“Aakh,” rintih Rion sambil berusaha bangkit, tapi punggungnya begitu kaku.
Dengan ditopang oleh kedua tangan berototnya, perlahan-lahan dia mulai merangkak hingga membuat rambut panjangnya berjatuhan ke bahu dan dada. Rion berhenti dan menggenggam ujung rambutnya sendiri.
“Kenapa? Apa yang terjadi padaku?” Dia jumput dan periksa dengan seksama rambut hitamnya yang tiba-tiba berubah menjadi merah terang saat diterpa matahari.
Rion memandangi kedua telapak tangannya yang dipenuhi darah kering dan meraba-raba sekujur tubuhnya untuk memeriksa luka. Dia teringat pada pedang yang ditancapkan oleh pengemis tua itu ke punggungnya.
Pemuda itu segera meraba punggung dan tidak ada apa pun di sana. Dia meraba perut yang dalam ingatannya pedang itu menembus dari punggung hingga ke perut. Rion bahkan membuka kemejanya yang basah penuh darah hingga perut dan dada bidangnya terpampang.
“Tak ada bekas luka sama sekali di sana,” bisiknya.
Semua masih seperti sediakala. Namun, begitu Rion memeriksa tanah dan dedaunan tempatnya tertelungkup, juga kemeja dan mantel yang dikenakan koyak akibat tusukan pedang, serta terlihat genangan darah yang setengah mengering di sana, membuatnya yakin itu semua bukan mimpi. Sekali lagi, dia periksa rambutnya yang tiba-tiba berubah menjadi merah membuat Rion semakin kebingungan sekaligus ketakutan.
Rion teringat pada pria tua yang sudah menusuk dan meninggalkannya dengan pedang tertancap di punggung. Tapi, pedang itu sudah tak ada. Pria tua itu juga tak ada. “Apa dia pergi setelah mengira aku sudah mati? Kenapa dia ingin membunuhku? Kenapa ada banyak orang yang ingin aku mati? Siapa aku sebenarnya?”
Dari semak belukar muncul seekor singa jantan besar. Rion mematung dan menahan napas. Dia tak ingin mengusik singa itu.
“Sial!” umpatnya. “Apa yang harus aku lakukan? Apa dia melihatku? Apa dia akan menerkamku?”
Singa jantan dengan rambut lebat di sekitar wajah dan lehernya itu mulai berdiri. Rion mengintip dengan tubuh gemetar hebat. Dia tak tahan lagi untuk terus berdiam diri.
“Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus berpura-pura mati? Bagaimana kalau dia mengoyak tubuhku saat itu juga?”
Rion hanya mengikuti nalurinya untuk berlari menjauhi bahaya. Pemuda itu berlari bersamaan dengan melompatnya sang singa jantan dari semak-semak tempatnya muncul. Rion berlari dan terus berlari tanpa tahu harus pergi ke mana. Sang singa pun turut berlari dengan kecepatan yang luar biasa. Entakan kaki dan cakar-cakarnya terdengar berderap di permukaan tanah yang basah.
Rion sempat menoleh ke belakang dan tercengang. Dia tak mampu lagi berlari. Singa jantan itu melompat dan menerjang dadanya.
Buum!
Kedua kaki depan singa itu menghantam dada Rion hingga tulang rusuknya serasa ditekan dengan kuat. Beban kaki singa jantan itu seolah-olah menghentikan detak jantung Rion saat itu juga.
“Aku akan mati di tangan seekor singa jantan!”
“Berhenti bermain-main bocah sialan!” ujar suara perempuan.
Rion terkesiap. Dia mendengar suara perempuan itu. Saat dia melihat ke sekitar tak ada orang lain selain dirinya dan singa itu di sana.
“Hei, aku berbicara padamu! Kau pikir aku akan menerkammu?” ujar si singa.
Rion menganga. Matanya bertatapan dengan mata singa itu. “Ka-kau yang berbicara, Singa?”
“Ya! Kenapa kau malah bermain-main di sini? Bagaimana dengan tugasmu?” protes sang singa.
Rion masih tak percaya jika singa itu berbicara padanya dengan suara seorang perempuan. Dia yakin singa itu adalah jantan, tapi kenapa suara yang keluar adalah perempuan.
“Bagaimana bisa kau mati di tangan pengemis tua jembel itu? Jika aku tak datang tepat waktu, pengemis itu bisa saja memotong leher dan memisahkannya dari tubuhmu. Jika itu terjadi, maka selamanya kau akan mati!” keluh sang singa.
Rion sama sekali tak memahami situasi ini. Dia juga sama sekali tidak mengingat siapa dirinya, alasan keberadaannya di sana, dan ke mana tujuannya yang sebenarnya.
Singa itu menundukkan kepala di depan Rion. “Letakkan kepalamu di kepalaku!”
Meski ketakutan, Rion tetap melakukan demi membayar rasa ingin tahunya. Kepala mereka saling bersentuhan. Sebuah kilasan dan potongan gambar milik si singa berkelebat di kepala Rion.
“Apa ini?”
“Ini adalah kenanganku,” jawab sang singa, “Tugasku ada mengawalmu selama menjalankan misi untuk mencari tujuh Panglima Kalamantra. Sampai misi itu tercapai, maka aku harus menjagamu agar tetap hidup.”
Dalam potongan kenangan singa itu, Rion bisa melihat sebuah batu pipih berukir berbentuk lingkaran terpecah menjadi tujuh buah. Masing-masing potongan batu itu dimiliki oleh seseorang yang wajahnya tak bisa dia lihat. Tugas Rion adalah mengumpulkan kembali pemilik ketujuh batu itu untuk sebuah misi besar. Hanya itu yang dapat Rion tangkap dari memori singa itu.
“Batu apa ini?” tanya Rion sambil memegangi liontin di lehernya.
“Batu sihir Kalamantra!” jawab sang singa sambil lalu.
“Kenapa di dalam memorimu, aku tak bisa melihat wajah para pemilik batu sihir ini? Lalu, siapa aku? Kenapa aku harus mengemban misi ini? Dan kenapa mereka ingin aku mati?”
“Aku tak mempunyai jawaban atas semua itu. Tugasku hanya mengawal dan menjagamu sampai misi selesai!”
“Untuk menjawab semua misteri ini, aku harus menemukan mereka, tujuh Panglima Kalamantra?”
“Ya, karena itu bangkitlah dan ikut denganku. Kita cari mereka semua sampai dapat!”
Rion dan singanya sudah berkelana sekitar dua minggu. Hanya singa yang menjadi teman seperjalanan Rion. Saat ini mereka tiba di perbatasan hutan Kota Lamma.
Apa yang terjadi padanya di bawah jurang dua minggu yang lalu membuat pemuda itu ketakutan bahkan untuk bertemu manusia lain. Dia selalu menutupi rambutnya yang aneh dengan topi lebar dan mantel hitamnya.
“Kau telah mendapat kutukan sihir pancasona yang membuat rambutmu berubah warna. Rambutmu bisa saja berubah menjadi merah atau putih. Matamu juga memerah di saat tertentu,” tutur sang singa.
“Ini terlalu mencolok. Aku khawatir orang akan gampang mengenaliku.“
Mereka istirahat di sebuah lembah. Rion melihat di salah satu dahan sebuah pohon bertengger seekor elang yang kemarin mengawasinya.
Wooosss!
“Waspada!” teriak sang singa.
Elang itu terbang dan mendarat di lengan Rion. Pemuda itu kembali dibuat takjub. Tak pernah dia dapati seekor elang yang begitu jinak.
“Apa kau milik seseorang? Bulu-bulumu cantik sekali.”
“Hati-hatilah padanya,” gerutu sang singa yang tampak tidak terlalu suka pada elang itu.
Pada kaki elang itu terikat sebuah gulungan dari kulit. Saat Rion membukanya, gulungan itu berisi peta sebuah wilayah yang terasa familiar tapi tak mampu dia ingat.
“Aku harus pergi ke sana?” tanya Rion pada elang itu.
“Pergilah! Singamu akan menuntun jalan untukmu.”
Rion mundur dan terjatuh. Bahkan dia bisa mengerti ucapan seekor elang. Pemuda itu kembali menggigil dan menampar wajahnya beberapa kali untuk meyakinkan ini bukan mimpi.
“Singa!” teriak Rion ketakutan. “Siapa elang ini?”
“Entahlah.”
Kenapa aku lebih takut pada elang ini daripada singa itu? pikir Rion.
Singa jantan itu datang dan mendorong Rion agar naik ke punggungnya. Mereka melaju dengan kecepatan angin melintasi hutan-hutan dan kota yang ditinggalkan. Elang itu terbang tinggi di depan mereka. Barulah saat itu Rion sadar, elang itu bertugas memandu sang singa dalam mencari jalan.
Saat mereka tiba di perbatasan wilayah hutan dengan aliran sungai yang dangkal, Rion mendengar suara-suara.
“Berhenti!”
Sang singa pun berhenti. “Ada apa?”
“Kau tidak mendengarnya?”
Mereka terdiam beberapa saat.
“TOLONG!” teriak seseorang. Suaranya timbul tenggelam di kejauhan. “TOLONG AKU!”
“Ayaah!” teriak Lilian. “Di mana kauu...?”Di tengah-tengah lautan pertempuan antara klan kultivasi dengan pasukan mayat hidup itu, seorang pria tua dengan jenggot putih panjang tertatih mencari keberadaan putrinya.“Ayah!” teriak Lilian sekali lagi.Tuan Besar Zang mengikuti sumber suara sang putri. Dia berjalan mendekati arah Lilian berada meski di sekitarnya ada banyak sekali hujan anak panah, tebasan pedang, dan hunusan tombak. Dia berusaha mengindari mereka semua sebisa mungkin.“Ayah! Pergi dari sana!” Lilian panik seketika mendapati sang ayah mendekat dengan tubuh yang tak terlihat baik-baik saja.“Pandai sekali dia memainkan peran,” sengih Eknath begitu melihat Tuan Besar Zang muncul di sana meski sudah sangat terlambat.Sejumlah pasukan mayat hidup menyerang siapa saja yang masih menjadi manusia. Mereka semakin brutal. Tuan
Melihat kemunculan Lilian bersama pusaka mata naga membuat seluruh anggota klan kultivasi yang lain tertarik. Mereka tak lagi berpura-pura bergabung dalam pemberontakan untuk melawan klan Wan. Tujuan mereka sebenarnya adalah ingin merebut pusaka mata naga.“Aku... tak bisa bergerak.” Eknath terjatuh ke tanah.“Brengsek! Segel itu memakan energinya,” gumam Karuna yang berdiri di luar segel ciptaan Lilian.Traaang!Lilian mengayunkan lagi dawai kecapinya ke arah Eknath yang terjebak. Pria itu muntah darah akibat cambukan dawai iblis Lilian tepat ke pusat inti energinya.“Jangan sakiti dia!” teriak Karuna marah.Lilian berhenti memainkan kecapinya dan berdiri menatap mereka berdua. Dia ulurkan tangan ke depan dan menyerap seluruh energi yang terjerat di dalam segel. Warna merah segel memudar seiring dengan keluarnya energi gelap di dalam tubuh Eknath.
“Siapa pun tolong aku!”Para mayat hidup yang terdiri dari pasukan Wan berlarian memburu Tuan Muda Wan. Jumlah mereka semakin banyak. Tuan Muda Wan terus berlari tapi tak ada tempat perlindungan untuknya.“Akan aku bayar kalian dengan apa saja kalau bisa menyelamatkanku!” Pria itu sangat ketakutan sampai tak bisa lagi berlari.Napas Tuan Muda Wan terengah- engah. Ketakutannya tiba-tiba berbalik menjadi keberanian saat dia teringat pada sesuatu yang dia miliki. Pria itu merogoh baju dan mengeluarkan sebuah kantung khusus penyimpan pusaka.Para mayat hidup itu seketika terhenti begitu kantung di tangan Tuan Muda Wan terbuka segelnya. Tuan Muda Wan mengeluarkan sesuatu yang bercahaya dengan warna hitam pekat di dalamnya. Masing-masing benda yang keluar dari kantung melayang di permukaan tangannya dan bersatu membentuk sebuah bongkahan bola yang kehilangan satu bagian.“Pusaka
Perempuan itu berlari ketakutan. Dia mencari pertolongan pada siapa saja yang masih hidup di sana. Tapi, rumah mewah itu sangat lengang dan gelap. Di sepanjang dia berlari hanya menemukan mayat para penjaga yang ditempatkan Tuan Muda Wan di sana.Di kejauhan terdengar suara kecapi mengalun rendah dan merdu. Perempuan itu berhenti dan menegang seketika. Dia raba tengkuknya yang meremang.“Suara apa ini?” Matanya melotot lebar dan berputar-putar di lorong antara taman dan rumah utama.Suara kecapi itu semakin keras dan mendekat. Dia menatap ke langit yang mendung dan bulan purnama yang tertutup awan.Traaang!Gema kecapi tiba-tiba meninggi dengan kasar. Perempuan itu panik. Seiring dengan alunan kecapi yang menggila, di sekitarnya para mayat pasukan Wan yang bergelimpangan mulai bergerak-gerak. Mayat-mayat itu seperti boneka marionate yang digerakkan oleh benang tak kasatmata.Perem
Saat pengintai itu akan berbalik pergi, sebuah tombak meluncur di depan kakinya. Dia terduduk dan mundur dengan wajah pucat. Dari belakang, seorang pria menghunuskan pedang dari punggung menembus dada sang mata-mata.“Hah, kau mau memata-matai kami?” seringai pria yang berdiri di depannya sambil mencabut tombak yang sebelumnya dia lemparkan.Mata-mata dari klan Wan itu muntah darah dan mati seketika.Mereka terlambat, rekan sang mata-mata sudah melemparkan mantra ke langit untuk memberi tahu pasukan yang lain keberadaan para pemberontak di sana. Pria bertombak menghunus jantung sang pengirim pesan.Seluruh anggota pasukan pemberontak menyadari mantra yang terbang itu akan datang membawa pasukan klan Wan untuk menyerang markas mereka. Seluruh anggota pasukan pemberontak bersiap untuk menghadapi serangan.Di markas pusat klan Wan, Tuan Muda Wan terlihat gelisah dan ketakutan. Selama tiga malam
Karuna dan Eknath mendatangi permukiman terdekat. Mereka mengikuti sumber cahaya yang terlihat masih menyala di perbatasan kota.“Sepertinya di sini baik-baik saja....”“Ya, tampaknya mereka hanya menyasar markas pengawas klan Wan.”Saat melintas di salah satu gang permukiman warga, mereka mendengar sebuah keluarga tengah berbincang-bincang.“Sesuatu tengah terjadi di markas pengawas utara juga. Mereka semua menyelamatkan diri ke sini. Begitu yang aku dengar.”“Tak hanya di sana. Aku baru kembali dari timur. Aku lihat di sana juga kacau. Aku segera kembali dan urung melakukan perjalanan. Kata orang-orang semua markas klan Wan dikutuk oleh iblis jahat!”“Aku dengar yang melakukan adalah iblis dari Gunung Iblis! Mereka memburu pemilik pusaka mata naga. Siapa lagi kalau bukan klan Wan yang punya?”“Entahlah. Jika kau me