“Dunia Ahmad Runtuh! Kehilangan Bidadari yang Dicintainya…”Lelaki itu bagaikan kaca rapuh, sewaktu-waktu bisa pecah berkeping-keping ketika terbentur musibah. Itulah Ahmad—seorang suami yang kini hatinya hancur setelah ditinggal pergi oleh belahan jiwanya.Sejak kepergian Sulaiha—sang bidadari dunianya, Ahmad hidup bagai jasad tanpa ruh. Duduk termenung sendiri, tubuhnya semakin kurus, wajahnya pucat, dan sorot matanya kosong. Nafsu makan hilang, gairah hidup lenyap. Sulaiha—cahaya yang selalu menyinari langkahnya. Kini benar-benar pergi, tak akan pernah kembali lagi.Di depan jasad istrinya, Ahmad berusaha tegar. Namun, tangis yang berusaha ia tahan akhirnya pecah juga. Air matanya tumpah, membasahi wajah yang biasanya gagah. Berlembar-lembar tisu habis, hanya untuk menyeka derasnya duka saat itu.Ketika ibunya dulu meninggal tertabrak truk, ia hanya termangu tanpa setetes air mata. Tapi kali ini… Ahmad tak mampu lagi berpura-pura kuat. Kepergian Sulaiha benar-benar merobek seluruh
Rumah tangga Ahmad dan Sulaiha telah lama berjalan dalam ketenteraman. Nadia, buah hati mereka, tumbuh menjadi remaja yang manis dan cerdas. Kini ia duduk di kelas tiga SMP, sebentar lagi akan melangkah ke jenjang SMA. Cita-citanya jelas—ia ingin menjadi dokter, terinspirasi oleh para tenaga medis yang dulu merawatnya saat ia jatuh sakit.Ekonomi keluarga ini pun berkecukupan. Ahmad menjabat sebagai kepala bagian di PT. Bumi Mandiri Residence—posisi setara manajer. Hidup mereka tak pernah kekurangan; akhir pekan diisi belanja di mal besar, barang-barang mewah masuk keranjang tanpa pikir panjang. Makan di restoran mahal menjadi rutinitas bulanan. Namun, di balik gemerlap itu, tanpa mereka sadari, pola hidup tersebut pelan-pelan mengundang penyakit—tekanan darah, kolesterol, hingga gula darah yang mengintai dalam diam.***Suatu hari, kantor Ahmad libur. Ia mengajak Sulaiha, Nadia, dan Mbok Jumini berlibur ke luar kota. Mereka pulang menjelang magrib. Begitu masuk rumah, Sulaiha langsun
Suatu hari menjelang sore, hujan mulai turun deras, membasahi halaman rumah Ahmad. Suara gemericiknya berpadu dengan detak jantung semua orang yang berada di teras itu. Wajah-wajah tegang saling berpandangan, tak satu pun berani memecahkan sunyi. Semuanya terdiam, seolah dibungkam oleh keadaan.Lelaki tua yang baru saja masuk berhenti di bawah lampu teras. Tongkat kayu di tangannya bergetar, entah karena tubuhnya yang rapuh atau karena guncangan batin yang ia bawa. Tatapannya menyapu semua yang ada di hadapannya, lalu berhenti pada sosok bernama Ahmad.“Ahmad…” suaranya serak, seperti terbawa angin dari masa lalu, “…kau masih ingat aku?”Ahmad seketika itu mengerutkan kening. Ada sesuatu di wajah lelaki itu yang mengusik ingatannya. Garis-garis wajah lelaki tua itu. Tatapan mata yang pernah ia lihat di suatu malam. Hingga membuat Ahmad menjadi bingung dan kembali merefleksi memorinya.“Oh, orang tua itu? Apakah dia?”***Peristiwa masa lalu, yang terjadi beberapa tahun silam. Awalnya
Angin sore berhembus pelan, membawa aroma tanah basah setelah hujan. Ahmad berdiri terpaku di teras rumah, matanya berpindah dari perempuan misterius itu ke arah Nadia yang kini berlari ke pelukannya.Ahmad menunduk, meraih tubuh mungil putrinya. Pelukan hangat itu seolah menghapus kebingungan di kepalanya sesaat. Namun, matanya tak bisa lepas dari sosok perempuan yang berdiri tak jauh, memandangi mereka dengan tatapan penuh makna—tatapan yang menyimpan rahasia.“Siapa dia, Yah?” tanya Nadia polos sambil menunjuk perempuan itu.Ahmad terdiam, seakan kata-kata tertelan di tenggorokannya. Perempuan itu hanya tersenyum samar, lalu menunduk menatap anak kecil yang berada di sampingnya—seorang bocah laki-laki berusia sekitar lima tahun, memegang erat ujung gamisnya.Ahmad menatap tajam. Ada getaran di dadanya—antara rasa ingin tahu, waspada, dan cemas.“Maaf, Ahmad…” suara perempuan itu akhirnya terdengar. “Aku datang… bukan untuk mengganggu. Tapi… ada hal yang harus kau ketahui.”Kalimat
Langit di atas rumah Ahmad, mendung bergelajut, seolah akan turun hujan. Tapi semua orang di dalamnya merasa resah. Tak satu pun orang duduk tenang akibat huru-hara yang terjadi beberapa detik yang lalu. Bahkan malam itu berubah menjadi kekacauan. Setelah suara letusan terdengar, seisi rumah sontak panik. Jeritan Nurlaela, tangis Akbar, dan teriakan Mbok Jumini bersahutan memenuhi udara.Ahmad terhuyung masuk ke kamar. Di dalam, bau mesiu masih tercium. Sulkifli terduduk di lantai, tangannya gemetar memegang benda yang ternyata hanyalah pistol mainan berpeluru gas. Tapi wajahnya tak lagi menunjukkan kesombongan—melainkan ia ketakutan yang mencekam.Nurlaela berdiri di sudut ruangan, memeluk Akbar erat-erat, tubuhnya menggigil. Di pipinya, air mata mengalir deras, bercampur amarah, rasa malu, dan trauma yang selama ini ia pendam sendiri.Ahmad menatap lelaki itu dengan mata merah menyala. Giginya bergeretak, Tangannya mengepal;"Keluar dari rumahku… sebelum aku benar-benar kehilangan k
Malam itu, di kamar Nurlaela. Sulkifli baru keluar dari kamar mandi, sesaat ia bersembunyi tadi ketika Sulaiha masuk kamar. Mereka lanjut berdebat. Belum selesai Nurlaela dan Sulkifli berdebat. Tiba-tiba terdengar suara langkah kaki dari arah lorong.Nurlaela terperanjat. Secepatnya ia meraih Akbar dan menggendongnya dalam keadaan tertidur. Matanya melotot, lalu ia menatap ke arah pintu.Suara itu makin lama makin dekat… makin dekat…TUK…TUK…Pintu kamar diketuk dari luar. Tapi suara itu bukan suara Sulaiha. Bukan suara Ahmad. Suara berat dan tak dikenal…Suasana kamar mendadak tegang. Wajah Nurlaela berubah pucat, napasnya memburu, dadanya bergemuruh. Ia berdiri mematung di depan pintu kamar mandi. Tempat Sulkifli tadi bersembunyi. Namun, di balik pintu utama, suara ketukan itu kembali terdengar.TUK… TUK… TUK!"BUKA, NURLAELA!" suara lelaki asing itu kini terdengar lebih garang.Nurlaela hanya berdiri mematung, kakinya gemetar, pandangannya tertuju ke pintu.Akan tetapi, Sulkifli me