Mag-log inDi puncak kejayaannya, Sagara Wicaksana adalah mutiara Perguruan Banyu Langit, pewaris takhta yang tak tertandingi. Namun, dalam sekejap, surga itu runtuh. Ia dituduh membunuh gurunya sendiri dan dikhianati oleh sahabat yang paling ia percaya, Rangga Pradipta. Dibuang ke laut untuk mati, takdir justru menuntunnya pada Ki Jatmika—pendekar sakti yang telah lama menghilang dari dunia persilatan. Di bawah bimbingannya, Sagara mengasah diri, menelan pahitnya kesunyian, dan memupuk api dendam selama tujuh tahun. Kini, ia kembali dengan wajah baru. Satu per satu, mereka yang merenggut kehormatannya akan diburu tanpa ampun. Tujuh tahun lamanya kebencian membakar nadinya, dan kini saatnya dunia persilatan mengenal siapa dirinya yang sebenarnya. "Aku bukan Sagara yang dulu. Aku malapetaka, yang takkan berhenti sampai kalian binasa!"
view more“Guru Besar! Guru Besar!”
Teriakan seorang murid muda menggema di halaman padepokan, membuat semua orang yang sedang berkumpul langsung menoleh dan berlari mengikuti suara itu. Orang-orang berhamburan, langkah kaki mereka berat dipenuhi kecemasan dan ketakutan. Suasana hening malam seketika berubah menjadi gaduh. Saat mereka sampai di ruang Guru Besar, pandangan mereka tertuju pada sosok yang tergeletak di lantai kayu. Tubuh Guru Besar bersimbah darah segar yang mengalir deras dari luka di dadanya. Para murid yang melihatnya terdiam, napas mereka tersengal-sengal, jantung berdegup kencang. Tidak lama kemudian, para tetua perguruan datang, wajah mereka serius dan penuh kecemasan. Mereka mendekat dan memperhatikan luka sang Guru dengan seksama.Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekpresi. Mereka kaget setelah memperhatikan goresan luka yang ada di tubuh sang guru besar. Namun, detik selanjutnya wajah mereka berubah ekspresi. Mata para tetua melebar, napas mereka terhenti sejenak, dan raut wajah berubah menjadi serius hingga penuh kengerian. Salah satu tetua tertua mengerutkan kening, lalu membungkuk lebih dekat untuk mengamati luka dalam di dada sang Guru. “Ini... ini bukan luka biasa,” ucapnya dengan suara parau. “Goresan ini... pola tebasan dari jurus Harimau Merah.” Suasana menjadi hening, hanya suara desah murid-murid yang ketakutan yang terdengar. Jurus Harimau Merah adalah jurus andalan yang hanya dikuasai oleh satu murid di perguruan ini yaitu Sagara Wicaksana. Seketika, wajah-wajah murid pun teringat pada satu peristiwa— Sebelum hal tragis itu terjadi, di halaman utama Padepokan Banyu Langit dipenuhi sorak-sorai. Hari itu adalah latih tanding tahunan, ajang penting untuk menentukan siapa murid terbaik. Satu per satu murid maju ke gelanggang, menampilkan jurus terbaik mereka. Namun semua hening ketika nama Sagara Wicaksana dipanggil. Dengan langkah tenang, Sagara memasuki arena. Begitu aba-aba dimulai, gerakannya melesat laksana kilat. Setiap pukulan, setiap sabetan, begitu cepat dan tepat hingga lawannya roboh tanpa sempat membalas. Dalam sekejap, ia mengalahkan semua lawan yang maju. Para tetua mengangguk penuh kebanggaan, para murid menatap dengan kagum. Hari itu, tak ada lagi yang meragukan. Sagara Wicaksana adalah murid terbaik, calon pemimpin Padepokan Banyu Langit. Namun kini, hanya berselang waktu singkat, nama yang dulu dielu-elukan itu justru dipandang penuh curiga dan rasa tak percaya. Seorang tetua pun akhirnya bertanya dengan suara berat, “Sagara, apakah ini perbuatanmu?”” Sagara Wicaksana yang berdiri tak jauh dari situ, terkejut dan terpaku dengan tuduhan yang terlontar dari salah satu gurunya itu. Sejenak hening menyelimuti ruangan. Semua mata tertuju pada Sagara yang berdiri terpaku, wajahnya menunjukkan luka dan keterkejutan. Ia menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya. “Aku tidak melakukan ini,” suara Sagara bergetar namun penuh keyakinan. “Aku bersumpah, aku tidak pernah menyakiti Guru Besar. Aku tidak mungkin tega membunuh guru yang sangat aku hormati.” Rangga Pradipta melangkah maju dengan langkah pasti, tatapannya tajam menusuk ke arah Sagara. “Kau mungkin bilang tidak, tapi bukti tak pernah bohong. Jurus Harimau Merah itu hanya kau yang kuasai. Siapa lagi kalau bukan kau?” Sagara menggenggam tangan dengan erat, berusaha mengendalikan amarah yang mulai membara. “Kau tahu aku takkan pernah mengkhianati perguruan ini. Rangga, kau harus percaya padaku.” Namun, pembelaan diri Sagara sia-sia. Para tetua tidak bisa begitu saja percaya dengan pembelaan pemuda itu. Terlebih lagi setelah mereka semua melihat dengan jelas di tubuh guru besar ada luka bekas tebasan dari jurus Harimau Merah. Jenazah Guru Besar pun segera diangkat dari ruangnya, dikelilingi murid-murid yang masih tak percaya. Pelita-pelita dinyalakan, dan seluruh penghuni perguruan berkumpul di halaman utama untuk memberikan penghormatan terakhir. Isak tangis pecah ketika tubuh sang Guru Besar dimasukan ke dalam peti mati, lalu dimakamkan di puncak bukit belakang padepokan, tempat peristirahatan para leluhur. Sementara itu, Sagara Wicaksana digiring dengan tangan terikat. Ia tidak diperkenankan ikut, hanya bisa menyaksikan dari kejauhan dengan mata yang basah oleh amarah dan kesedihan. Seusai pemakaman, para tetua berkumpul di balairung utama. Obor-obor menyala di dinding, menciptakan bayangan panjang yang bergetar di antara pilar kayu jati. Balairung perguruan sunyi ketika Saka dihadapkan ke tengah ruangan. Tangan dan kakinya terbelenggu rantai besi, wajahnya lebam namun matanya tetap menyala penuh perlawanan. “Guru Besar tewas dengan luka goresan Jurus Harimau Merah,” ucap salah satu tetua dengan suara berat. “Kita semua tahu hanya kau yang menguasai jurus itu, Sagara. Lantas apa lagi yang bisa kau katakan untuk membela dirimu?” Saka menggertakkan gigi. “Aku tidak membunuh Guru Besar! Aku memang menguasai Jurus Harimau Merah, tapi aku tak pernah sekalipun menghunuskannya pada beliau. Demi langit dan bumi, jurus itu diajarkan untuk melindungi, bukan untuk menusukkan pengkhianatan ke dada guru sendiri!” “Cukup!” suara Rangga memotong kasar. Pemuda itu berdiri di samping para tetua, sorot matanya menusuk penuh kebencian. Rangga bukan sekadar murid biasa. Ia adalah putra dari almarhum Raden Surya, salah satu pendiri padepokan sekaligus saudara seperguruan Guru Besar. Karena darah keturunan itu, setiap kata Rangga kerap dipandang sebagai suara kehormatan keluarga pendiri. Tetua tertua, Ki Jayanegara, sempat mengangkat tangannya, menenangkan suasana. “Hendaknya kita jangan gegabah. Saka memang dituduh, tapi masih ada kemungkinan ia dijebak. Demi keadilan, sebaiknya kita beri dia waktu untuk membuktikan kebenarannya.” Beberapa murid di belakang mulai berbisik. Wajah mereka ragu, sebagian marah, sebagian bingung. Namun Rangga segera melangkah maju, suaranya lantang bagai petir. “Tidak! Setiap penjahat selalu bersembunyi di balik alasan. Guru Besar telah mati! Apakah kita akan terlihat lemah di hadapan dunia, karena tidak mampu menghukum seorang pembunuh yang nyata-nyata ada di depan kita?” Ia mengibaskan tangannya dramatis, menunjuk langsung ke arah Saka. “Lihat dia! Bahkan di hadapan para tetua, tatapannya masih penuh durhaka. Jika sekarang kita membiarkannya hidup, besok perguruan ini akan ditertawakan sebagai sarang pengkhianat!” Sorakan meledak dari para murid. “Benar! Hukum dia! Jangan beri ampun!” Riuh rendah itu bergema, memenuhi balairung. Tapi tak semua setuju. Seorang murid perempuan, Nala, berdiri dan bersuara lantang. “Kita belum tahu kebenarannya! Bagaimana kalau benar ia dijebak? Bukankah Guru Besar selalu mengajarkan jangan menghukum sebelum terbukti?” Balairung semakin riuh. Suara terpecah menjadi dua suara. Ada yang bersorak setuju menghukum, ada yang menuntut penyelidikan lebih lanjut. Ki Jayanegara kembali mengetukkan tongkatnya tiga kali. “Cukup! Kita tentukan dengan voting. Semua tetua dan murid akan mengangkat tangan. Pilihannya ada dua, menghukum atau beri kesempatan Sagara membela diri.” Hening mencekam. “Siapa yang memilih MENGHUKUM?” seru Ki Jayanegara. Hampir separuh murid langsung mengangkat tangan tinggi-tinggi, sorak mereka membahana. Semua tetua kecuali dua orang ikut mengangkat tangan. Rangga menatap berkeliling dengan penuh kemenangan. “Siapa yang memilih BERI KESEMPATAN?” Sebagian murid lain yang jumlahnya jauh lebih sedikit, mengangkat tangan mereka dengan ragu, termasuk Nala. Dua orang tetua juga ikut menegakkan tangan. Suara mereka tenggelam di tengah lautan mayoritas. Ki Jayanegara menutup mata sejenak, lalu mengumumkan dengan suara berat, “Dengan suara terbanyak, diputuskan: Sagara Wicaksana, engkau akan dijatuhi hukuman. Esok fajar, kau dibuang ke Tebing Laut Selatan. Biarlah ombak dan karang menjadi saksi penghapus dosamu.” Balairung bergemuruh, sorak kemenangan menggema. Namun di sudut ruangan, wajah-wajah murid yang minoritas tampak pucat, seolah firasat buruk tengah mengintai. Ki Jayanegara mengetukkan tongkatnya sekali lagi. “Besok fajar, hukuman dijalankan. Sidang ditutup.” Sagara terdiam, dadanya sesak oleh kenyataan pahit. Dalam hati ia meraung, “Aku difitnah. Tapi akan kupastikan suatu hari nanti kebenaran akan kutegakkan, sekalipun harus kubayar dengan darah.”Malam itu Sagara tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan ayunan bambu, suara retakannya, dan tatapan tenang gurunya. Kekuatan dan kelembutan. Yang dan Yin. Bagaimana bisa keduanya ada di saat yang bersamaan?Fajar hari kedua, Sagara mencoba pendekatan baru. Ia tidak akan menggunakan kekuatan sama sekali. Ia akan mencoba menjadi selembut mungkin, menjadi selentur air.WUSSSHH!Bambu itu kembali melesat. Kali ini, Sagara melepaskan aliran energi yang sangat halus, mencoba membungkus bambu itu dengan lembut.PLAK!Bambu itu sama sekali tidak melambat. Ujungnya menghantam telapak tangan Sagara dengan keras, membuatnya terhuyung mundur. Bambu itu terus berayun ke sisi lain, lalu kembali lagi, nyaris mengenai wajahnya.“Argh!” Sagara meringis, memegangi tangannya yang memerah.“Kemarin kau adalah badai yang menghancurkan,” komentar Ki Jatmika dari tempatnya berdiri. “Hari ini kau hanya embusan napas yang tak berarti. Keduanya sama-sama tidak bisa menahan sehelai daun pun.”“Saya mencoba menja
Matahari baru saja menumpahkan cahaya pertamanya di ufuk timur saat Sagara menemukan Ki Jatmika sudah berdiri di sebuah tanah lapang yang dikelilingi hutan bambu. Di tangannya, sang guru memegang sebatang bambu hijau yang panjang dan ramping. Simbol Gelombang Pasang Mengikat yang terukir di pohon semalam masih terasa segar dalam benak Sagara, sebuah teka-teki baru setelah ia berhasil menaklukkan tekanan air terjun. “Lupakan jarum. Lupakan palu godam,” ucap Ki Jatmika tanpa menoleh, suaranya menyatu dengan desau angin pagi yang menggoyang pucuk-pucuk bambu. “Pikiranmu masih terpaku pada cara menembus, menghancurkan, atau memaksa. Hari ini, kau akan belajar sesuatu yang sama sekali berbeda.” “Apa itu, Guru?” tanya Sagara, mendekat dengan langkah hati-hati. Tubuhnya masih sedikit nyeri setelah latihan di bawah air terjun, tapi semangatnya telah pulih. “Kau akan belajar mengikat,” jawab Ki Jatmika. Ia menancapkan ujung bawah bambu itu ke tanah dengan kuat. Ujung atasnya melambai-lamb
Puncak gelombang itu ternyata sebuah tombol tersembunyi, ucap Larisa, suaranya nyaris tak terdengar. Jemarinya yang gemetar menekan lekukan logam itu. Klik. Bagian batang kunci yang lurus terbelah menjadi dua secara memanjang, memperlihatkan sebuah rongga sempit di dalamnya. Dan di dalam rongga itu, tergulung sehelai kertas yang sangat tipis dan kecil, nyaris seperti benang, seolah dirancang untuk tak terlihat oleh mata biasa.Aryani mendekat, matanya membesar karena penasaran yang tak tertahankan. "Apa itu, Nona Larisa? Sesuatu lagi dari Sagara?"Larisa menarik gulungan kertas itu dengan ujung kukunya. Udara di gua terasa menegang, dipenuhi antisipasi. Ia membentangkan gulungan super tipis itu dengan sangat hati-hati, khawatir merobeknya. Tinta samar, hampir pudar dimakan usia, hanya menuliskan satu kata tunggal."Matahari Terbenam," bisiknya, jantungnya berdebar kencang, memukuli tulang rusuknya seolah ingin keluar dari kurungannya. Matanya terbelalak, menatap kata itu seolah ia mem
Sementara itu di sebuah gua setelah kesadaran Larisa kembali dan Aryani menjelaskan siapa dirinya, kepercayaan Larisa pada wanita itu akhirnya tumbuh. Larisa menggenggam erat kunci perunggu berukiran gelombang laut yang ia temukan di dalam kalung giok yang diberikan Sagara. Rasa dingin logamnya seolah menyalurkan kekuatan dan harapan. Ia menatap benda kecil itu dengan saksama. Ukiran gelombang laut di kepalanya begitu detail dan rumit, seolah dibuat oleh tangan seorang seniman ulung.“Jadi, apa langkah kita sekarang?” tanya Larisa, suaranya kini lebih mantap, tidak lagi tercekik ketakutan seperti saat ia pertama kali sadar di gua ini. Jemarinya mengelus ukiran pada kunci itu, merasakan setiap lekuk halus yang membentuk pola misterius. “Di mana tempat yang bisa dibuka oleh kunci ini? Apa yang harus kita cari?”Aryani, yang duduk di seberangnya, menghangatkan tangannya di atas api unggun kecil yang mereka buat. Wajahnya yang biasanya penuh misteri kini terlihat sedikit muram. “Itulah ma
“Serangan tak terhindarkan?” ulang Sagara, napasnya masih tersengal. Kekecewaan membakar dadanya lebih panas dari tenaga dalam yang baru saja ia lepaskan. “Apa bedanya, Guru? Aku tidak mengerti.”“Sebuah palu godam itu tak tertahankan,” jawab Ki Jatmika, suaranya tenang seperti permukaan danau di pagi hari. “Ia bisa menghancurkan gerbang benteng. Tapi seorang penjaga yang waspada bisa melihatnya datang dari jauh dan menghindar. Seranganmu tadi adalah palu godam.”Ki Jatmika mengambil sehelai daun kering dari tanah. “Sekarang, bayangkan sebuah jarum,” lanjutnya sambil mengangkat daun itu. “Ia tidak bisa menghancurkan gerbang. Tapi jika dilemparkan oleh seorang ahli, ia bisa menembus celah terkecil di baju zirah penjaga itu. Ia tidak tertahankan, tapi ia tak terhindarkan. Itulah Arus Bawah.”Sagara menatap lubang dangkal di batu karang. Ia mengerti teorinya, tapi tubuhnya menolak. “Naluriku, setiap serat ototku berteriak untuk melepaskan kekuatan penuh. Bagaimana cara mengubah palu menj
Sagara mengerutkan kening. “Tusukan Arus Bawah? Itu jurus yang menembus pertahanan, tapi apa bedanya dengan serangan telapak tangan biasa?”Ki Jatmika melangkah mendekat, matanya berkilat di bawah sinar bulan yang meredup. “Serangan biasa bisa dihindari, Sagara. Ia mudah terlihat. Tusukan Arus Bawah bukanlah serangan frontal. Ia adalah bisikan di telinga, racun di dalam cangkir anggur. Ia bukan hanya tentang kekuatan yang tak tertahankan, melainkan kekuatan yang tak terduga.”Ia menjentikkan jarinya ke arah Sagara. Jentikan itu begitu cepat dan lembut, Sagara hampir tidak merasakannya. Tapi sesaat kemudian, sebuah sensasi terbakar muncul di titik energi tepat di atas jantungnya.Sagara terkejut, memegang dadanya. Serangan itu nyaris tak terdeteksi oleh Bisikan Samudra-nya, dan itu dilepaskan hanya dengan satu jentikan santai. Jika itu adalah serangan mematikan, ia pasti sudah mati.“Arus Bawah bekerja dengan meniru alam,” Ki Jatmika menjelaskan, menarik tangannya kembali. “Bayangkan s






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Mga Comments