Share

9-kita

Kita hanya sebatas rindu yang berujung temu.

—Paracetalove—

•••

"Selamat malam, Om." 

Riko mengernyitkan dahi, mendapati cowok berhoodie putih datang ke rumahnya malam-malam seperti ini. 

"Mau ketemu siapa?" tanya Riko ketus.

Arga meneguk salivanya kasar, ini pertama kali ia berinteraksi dengan Riko. Rasanya gugup, tentu, dalam dua bulan menjalani hubungan dengan Mery. Arga sangat jarang melihat pria itu di rumah. 

"Saya mau ketemu Mery, Om. Boleh?" tanyanya, alis Riko bertaut tanda tidak suka, melihat itu Arga buru-buru berkata, "Cuma sebentar, saya janji nggak akan ganggu Mery belajar."

Riko bersedekap, dalam hati ia tertawa, senang sekali bisa menjahili pacar putrinya. "Ngapain?"

"Nggak ngapa-ngapain kok, Om. Kalo Om keberatan, saya bicaranya di luar, Om bisa mantau dari dalam," kata Arga, takut Riko salah paham.

"Maksud saya, ngapain kamu tunda-tunda? Cepetan masuk!"

Rahang Arga nyaris jatuh ke tanah, ia kira Riko tidak akan mengijinkan, jelas, dari rautnya saja Riko terlihat kurang suka. Membuat nyali Arga kicep seketika, plus mati gaya.

Mendapati keheranan dari wajah Arga, Riko menepuk pelan bahunya, "Apalagi yang ditunggu? Kamu pacarnya yang saya tau. Terima kasih sudah buat dia berubah."

Arga tersenyum hangat, ternyata tidak sia-sia memberi nasihat pada Mery. Buktinya, cewek itu sudah berubah—terutama bagaimana cara bersikap yang benar pada orang tua. 

"Sama-sama, Om."

"Yaudah cepetan masuk, saya panggilkan Merynya."

Arga tersenyum menanggapi, mereka akhirnya masuk dengan Riko yang mendahului. Sampai di dalam, Riko mengajak Arga duduk di ruang tamu, sementara ia memanggil Mery.

"MERYYY! CEPETAN TURUN, ADA YANG MAU KETEMU KAMU."

"SIAPA PA?"

"NGGAK TAU. POKOKNYA KAMU CEPETAN KE BAWAH. KASIHAN ORANGNYA NUNGGU," alibi Riko, dia mengedipkan sebelah mata pada Arga, bercanda.

"MALES AH, PA. PASTI RAYA SAMA TASYA, SURUH AJA KE KAMAR MERY. YA PA." 

Riko mendengus pasrah, daripada membuat Arga menunggu lama, dia biarkan cowok itu menemui Mery di kamarnya saja. Dengan satu syarat, "Pintunya jangan ditutup. Saya percaya sama kamu."

"Siap Om."

Kamar Mery berada di atas, Arga buru-buru menaiki tangga dengan rasa rindu yang membara. Rasanya ingin sekali memeluk Mery berlama-lama.

Bukan hanya itu tujuan Arga, dia juga ingin meminta maaf perihal jemputan sore tadi. Ia akui ia salah membiarkan cewek itu sendiri.

Tiba di kamar Mery sengaja ia membuka pintu perlahan, dan tersenyum ketika melihat Mery asik menikmati alunan lagu lewat headset dengan mata terpejam. 

Dia, terlalu asik mungkin.

Enggan mengganggu, Arga diam-diam masuk lalu duduk di samping Mery tanpa menutup pintu. Diambilnya satu headset Mery kemudian memasangkannya ke telinganya. Terdengar jelas, lagu yang mengalun di sana adalah I Won't Tell A Soul milik Charlie Puth—yang tidak lain adalah lagu kesukaannya juga. 

Merasa janggal ada yang mencabut headsetnya, Mery membuka mata, alhasil, ia terkejut bukan main saat menemukan Arga di sampingnya. Cowok itu—tetap duduk anteng seraya memejamkan mata. Mungkin dia nggak sadar aku udah buka mata kali ya? Batin Mery. 

"Kenapa dilepas?" Arga berkata membuat Mery menatapnya. 

"Enggak papa, kaget aja kamu ternyata yang datang. Tumben."

"Emang nggak boleh jengukin pacar sendiri?" tanya Arga.

Mery terkekeh, "Ish. Bukan gitu, maksud aku tumben kamu jenguknya malam-malam. Mau ngajak jalan?"

"Besok masih sekolah, Ry. Aku ke sini ada yang diomongin, lagian ini malam, nggak baik cewek jalan."

"Yah, yang penting, 'kan sama kamu tau! Nanya aja ketus amat, sih."

"Ketus darimananya? Cara ngomong aku emang gitu."

"Au ah, lupain aja. Bete aku tuh," sebal Mery, bibirnya mengerucut, memalingkan muka dari Arga.

Arga mendengus berat, sifat ini yang kadang ia kurang sukai dari Mery, memang cara bicara seperti itu masih saja tidak tahu.

Menghindari masalah, Arga melepas sepatunya guna menaikkan satu kaki ke kasur, menyamping agar bisa melihat wajah Mery yang sedang sebal itu.

Lucu, menggemaskan, membuat Arga ingin mencubit-cubit pipinya.

"Maaf," Arga berucap, menyampirkan anak rambut Mery ke telinga. "Maaf nggak bisa jadi cowok yang selalu ngerti kamu."

Mery menatap Arga tidak mengerti. "Eh, kamu ngomong apa sih? Aku becanda, Ga."

"Maaf karena lupa jemput kamu sore tadi."

"Ga."

"Maaf karena pernah ngebentak kamu."

"Ga."

"Maaf karena aku nggak bisa seromantis cowok lain di luar sana. Maaf karena selalu ketusin kamu."

"Ih, Gaaa. Minta maaf aja terus sampai aku bosen dengernya."

Sedetik kemudian tawa Arga mengudara, menggoda Mery ternyata asik juga. Tapi jujur, semua perkataannya tadi memang tulus dari dalam hati.

"Seriusan?" Arga menaikkan satu alisnya. "Mau aku ucapin maaf sampai berapa kali? Seratus? Oke aku coba."

Mery mengernyit, ia biarkan Arga melancarkan aksinya.

"Maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, maaf, ma—" Mery membekap mulut Arga, membuat ucapannya terpotong tiba-tiba.

"Kayaknya minta maaf aja nggak cukup deh," ujar Mery, melepas bekapannya. "Kamu harus kasih aku sesuatu gitu."

"Yaudah minta aja."

"Yakin bisa ngabulin?" Mery menaikan alisnya menggoda.

"Yang penting bukan aneh-aneh," jawab Arga, Mery terkekeh geli, ini waktunya menggoda cowok itu kembali.

"Aku minta ini," Mery menunjuk bibir Arga, si empunya langsung melotot tidak terima.

"Apa? Nggak!" tolak Arga. "Masih remaja, nggak boleh! Minta yang lain aja."

"Ish, katanya bisa ngabulin."

"Ya tapi itu nggak!"

"Umm, boleh ya, boleh dong, ya ya, kemarin pas kita berantem kamu oke-oke aja tuh," rayu Mery, memonyongkan bibir, berharap Arga mengiyakan permintaanya.

"Nggak! Kemarin beda situasi, Ry."

"Yah, kamu mah, siapa suruh punya bibir kissable kayak gitu, menggoda banget tau nggak?"

Arga menggidikan bahunya  "Aku nggak minta kayak gini sama Tuhan, emang udah cetakannya dari lahir."

"Hehe, ternyata Papa kamu hebat bikinnya," cengir Mery, Arga langsung menyentil bibir cewek itu. Dasar Mery, mesumnya masih tingkat tinggi.

"Mulutnya," kekeh Arga. Bukannya marah, Mery justru memajukan wajah dan meraba-raba bibir cowok itu dengan jari.

"Boleh ya, janji abis itu nggak lagi."

Pasrah, Arga mengusap wajahnya frustasi, sementara Mery memasang wajah seimut mungkin, "Ya ya?"

"Oke-oke. Cuma sekilas, kamu tutup mata cepetan," perintah Arga.

Mery mengangguk antusias, dia mulai menutup mata lalu beringsut mendekati Arga.

Arga terkekeh pelan, dia gugup luar biasa, pasalnya baru pertama kali Mery mengajak itu secara terang-terangan. Melirik sekeliling, sangat sepi, namun tetap saja Arga tidak mau ambil resiko.

"Kok lama, Ga?" tanya Mery seraya terpejam. Jantungnya deg-degan. Ada sekitar sepuluh detik ia menunggu. Dan pada akhirnya...

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

..

..

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

.

Pluk.

"Cium tuh guling." Bukan bibir Arga yang menempel di bibirnya, tapi sebuah guling yang sengaja dilempar oleh cowok itu.

"Ish, nyebelin banget sih, Ga. Nyebelin! Nyebelin! Nyebelin! Kamu tuh ya," berenggut Mery, memukul Arga dengan guling berkali-kali. Pukulan yang tidak berarti apa-apa untuk cowok berahang tegas itu.

"Ampun nyonya, ampunn …" cicit Arga, membangun pertahanan dengan kedua tangannya.

Lengah karena puas memukulinya, Arga memanfaatkan kesempatan menggelitik pinggang Mery.

"Ish, haha, geli tau, Ga. Udahan ah."

Diam-diam seseorang memperhatikan mereka dari luar, Riko—menyembulkan kepala di balik tembok pembatas pintu, senyumnya mengembang sempurna.

Dikeluarkannya gawai dari saku lalu mengirim pesan untuk Marina—mantan istrinya.

Marina

Besok kita bisa ketemu

di cafe yang dulu?

Send.

★★★

"Ga, kalo yang ini bagus nggak?" tanya Mery pada Arga. Cowok yang sibuk menghitung sesuatu di kertas coretan itu menggelengkan kepala.

"Nggak! Bagus apanya baju kayak kekurangan bahan gitu? Ganti yang lain."

"Ish, Ga. Ini tuh bukan kekurangan bahan namanya, emang modelnya sampai paha doang. Aku belinya waktu sama Papa di Amrik. Limited Edition!"

"Pantesan limited edition, bahannya kurang."

"Ish," Mery sebal, pengen banget nyakar muka cowok itu tapi sayang, nanti gantengnya hilang, "Terus yang menurut kamu modelan bagus itu gimana?" tanya Mery. Kesal, tiga dress telah ia tunjukkan pada Arga katanya nggak bagus semua.

"Yang panjang nutupin kaki, terus warnanya nggak tembus pandang."

"Oh gituuu, eh kayaknya aku punya deh. Bentaran."

Mery kembali mengacak lemarinya demi mencarikan baju yang sesuai kategori Arga. Menemukan, Mery berbalik dan menunjukkan dress pink panjang.

"Tadaaa. Yang ini, 'kan, panjang nih, coba kamu liat dulu," ujar Mery.

Dari jauh saja Arga tau dress itu sangatlah ketat, meski panjang menutupi lutut, tapi yang salah itu di bagian bahu.

"Apaan tuh bahunya bolong-bolong, jangan bilang kamu belinya di Amrik terus limited Edition lagi. Ganti ah yang lain, nggak suka."

Mery cemberut seketika, ia ingin marah tapi rasanya sia-sia. Memilih diam, Mery akhirnya melempar sembarang dressnya ke lemari lalu duduk di sofa kecil sudut kamar.

"Yaudah aku beli baju dulu, liburannya ditunda aja."

"Yakin?"

"Hm."

Skakmat. Mery terdiam, dia kira Arga akan paham maksudnya. Namun yang terjadi sebaliknya. Dasar nggak peka!

Sebal, Mery menopang dagu sambil cemberut, kapan sih Ga kamu iyain kemauan aku? Batin Mery, miris sekali.

Tiba-tiba Arga mendekat dan duduk di sampingnya. "Punya jeans overall sama kaos?"

"Punya," jawab Mery singkat.

"Pake itu aja."

"Nggak mau. Kayak cupu."

"Belum dicoba udah sok tau. Coba dulu gih, aku yakin cocok banget buat kamu."

"Males, aku nggak terbiasa pakai pakaian kayak gitu."

"Terus kenapa dibeli?"

"Bukan beli, hadiah ultah dari Papa."

Arga tertawa pelan. Menyadarkan Mery memang butuh kesabaran.

"Berarti kamu nggak sayang Papa dong. Kalo sayang pasti dipake," ucap Arga, Mery sempat mengernyit tidak suka. Arga buru-buru berkata sebelum cewek itu menyela. Diusapnya lembut rambut Mery. "Ry, nilai suatu hadiah itu nggak dilihat dari seberapa mahal harganya atau sebagus apa modelnya, tapi dari seberapa tulus niat orang itu memberikannya buat kamu. Papa ngasih itu penuh kasih sayang, masa kamu sia-siain gitu aja? Aku yakin Papa seneng kalo liat kamu pakai hadiah darinya."

Mery tertegun atas ucapan Arga, apalagi mengingat soal hadiah dari Riko, yang saat itu hubungan mereka baik-baik saja—setahun yang lalu lebih tepatnya.

"Masa?"

"Iya. Percayalah sama aku. Makanya kamu coba dulu."

"Okelah kalo gitu, kalo kekecilan kamu jangan ketawa."

"Iya-iya."

Jadilah, Mery beranjak dari sofa kemudian mencari jeans overall dan kaos ungu yang diberikan Riko setahun lalu. Mirisnya, baju itu masih terbungkus kado, Mery enggan memakai sebab tak suka modelnya.

Selesai mengganti baju di kamar mandi, Mery keluar, ukurannya ternyata tetap pas dan agak sedikit kebesaran.

"Gimana?" tanya Mery, memperlihatkan baju yang ia pakai.

Arga mengulum senyum, "Bagus. Kebesaran dikit sih. Tapi manis kalo kamu yang pakai."

Pipi Mery merona, ia mencubit lengan Arga. "Apaan, sih? Gombal!"

"Seriusan," kata Arga, dia merentangkan tangan. "Boleh peluk?"

Mery termangu sesaat, "Pe-peluk? Oh oke, aku nunggu itu dari tadi."

Mereka pun akhirnya berpelukan, Arga mengusap rambut Mery dengan nyaman, "Kangen."

Tiba-tiba deheman dari luar membuat keduanya refleks melepas pelukan.

"Papa?"



Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status