pintu.

           “Walaikum salam. Ehh nak Aldi, mari silahkan masuk.” Jawab beliau.

           Aku dan ibu segera duduk, begitu juga dengan kedua orang tuanya.

           “Alhamdulillah, kok tumben ibunya diajak ke sini juga.” Gumam beliau.

           “Iya buk, karena ada satu hal penting yang ingin Aldi bicarakan.” Jawabku.

           “Ohh begitu, ya sudah mari.” Ucap beliau kembali sambil menyuguhkan secangkir teh.

           “Aisy belum pulang buk?” tanyaku dengan iseng.

           “Emm, iya belum. Katanya sih tadi bilangnya keluar sebentar, tapi insya Allah sebentar lagi juga pulang nak.” Jawabnya.

           “Emmm, iya buk. Jadi kedatangan kami berdua bukanlah kebetulan atau hanya sekedar menjalin silaturahmi. Tapi kedatangan kami di sini, hanyalah ingin mengatakan satu hal yang perlu untuk bapak dan juga ibuk tahu.” Terangku.

           “Ohh begitu, memangnya nak Aldi mau ngomong apa silakan saja.” Pinta beliau kembali.

          Ingin segera kuutarakan mengenai apa yang ingin aku sampaikan pada beliau, namun entah kenapa hati ini merasa sangat gugup. Entahlah, kenapa harus malu-malu, lagipula niatku juga sangat baik.

           “Emm, jadi begini pak, buk. Mungkin bapak dan ibuk sudah mengenal saya sejak lama, di saat saya dan Aisy pernah satu sekolah di SD. Bahwasanya kami datang ke sini, berniat untuk menyempurnakan ibadah, yaitu ingin melamar anak ibuk.” Terangku.

           “Ohhh begitu, memangnya kamu sudah memiliki keyakinan kuat dan sanggup untuk memperistri anak saya.” Tanya ayahnya Aisy.

           “Iya insya Allah sanggup bapak, karena saya pribadi sudah benar-benar merasa cocok bersama anak bapak.” Jawabku.

           “Hemm, iya sih ibuk juga tidak melarang jika memang kalian berjodoh. Namun, ada satu hal yang menurut ibuk masih terasa berat untuk melepaskan Aisy kepadamu nak Aldi.” Curhatnya.

           “Berat bagaimana ya buk, insya Allah saya bisa kok menerima segala kekurangan Aisy, karena kami berdua sudah benar-benar saling menyayangi.” Tukasku.

           “Iya ibuk tahu, tetapi bukan itu masalahnya bagi kami nak.” Keluh beliau.

           “Terus, masalahnya di mana kalau boleh tahu buk, insya Allah Aldi bisa bantu.” Jawabku.

           “Begini nak Aldi, kalau ibuk perhatikan, kamu memanglah anak yang baik. Memiliki akhlak yang bagus, santun, serta kamu juga seorang ustadz. Sementara kamu tahu sendiri kan kelakukan Aisy sekarang bagaimana, hidupnya mulai jauh dari nilai-nilai agama. Jadi apakah nak Aldi yakin mau melamar Aisy dengan kondisi yang seperti ini.” keluh beliau dengan cukup sedih.

           “Hemmm, justru itu buk. Apa yang ingin Aldi lakukan terhadapnya, tidak lain hanyalah ingin mendidiknya. Agar Aisy bisa menjadi wanita yang baik, salehah, dan taat terhadap ibuk dan juga bapak. Insya Allah buk, Aldi yakin bisa mendidiknya dengan baik.” Terangku kembali.

           “Masya Allah, kamu benar-benar anak yang saleh nak Aldi. Tapi ibuk benar-benar kurang yakin jika Aisy bisa berubah, hati Aisy itu udah sekeras batu nak. Ibuk takut jika nanti kamu terlanjur kecewa.” Tukasnya.

           “Ssssttttt. Ibuk nggak boleh ngomong begitu, karena Aisy kan juga satu-satunya anak ibuk. Aldi berjanji buk, Aldi akan terus bekerja keras untuk membina Aisy dengan baik, percaya sama Aldi ya buk.” Pintaku dengan lembut.

           “Alhamdulillah. Insya Allah kami selaku orang tua sudah merestui hubungan kalian. Tapi soal diterima atau tidaknya lamaran ini semuanya ibuk serahkan sama Aisy ya. Jika memang Aisy menerima lamaran kamu, kami turut sudi.” Jawab beliau.

          Aku dan beliau beserta ibuku kembali berbincang-bincang dan ngobrol untuk menjalin keakraban. Sesuatu yang tak terduga mulai terjadi, tanpa ada ucapan salam, tiba-tiba Aisy datang mendadak. Dengan spontan, ibunya memanggilnya.

           “Aisy …” panggil ibu dan menghampirinya.

           “Ada apa buk, kenapa dia bisa datang ke sini.” Jawabnya dengan nada yang kurang sopan.

           “Udah nanti kamu akan tahu sendiri, ayo kita duduk dulu di sana, sebentar aja kok.” Pintanya.

          Lalu Aisy dan juga ibunya mulai terduduk di tengah-tengah orang tuanya dan menghadapku.

           “Ada apa sih ini buk?” tanya Aisy kembali.

           “Emmm, jadi begini nak. Kedatangan Aldi kesini memiliki niat yang sangat baik, kalian tahu sendiri kan kalau kalian berdua sudah berteman sejak lama …” terang ibunya.

           “Aduhh stop stop, berbelit-belit ahhh. Ada apa sih ini buk.” Bantah Aisy yang membuat ibuku sedikit menggelengkan kepalanya.

           “Iya Aisy, jadi kedatangan Aldi ke sini berniat untuk melamar kamu nak.” Terang ibunya dengan penuh gugup.

           “Apa??? Melamar aku.” Sontak Aisy dengan amarahnya.

          Brrruuuaakkk. Tangannya menggebrak meja dan berdiri menghadapku.

           “Hey Aldi. Jangan mentang-mentang kamu terlihat sok baik pada ibuku lalu dengan entengnya kamu mau melamar aku ya.” Tegas Aisy padaku.

           “Aisy, Aldi kan berniat baik untuk masa depanmu nak.” Sahut ibunya.

           “Masa depan apa? Dengar ya buk. Sampai kapanpun Aisy tidak kan pernah sudi nikah sama cowok yang kere kayak dia.” Ucap Aisy.

           “Aisy cukup, kamu jadi anak nggak tahu sopan santun ya, apa kayak gini didikan bapak ibuk sejak kamu kecil.” Bentak bapaknya pada Aisy.

           “Ahhh udah ahhh. Bisa-bisa aku tambah stress di sini.” Bantah Aisy dengan keras, lalu pergi menuju kamarnya dan menutup pintunya dengan keras, bruuaakkk.

           “Maafin anak kami ya nak Aldi, ibuk.” Ucap ibunya.

           “Iya buk nggak apa-apa, seharusnya kami berdua yang meminta maaf, karena kita datang di waktu yang belum tepat.” Jawabku.

           “Iya sekali lagi kami minta maaf ya nak, Aisy dari dulu memang seperti itu.” Imbuh beliau.

           “Iya buk sudah nggak usah dipikirin. Kami berdua pamit pulang dulu yaa, Assalamualaikum.” Ucapku.

           “Walaikum salam, hati-hati nak.” Jawab beliau kembali.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status