Share

9. Selalu Saja Salah

-pertikaian-

          Aku segera mengambil motor yang telah terparkir di teras rumah Aisy, di mana pada sore hari ini, aku dan ibu akan pulang dengan tangan hampa serta rasa yang penuh dengan kekecewaan. Saat dalam perjalanan pulang, ibu hanya diam saja dengan wajah yang sedikit cemberut terhadapku, aku berfirasat bisa jadi ibu merasa kecewa karena tidak habis pikir setelah melihat kelakuan Aisy yang terbilang kasar pada orang tuanya. Dalam hati aku mulai menyadari sepenuhnya bahwa memang sekarang bukanlah saat yang tepat bagiku untuk mengenalkan Aisy pada ibu. Namun entah bagaimana lagi sedangkan aku ingin ibu bisa cepat merestui diriku yang ingin menjalin hubungan serius dengan Aisy.

          Dan kini aku dan ibu telah sampai di depan rumah, rasa malu dan tenggang rasa sudah pasti ada dalam hatiku. Betapa tidak, bahwa kelakuan Aisy barusan benar-benar telah membuat malu pada orang tuanya, bahkan ibuku sendiri pun juga menyaksikannya. Kubenar-benar bingung tak tahu lagi harus bagaimana, namun yang pasti aku tidak bisa diam jika memang aku memiliki rasa yang begitu besar terhadap Aisy. Kumerasa, mungkin Allah sudah mulai mengujiku hingga ku harus menanggung malu dihadapan orang tuanya. Saat aku baru saja membuka pintu rumah, tanpa ada banyak waktu ibu mulai menegurku.

           “Pokoknya ibu tidak bisa seperti ini Aldi, ibuk nggak bisa harus merestui hubungan kamu.” Ucap ibuku.

           “Ibuk. Ibuk tenang dulu yaa, Aisy itu anaknya sebenarnya baik kok.” Jawabku.

           “Baik apanya. Jelas-jelas dari kata-katanya sudah bisa ibu lihat, begitu berani dan kasarnya sama orang tua sendiri, nggak ada sopan santunnya.” Bantah ibu.

           “Nggak buk, Aldi yakin mungkin Aisy hanya khilaf.” Tukasku.

           “Pokoknya tidak bisa Aldi. Ibuk malu punya menantu kayak dia. Bagaimana dengan nasib kamu nantinya.” Bantah ibu kembali.

          “Ya sudah ibuk tenangkan pikiran dulu yaa. Aisy itu tak seburuk dari apa yang ibu bayangin kok. Percaya sama Aldi ya buk, Aldi janji pasti akan memberikan yang terbaik buat calon menantu ibuk.” Imbuhku.

          “Ahhh kamu ini, ada aja alasannya kalau mau ngeles.” Jawab ibu kembali.

          Aku pun kembali terdiam, karena aku tak ingin ada perdebatan dengan ibu hanya karena gara-gara sikap Aisy. Akan tetapi aku tak ingin berhenti di sini saja, cepat atau lambat aku harus bisa melakukan suatu cara demi bisa meyakinkan ibu. Entah bagaimanapun caranya kuharus bisa membuktikan yang terbaik buat ibu.

          Suara adzan pun mulai berkumandang, saatnya diri ini beranjak menjalankan kewajiban shalat. Insya Allah, dalam shalat yang kulakukan, mulai sekarang dan seterusnya sudah pasti aku akan mendoakan demi kebaikan diriku dan juga ibu. Selain itu kujuga pasti berdoa agar Allah SWT berkehendak dalam memberikan yang terbaik pada diri Aisy. Insya Allah dengan doa yang selalu terpanjatkan, kuyakin Allah pasti bisa mengabulkan doaku.

          Saat waktu di malam hari mulai tiba, kumulai terduduk sendiri. Ku hanya terdiam sambil memandangi bintang-bintang di langit. Dalam diam ini hati kecilku seakan berkata, bahwa sebenarnya aku memiliki sebuah harapan untuk bisa mendapatkan Aisy, yang akan kujadikan sebagai istriku. Apa yang telah kuharapkan, tidak lain hanyalah karena aku ingin memberikan pendidikan yang baik pada dirinya, kuingin merubah karakternya menjadi wanita yang salehah, yang selalu taat pada suami, orang tua dan juga rajin beribadah. Kusadar jika harapanku ini cukup berat, namun takdir Allah tiada yang tidak mungkin.

          Mungkinkah aku harus menunggu suatu keajaiban agar Allah bisa mengabulkan doaku. Jujur dan demi Allah aku masih mencintai Aisy, meski terkadang dirinya masih belum memahami. Ingin sekali kudapat membuktikan bahwa diriku benar-benar memiliki rasa yang sangat dalam untuknya, dan aku takkan pernah menyerah dan putus asa, karena sampai kapanpun aku akan selalu berdoa agar dirinya bisa mengerti.

          Kumulai tertidur di atas tempat tidurku ini, tidak ada hal lain yang bisa kubayangkan selain canda, tawa serta senyuman manis yang ada pada dirinya. Jika harus mengingat akan masa lalu itu, tak pernah sedikitpun kumelihat suatu kesedihan yang ada pada dirinya, karena baginya, aku adalah sosok sang penghibur yang selalu ada di saat dia gundah, dan selalu ada di saat kita sengsara.

          Kini pada akhirnya ibu mulai tahu dan mengerti akan sifat Aisy yang mulai berubah, tak seperti dulu di saat dia masih duduk di bangku SD. Walau hanya sedikit, ibu benar-benar mengenal betul sifat Aisy yang dulu-dulunya. Namun kini ibu mulai tak menyangka jika Aisy sudah benar-benar keterlaluan dalam menunjukkan sikapnya. Hal inilah yang membuat diri ibu mulai ragu akan doa restu yang akan diberikannya untukku.

          Aku masih terdiam dan mulai bingung sendiri. Kutak tahu harus bagaimana jika semuanya sudah terlanjur terjadi. Mungkinkah aku bisa kembali meyakinkan ibu bahwa Aisy tak seburuk apa dari yang ibu bayangkan, karena kuyakin Aisy pasti khilaf, karena mungkin dia merasa kaget di mana diriku tiba-tiba datang di hadapannya walau dengan maksud baik untuk melamarnya.

-pelita hati-

          Karena Aisy adalah pelita hatiku, yang selalu memberikan arti dalam perjalanan hidup di saatku masih kecil. Kini masa-masa indah itu telah menjadi kenangan yang tak bisa kuwujudkan kembali. Yaa Allah, apakah aku bisa, kembali menjalani persahabatan dengannya, sebagaimana yang pernah kita berdua jalani dulu. Semua itu hanya Allah yang tahu, namun jika seandainya nanti harapanku ini belum bisa terwujudkan, mungkin karena Allah sudah memiliki rencana yang jauh lebih baik dari yang kukira.

         Aku mulai berjalan di atas jembatan ini. Sebuah jembatan yang membentang panjang sejauh mata memandang. Jutaan burung mulai terbang di atasku, lalu berkicau dengan suara yang sangat indah. Kumulai berhenti, dan kucoba untuk memandangi satu pulau di depanku, kucoba untuk mengamati ternyata di sana ada sebuah telaga yang terhiasi oleh air terjun. Tak lama setelah ku memandanginya, kulihat ada sesosok perempuan yang mulai merendamkan kakinya dalam dinginnya air yang tenang. Kurasa itu bukanlah perempuan biasa, karena dia memiliki sepasang sayap yang sangat indah. Atas hal itu, kucoba untuk menghampirinya dengan berlari, pelarianku tidaklah sendiri, melainkan ditemani oleh seekor burung bangau yang kebetulan juga terbang di sampingku.

          Aku telah tiba di pulau ini, namun cuaca mulai menghadirkan sejuta kabut, sehingga tak lagi tampak sosok perempuan yang kulihat dari kejauhan tadi. Kumulai berjalan, menapaki jalanan yang penuh akan daun kering usai berguguran, tidak lain hanyalah ingin mencari sosok perempuan itu kembali, namun setelah diriku mencoba mengelilingi pulau ini, ternyata sampai sekarang belum kutemukan juga. Ku berpikir, mungkin perempuan tersebut sudah pergi dan terbang tinggi dengan menggunakan sayapnya. Aku pun terduduk, dan saat itulah kumulai terlelah hingga tak sadar mata ini terpejam lalu terbaring di atas pangkuan batu.

          Allahu Akbar Allahu Akbar. Suara adzan mulai terdengar keras dan saling bersahutan dari tiap penjuru. Kumulai terbangun lalu kubuka kedua mata ini, ternyata diriku baru saja tertidur usai mengerjakan semua tugas-tugas siswa di sekolah. Sejenak ku berdiam diri, tak ada hal lagi yang bisa kupikirkan kecuali mimpi yang baru saja kualami dalam tidur yang hanya sejenak, di mana jiwa dan raga ini telah hadir dalam sebuah peristiwa indah walau hanya sebatas mimpi. Telah kutemukan seorang bidadari cantik, bermata jeli dan memiliki sayap yang indah dalam mimpi itu, kucoba untuk meraihnya, namun dia tiba-tiba menghilang begitu saja. Kucoba untuk menunggu, namun pada akhirnya ku tertidur dan kembali terbangun dalam dunia ini.

          Dan saat itulah kumulai berpikir sejenak, bahwa suatu keindahan, takkan mungkin bisa kugapai dengan tangan kosong, kecuali dengan adanya doa yang selalu terpanjatkan di setiap waktu. Begitu juga dengan apa yang saat ini aku alami. Kuakui jika diriku memiliki suatu harapan untuk bisa menjadikan Aisy sebagai teman hidupku. Ku tidak peduli dengan sikap serta karakter yang saat ini dia alami, walaupun sebenarnya masih banyak perempuan yang bisa kupilih.

          Namun hatiku telah berkehendak lain, bahwa diriku memilih Aisy untuk bisa kujadikan istri yang sah untukku. Telah banyak suatu derita besar yang pernah kurasakan, baik di saatku masih memiliki rasa untuk Rahma atau saat ini. Memang benar jika Aisy tak sebaik dengan Aisy dulu yang pernah kukenal, akan tetapi wajahnya selalu kurindukan. Karena kebahagiaanku bersama dia saat masih SD masih teringat betul dalam pikiran ini, maka dari itu kuingin bisa kembali mewujudkan kebahagiaan itu entah bagaimanapun caranya.

-doa ibu-

          Aku tak mampu membiarkan hal itu hilang begitu saja, sebisa mungkin kuharus tetap mencoba tanpa kenal putus asa. Mungkin dalam beberapa waktu ke depan, kuakan kembali berpikir, untuk bisa menemukan satu cara agar kubisa membangun persahabatan yang pernah kita bangun. Dan aku takkan pernah berhenti di situ saja, selama nafas ini masih berdesah.

          Di waktu sore ini, aku kembali berjalan menuju rumah usai mengajar. Dan dalam perjalanan inilah, aku kembali berpikir, untuk bisa mencari kata demi kata yang akan kulontarkan terhadap ibu. Kumenyadari sepenuh hati jika dengan adanya doa dari sang ibu, harapanku bisa terwujudkan. Yang pasti diriku tiada maksud untuk berdebat, melainkan hanyalah meminta agar ibu bisa kembali merestuiku jika diriku benar-benar memang mencintai Aisy.  Apapun akan kulakukan, demi bisa memberikan yang terbaik untuk ibu, karena yang selalu kunantikan hanyalah doa yang selalu ibu panjatkan untukku, dan juga untuk Aisy.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status