LOGINRaisa seorang gadis berparas cantik dan anggun. Namun, dibalik wajahnya yang cantik tersimpan sebuah kebencian yang mendalam. Ia adalah anak yang dibuang oleh ibu kandungnya sendiri, hanya karena sebuah harta warisan yang tinggalkan ayahnya. Selama itu, dalam dirinya timbul rasa dendam pada ibunya. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri, untuk membalas semua perbuatan sang ibu, termasuk dengan mendekati ayahnya tirinya. Ia akan menghancurkan rumah tangga wanita, tanpa belas kasihan sedikitpun agar ibunya merasakan apa yang dirasakan dulu, bagaimana sakit dan menderitanya saat kita di buang oleh orang yang kita sayang.
View More"Hei, bangun!"
Seorang wanita berusia sekitar tiga puluhan mengguncang putrinya yang masih terlelap dengan kasar.
"Engh…" Anak itu melenguh pelan, matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya terbuka. "Ada apa, Bu?" tanyanya sambil mengusap kedua matanya.
"Kemasi barang-barangmu, cepat!" suara ibunya meninggi, terdengar seperti perintah.
"Memangnya kita mau ke mana, Bu?" tanyanya bingung.
Kenapa tiba-tiba disuruh mengemas barang? Apa mereka akan pergi liburan?
Mata gadis kecil itu langsung berbinar. "Apa kita mau pergi liburan, Bu?" tanyanya penuh semangat, wajahnya berubah sumringah.
"Hmm…" Ibunya hanya mengangguk singkat.
Dengan hati riang, anak itu segera turun dari ranjang, melangkah ke arah lemari, dan mengeluarkan tas serta baju-baju yang ingin dibawanya.
"Ibu tunggu di bawah," ujar sang ibu, lalu meninggalkan putrinya yang tengah sibuk membereskan barang-barangnya.
Wanita itu berjalan ke ruang tengah, menghampiri seorang pria yang duduk santai sambil memainkan ponselnya.
"Mobil udah kamu siapin, kan?" tanyanya seraya melingkarkan tangan di leher pria itu dari belakang.
"Udah dong, sayang. Tinggal eksekusi aja," jawab pria itu dengan seringai tipis yang muncul di sudut bibirnya.
***
"Ibu, aku sudah siap!" seru gadis kecil itu sambil menenteng tas berukuran sedang, lalu berlari kecil menghampiri ibunya.
Ia berdiri di sisi ibunya, meraih tangan sang ibu, kemudian mengapitnya erat dengan wajah sedikit takut. Pandangannya tertuju pada pria asing di ruang itu. "Om ini siapa, Bu?" tanyanya ragu.
"Dia teman Ibu. Dia akan ikut liburan sama kita," jawab ibunya singkat.
Pria itu tersenyum, lalu berdiri mendekat. "Halo, kenalin, Om Fajar. Kamu bisa panggil Om begitu. Nama kamu siapa?" ujarnya sembari mengulurkan tangan.
Anak itu menunduk, enggan menyambut. Wajah pria itu terlihat menyeramkan di matanya.
"Raisa, Om," jawabnya lirih.
"Nama yang indah, seperti orangnya," pujinya, lalu tangannya terulur mengusap pelan rambut Raisa.
"Terima kasih, Om…" Raisa berusaha memberanikan diri menatapnya sebentar.
Fajar mengangguk, kemudian kembali berdiri tegap. "Kita berangkat sekarang?"
"Iya, ayo!" sahut sang ibu, menggenggam tangan Raisa dan menariknya menuju pintu.
"Sini, tas kamu biar Om bawain," kata pria itu sambil meraih tas dari tangan Raisa.
"Ibu nggak bawa tas?" tanya Raisa pelan, menyadari hanya dirinya yang menenteng barang. "Apa kita nggak akan menginap, Bu?"
Ia sempat kecewa. Mungkin itu alasannya sang ibu tak membawa apa-apa. Raisa awalnya mengira mereka akan pergi ke vila di puncak, tempat yang selalu jadi tujuan setiap liburan panjang.
"Tas Ibu sudah ada di mobil," jawab sang ibu cepat.
"Benarkah? Jadi kita akan menginap di vila?" tanyanya dengan wajah berbinar.
"Iya," balas ibunya singkat.
Raisa tersenyum lega. Syukurlah, ibunya menepati janji. Ia sudah membayangkan kelinci-kelinci liar di halaman vila yang biasa menemaninya bermain.
Dulu, setiap liburan panjang, ayah dan ibunya selalu mengajaknya ke sana. Mereka biasa menghabiskan waktu seminggu penuh bersama. Tapi kali ini berbeda. Ayahnya sudah tiada. Tiga bulan lalu, ia meninggal dalam sebuah kecelakaan.
"Ayo, ngapain bengong? Masuk!" suara ibunya memecah lamunannya.
"I-iya, Bu!" Raisa segera masuk ke mobil. Pintu dibuka ibunya, dan ia duduk manis di kursi belakang.
Namun, hatinya terasa tak enak. Tadi, sekilas ia sempat melihat bagasi mobil terbuka. Kosong. Tidak ada satu pun tas di sana, padahal ibunya bilang barang-barangnya sudah dimasukkan.
Raisa menelan ludah. Perasaannya makin tidak tenang, apalagi saat menyadari pria itu terus mengamatinya dari spion tengah.
***
"Kamu mau minum sayang?" tanya ibunya sambil menyodorkan sebotol air pada anaknya yang duduk di kursi belakang.
Dengan senang hati Raisa menerimanya. Kebetulan ia memang haus dan lupa membawa minum sendiri.
"Terima kasih, Bu," ucapnya ceria sambil membuka botolnya
Namun, alisnya perlahan mengernyit. Ini apa, ya? Kok baunya aneh? batinnya ketika mencium aroma dari dalam botol. Air itu juga tampak keruh, tidak jernih seperti air biasa.
"Ini air apa, Bu? Baunya beda… warnanya juga agak aneh," tanya Raisa ragu.
"Udah, diminum aja! Jangan banyak tanya. Itu air jahe, Ibu sengaja buat biar badan kamu hangat. Di sanakan dingin!" bentak ibunya, membuat Raisa terdiam.
Raisa langsung ciut. Ia tahu betul kalau ibunya sedang marah. Dengan terpaksa, ia meneguk air itu sedikit demi sedikit.
Sejak tegukan pertama, Raisa sadar rasanya tidak seperti air jahe yang biasa diminumnya. Ada pahit samar yang menusuk lidah. Tapi ketika ibunya menoleh, menatapnya dengan tatapan tajam, Raisa tak berani membantah. Ia memaksa dirinya menelan sampai habis.
"Ini, Bu… sudah habis," ujarnya pelan, menyodorkan botol kosong itu pada ibunya.
"Anak pinter," puji ibunya sambil mengambil botol itu.
Tiga puluh menit kemudian.
"Kok kepalaku pusing, ya?" gumam Raisa sambil memegang kepalanya.
"Kamu kenapa?" tanya ibunya, kali ini dengan suara seolah khawatir.
"Kepalaku… pusing banget. Rasanya sakit," jawab Raisa parau.
"Kamu ngantuk kali. Sudah, tidur saja. Nanti kalau sudah sampai, Ibu bangunin," bujuknya.
Raisa hanya mengangguk lemah. Kepalanya semakin berat, matanya mengantuk luar biasa. Tak lama kemudian tubuh mungilnya terkulai, dan ia pun terlelap tak sanggup lagi menahan rasa kantuknya.
"Gimana, sudah tidur dia?" tanya pria itu sambil melirik lewat spion.
Wanita itu mengangguk, menatap anaknya yang terlelap di kursi belakang. "Udah," ucapnya datar sambil menoleh ke belakang. Di mana anaknya sudah tertidur lelap. Efek obat tidur dosis tinggi yang ia berikan mulai bekerja.
"Kita bawa ke mana dia sekarang?"
"Ke vila. Di belakang vila ada hutan belantara. Kita buang dia di sana," jawabnya dengan seringai tipis yang tersungging di bibirnya
***
Beberapa jam kemudian, mobil berhenti di depan sebuah bangunan besar.
"Ini vilanya?" tanya pria itu.
Wanita itu mengangguk, lalu menyuruh kekasihnya menggendong Raisa yang masih terlelap.
Pria itu melirik sekeliling. "Pantas saja kamu berani bawa anakmu ke sini. Nggak ada warga sama sekali… cuma ada hutan di kanan-kiri."
Hanya vila tua itu yang berdiri sendiri, sepi, tanpa pemukiman. Sunyi membuat bulu kuduknya sedikit meremang.
"Ikut aku!" ujar sang wanita, melangkah ke arah hutan.
Dengan tubuh mungil Raisa dalam gendongannya, mereka menembus pepohonan. Suara ranting patah dan angin menderu tidak membangunkan gadis kecil itu. Obat tidur membuatnya benar-benar tak berdaya.
"Kamu yakin mau ninggalin dia di sini?" tanya pria itu ragu setelah menurunkan Raisa dan menyandarkannya pada sebuah pohon besar di tengah hutan.
"Yakinlah. Biar dia dimakan hewan buas di sini."
Pria itu terkekeh gelisah. "Hahaha… gila kamu ini. Dia anakmu sendiri loh. Kamu yakin tega?"
Wanita itu mendengus dingin. "Kalau aku nggak yakin, nggak mungkin aku rencanain ini. Dia memang anakku, tapi buat apa hidup kalau cuma nyusahin? Lebih baik dia mati, dan warisan dari ayahnya bisa jadi milik kita."
Di bibirnya terukir seringai kejam. Baginya, kehadiran Raisa hanyalah beban. Andai dulu tidak ketahuan hamil, ia sudah menyingkirkan anak itu sebelum lahir. Selama ini ia hanya mempertahankannya karena desakan suami. Tapi kini, setelah suaminya tiada, ia merasa bebas melakukan apa pun.
"Kalau begitu ayo pergi, sebelum hewan buas itu datang dan malah melihat kita," desis pria itu.
Tanpa rasa kasihan, keduanya berbalik meninggalkan Raisa yang masih terlelap, sendirian, di hutan gelap itu, tanpa bekal apa pun.
"Kamu apa-apaan sih, Mas?! Suami? Calon suami? Sejak kapan?!" cecar Raisa dengan suara tertahan namun penuh penekanan. "Kamu sadar nggak sih, kamu baru aja bikin kekacauan di depan pelanggan aku?"Alan bukannya merasa bersalah, ia malah bersedekap dan menyandarkan punggungnya ke meja kerja Raisa dengan santai. "Aku cuma mengatakan yang sebenarnya, Sa. Daripada pria itu terus-terusan mendekatimu tanpa tahu batasan.""Namaku Nesya di sini! Berhenti panggil aku Raisa di depan orang-orang!" bentak Raisa lagi. "Dan soal suami itu... itu bohong besar, kan? Kamu cuma mau bikin skenario supaya orang-orang kasihan sama kamu dan nganggep aku ini istri yang durhaka karena amnesia?"Alan melangkah maju, memangkas jarak di antara mereka hingga Raisa terpaksa mundur sampai punggungnya membentur pintu. Alan menatapnya dalam, suaranya kini merendah, terdengar lebih serius."Aku nggak bohong soal perasaan aku," bisik Alan pelan. "Kalau kamu nggak suka aku bilang begitu ke pria tadi, itu karena aku ngg
Sudah tiga hari ini Alan terus-terusan muncul di toko. Dia rajin sekali menceritakan potongan-potongan masa lalu mereka, tapi di kepala Raisa, semuanya masih gelap. Kalaupun ada yang terlintas, rasanya cuma seperti bayangan buram yang lewat sekilas. Raisa sudah berusaha keras untuk mengingat, tapi tetap saja buntu.Malahan, yang menghantuinya justru mimpi buruk yang itu-itu saja. Suara amarah seorang wanita dan caci maki tajam selalu terngiang setiap malam, membuat kepalanya terasa mau pecah setiap kali bangun tidur.Pagi ini, Alan kembali lagi. Bahkan sebelum toko dibuka, pria itu sudah berdiri di depan pintu. Sekarang Alan sedang menunggu di ruangan Raisa, sementara Raisa sendiri masih sibuk melayani pelanggan yang kebetulan cukup ramai hari ini.Saat sedang merapikan beberapa barang, seorang pria masuk dan menyapa.“Hai…”“Eh, hai!” Raisa tampak terkejut, tapi sedetik kemudian senyumnya merekah. “Ke mana aja? Kok baru kelihatan lagi?” tanya Raisa dengan nada yang sangat akrab.“Bar
Alan langsung menoleh. Wajahnya seketika berubah gelagapan, seperti seseorang yang tertangkap basah melakukan sesuatu. Ia buru-buru memutus panggilan itu, memasukkan ponselnya kembali ke saku, lalu melangkah cepat menghampiri Raisa seolah tak ada yang terjadi.“Nggak ada apa-apa,” ujarnya sambil memasang senyum tipis yang terlalu dipaksakan.Raisa mengerutkan dahinya. Tatapannya penuh curiga. Ia jelas tak percaya begitu saja. Tadi ia mendengar dengan jelas namanya disebut. Pasti ada masalah, dan besar kemungkinan masalah itu ada hubungannya dengan dirinya. Tapi dengan ingatan yang belum pulih sepenuhnya, Raisa memilih menahan diri. Bertanya terlalu jauh justru bisa memperkeruh keadaan.Ia akhirnya hanya mengangguk pelan. “Oh… gitu. Umm… kamu masih mau di sini? Atau mau pulang?”Alan melihat jam di pergelangan tangannya. “Kayaknya aku pulang aja deh. Lagian toko kamu juga sebentar lagi tutup, kan?”Raisa ikut mengangguk. “Iya, bentar lagi tutup.”“Ya udah kalau gitu, aku pulang dulu.” A
Saat kesadarannya mulai kembali, Raisa refleks mendorong tubuh Alan agar tidak terlalu dekat. “Menjauh… jangan terlalu dekat,” ujarnya sambil menggeser duduknya menjauh.Wajah Alan seketika tampak kecewa. “Maaf…” ucapnya lirih, disertai senyum miris. “Kalau begitu… mau aku lanjutkan ceritanya atau tidak?” tanyanya, sama sekali tidak memaksa bila Raisa tidak ingin mendengarnya lagi.Mungkin lain kali ia akan mencoba lagi. jika Raisa tak mau mendengarnya lagi. apalagi kondisi Raisa sekarang sepertinya sedang kurang sehat..Raisa hanya terdiam. Tatapannya terarah pada Alan dengan intens, menyimpan rasa penasaran yang tidak bisa ia sembunyikan. Namun ada ketakutan lain yang membayangi—kepalanya sering berdenyut setiap kali ia memaksa diri untuk mengingat sesuatu.Dokter bilang lupa ingatannya tidak permanen. Tapi sampai sekarang, tidak ada satu pun kenangan yang kembali. Ia sudah mengonsumsi obat sesuai anjuran, berharap ingatannya pulih lebih cepat, tapi anehnya, semakin ia berusaha meng












Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviews