“Aku mau adik laki-laki,” ucap Farel ketika keluarga kecil mereka baru saja beristirahat usai berjibaku di dalam kolam renang. Matanya berbinar ketika ikut meletakkan tangan di perut buncit sang mama. “Sepertinya kau yakin sekali,” goda Keenan yang kini sudah menempelkan telinga di bagian sisi perut yang lain. Pria itu mengerjap ketika merasakan sesuatu menendang dari dalam sana. Membuat dia dan Farel terkekeh serempak lalu sibuk berdebat tentang jenis kelamin calon anggota keluarga baru mereka tersebut. “Tuh ‘kan? Dia bilang kalau akan menjadi temanku bermain badminton nanti.” Kali ini Farel justru merasa sangat percaya diri dengan tebakannya. Sementara Lily hanya tersenyum sembari mendengar dua pria beda usia yang dicintainya itu berdebat terus-terusan. Pemandangan indah yang sudah lama ia dambakan sejak jauh hari. Tak lama kemudian dirinya menyingkirkan tangan mereka dan bersiap hendak bangkit dari kursi. “Ma, katakan kalau adikku laki-laki,” rengek Farel yang ham
“…, ya. Dia laki-laki seperti dirimu.”“Laki-laki?” ucap Farel mengulang pernyataan sang dokter. Pria berjas putih itu mengangguk singkat sambil tersenyum.“Kau senang?” tanya Keenan yang dilangsung diiyakan oleh Farel tanpa jeda.“Aku punya teman. Yeay!!” soraknya lagi. Setelahnya dokter pun menginformasikan pendidikan kesehatan tentang kehamilan pada Lily dan Keenan. Kini pasangan suami istri tersebut saling menggenggam sembari tersenyum penuh.“Usia kehamilan Anda sudah masuk 22 minggu. Semoga prediksi jenis kelamin tetap tidak berubah ya.”“Kalaupun adikku perempuan tidak masalah,” celetuk Farel masih dengan keceriaan yang sama. “Nanti aku bisa minta papa untuk—”“Sayang?” potong Keenan cepat. “Tali sepatumu terlepas.” Atensi bocah usia empat tahunan itu pun teralihkan. Beruntung percakapan tadi tidak berlanjut. Kalau tidak bisa dipastikan bahwa Keenan dan Lily akan merasa malu. Tahu bahwa anak mereka tersebut mengutarakan hal yang menggelikan.“Makanya
Farel sangat bersemangat bercerita dengan Adrian tentang kabar janin yang dikandung oleh sang mama. Dia bahkan sama sekali tak menggubris kue dan camilan yang disediakan di atas meja. Seperti biasa. Suaranya selalu mendominasi di antara para orang dewasa.“Wah. Papa turut senang karena sebentar lagi kamu mau jadi seorang kakak.” Adrian merespon dengan kuluman senyumnya. Lantas dia menoleh ke arah Lily yang tengah mengusapi perut buncitnya. Jujur kalau memang sampai sekarang rasa cinta itu masih belum memudar.“Ya sudah. Papa antar kau ke atas untuk bersiap-siap ya.” Keenan bangkit dari duduknya lalu menggamit tangan Farel. Meninggalkan Lily bersama Adrian yang masih berada di ruang tengah. Suasana berubah menjadi hening. Hingga kemudian Adrian memilih untuk berbicara terlebih dahulu. Dia tersenyum getir menyaksikan sang mantan istri yang kini sedang berbadan dua.“Selamat ya untuk kehamilan kamu.”“Makasih, Mas.” Lily mengangguk sambil tersenyum. “Jangan lu
“Hai, Tante!” sapa Farel sembari melambaikan tangannyan ke arah Lisna. Bocah polos itu bahkan sudah bergerak untuk salim pada wanita yang ada di depan mereka. Lisna pun mengangguk sambil tersenyum. “Kau sudah semakin besar ya.” “Iya dong,” sahut Farel cepat. “Aku juga mau punya adik.” “Ya.” Lagi-lagi Lisna hanya bisa mengangguk saja. Dia pun menoleh pada Lily lalu berkata, “Selamat ya atas kehamilannya.” “Terimakasih.” Kali ini Keenan yang menjawab dengan sorot mata tidak bersahabat. Dia masih menyimpan amarah atas perbuatan Lisna kala itu. “Maafkan aku.” “Sudahlah. Jangan dipikirkan lagi,” kata Lily yang kini sudah tersenyum manis. “Kamu apa kabar?” “Aku … baik.” Tak lama setelah itu mereka mendengar nama Lisna yang dielukan oleh seseorang. Semuanya sontak menoleh. “Sayang, kamu di sini?” Dimas. Pria tersebut terlonjak kaget begitu melihat tiga orang yang sekarang bersama Lisna. Dia pun jadi salah tingkah. “A-aku dan Dimas —” “Bulan depan kami akan tunangan,” potong Dima
“Maafkan aku karena telah membuatmu hamil.” Pernyataan barusan membuat Lily yang tengah kesakitan sontak tertawa. Tak pelak sopir yang juga ikut mendengarnya terbahak tanpa sadar. “Abang?” rengek Lily di sela-sela kontraksi yang memelan sekejap. “Enggak pa-pa. Aku bisa. Jangan cengeng dong. Anak kita mau lahir. Masa’ papanya nangis.” “Iya, Tuan. Harus semangat supaya Nyonya kuat lahirannya.” Sang sopir juga tak mau kalah memberikan dukungan. “Kalian benar.” Keenan menyeka cepat air matanya yang sudah membasahi pipi. “Aku harus mendampingimu di ruang bersalin nanti. Kalau dokter melihatku lemah, mereka tidak akan mengijinkanku masuk.” Lily tersenyum mendengar ucapan suaminya. Tak berapa lama mobil pun tiba di tempat tujuan. Keenan pun memekik dari arah luar agar para petugas menyiapkan kursi roda untuk istri tercintanya. Seorang bidan yang kebetulan bertugas shift sore memeriksa jalan lahir Lily. Lantas mengatakan, “Ini masih pembukaan sembilan lebih. Sebentar lagi waktunya ber
“Aku cuma mau papa," gumam anaknya. Lily hanya tersenyum getir usai mendengar kalimat barusan. Permintaan sederhana yang ternyata sangat sulit untuk dia wujudkan. Wanita bersurai panjang itu terdiam cukup lama sembari memandangi buah hatinya yang tengah sibuk menyantap makan siang. “Mau tambah lagi, hemm? Tempe goreng atau ikannya?” tanyanya dengan wajah yang terlihat kembali ceria. “Enggak. Aku sudah kenyang,” tolak Farel pelan. “Mama denger tidak yang aku katakan tadi? Aku mau papa datang di pesta ulang tahunku.” “I-iya. Akan mama usahakan ya, Sayang,” jawab Lily yang sebenarnya juga tak begitu yakin. “Atau aku yang telepon papa saja ya? Aku sudah kangen.” Gelengan Lily membuat bocah yang usianya hampir mencapai empat tahun tersebut seketika cemberut. “Kenapa sih? Papa sudah tidak sayang aku?” “Eh? Siapa bilang begitu? Papa lagi sibuk bekerja. Kamu sabar ya. Nanti mama yang hubungi papa kamu. Sekarang cepat selesaikan makannya, terus tidur siang. Oke?” Anggukan Farel membuat
Napasnya terasa sesak ketika melihat tubuh Farel yang menggigil di bawah selimut. “Pa-pa!” “Sayang, bangun. Ini mama,” ucap Lily dengan suara seraknya yang tertahan. Dirinya panik bukan main ketika merasakan sekitaran badan putranya yang panas. Farel masih dalam keadaan mata terpejam dengan racauannya yang tadi. Dengan cepat Lily menyibak selimut kemudian mengggendong tubuh sang putra dalam hitungan detik. Saat itu juga dia merasakan adanya guncangan yang hebat. “Bibi! Paman! Tolong!!” pekik Lily yang sudah berada di ambang pintu. Tak butuh waktu lama hingga seorang wanita paruh baya muncul dari kamar yang lain. “Eh? Kenapa sama Farel?” “Farel demam lagi, Bi. Dia barusan kejang-kejang! Kita harus ke rumah sakit sekarang.” “Iya iya. Bibi bangunin paman kamu dulu ya.” Kini kendaraan roda tiga yang biasanya dijadikan sang paman untuk mencari nafkah sehari-hari sedang melaju kencang membawa Lily, Farel dan bibinya menuju rumah sakit terdekat. Beruntung jarak fasilit
“Papa di sini saja. Jangan pergi ke mana-mana lagi,” pinta Farel dengan wajahnya yang masih kelihatan pucat.“Sayang, sudah ya. Susternya mau pasang infus kamu dulu. Sebentar lagi obatnya mau dimasukkan. Dengerin kata mama ya, Nak,” ucap Lily yang hampir frustrasi. Farel hendak memberontak, tetapi tubuh pria dewasa yang dianggapnya adalah sang papa tadi mulai mendekat. Jadilah dia mengangguk dan akhirnya menurut untuk tidak bergerak lagi.“Sakit itu tidak enak. Jadi kau harus cepat sembuh,” katanya dengan suara datar. Namun, ternyata berhasil membuat Farel senang karena merasa diperhatikan.“Papa janji ya tidak akan jauh-jauh dari kami lagi,” gumam Farel dengan sorot matanya yang sendu. “Besok aku ulang tahun. Teman-teman pasti akan bertanya lagi di mana papa. Jadi jangan pergi.”“Aku ada—“Ucapan tadi terjeda saat dokter yang menangani Farel muncul ke dalam ruangan. “Selamat pagi. Wah. Infusnya terlepas ya?”“Maaf, Dokter,” cengir Farel seraya menunjukkan cengiran kudanya