***
Persidangan pun berlanjut, Tiara masih menemaniku untuk mengantar dan menjemput dari rutan ke pengadilan dan sebaliknya. Hubungan kami jauh lebih dekat dan Tiara banyak bercerita padaku.
Jika aku boleh jujur, momen saat ini adalah momen ketika ‘tembok berlin’ benar-benar runtuh di antara aku dengan Tiara. Tidak ada pembatas, penghalang, atau pun pemisah untukku berdekatan dengan kapten detektif tersebut.
Sesekali Tiara kubuat tertawa akibat lelucon yang kulontarkan, terkadang jika keadaan jalan sedang macet, aku gunakan waktu berharga itu untuk bermesraan dengannya. Ia sama sekali tidak menolak, bahkan terang-terangan ingin terus keadaan manis ini tetap terjalin.
“Persidangan ini akan sulit, mereka tampaknya tidak mau menyerah,” ucapku.
“Benar, entah setelah mendengarkan semua penjelasanmu. Aku dilanda dilema, apa aku bisa benar-benar berada di pihakmu,” balas Tiara, kepalanya tersandar di bahuku yang besar s
Apa yang sedang terjadi? Kecelakaan mendadak dan melibatkan saksi dari Revan, apa ada orang luar yang berencana untuk membungkam mereka? Wah semakin menarik aja, yah, makanya jangan sampai ketinggalan cerita, simak terus di setiap update babnya, yah. Selamat siang :)
***Bus tahanan yang membawaku langsung berputar balik dan pergi ke lokasi kecelakaan tersebut, yang kuhawatirkan dari kejadian itu adalah keselamatan dan nyawa Ridho, pasalnya Ridho adalah saksi kunci dari kasus yang sedang membelitku.Aku panik, cemas, dan gelisah. Aku tidak bisa terdiam dengan tenang, keringat dingin terus menerus mengalir dari atas kepala membasahi seluruh tubuhku. Tiara pasti menyadari perubahan sikapku yang mendadak, itu dibuktikan dari tatapan matanya yang sesekali melirik kearahku pelan.“Tidak perlu khawatir, personil polisi yang menjaga mereka adalah yang terbaik. Aku yakin mereka baik-baik saja saat ini,” ucap Tiara, nada bicaranya yang lembut membuatku nyaman, tapi tetap saja aku tidak bisa memikirkan hal lain untuk membuat diri ini tenang.“Kamu benar, mereka mungkin terselamatkan oleh personil polisi di sana. Namun, disitulah letak masalahnya.”“Apa maksudmu?” tanya Tiara.Ia
*** Mereka langsung mengembalikanku ke rutan setelah mengantar semua polisi yang terluka. Selama sisa perjalanan, Tiara hanya bercerita sedikit dan tak banyak bertanya. Hal itu mungkin diakibatkan karena sikapku yang cukup agresif tadi, pasalnya setiap kali aku mengingat Risa, selalu saja terbesit ucapan buruknya ketika mengunjungiku tempo hari. Ia tidak akan berkata demikian jika tidak memiliki maksud tertentu, jika perlu kuhubungkan dengan kasus ini, kemungkinan besar Risa bekerja sama dengan orang-orang Stefano. “Maafkan aku, tadi aku mengatakan sesuatu yang kasar. Bukan maksudku untuk menghardikmu, tapi aku merasa kesal saja jika sahabatku sendiri harus disangkut pautkan dalam kasus ini,” ungkap Tiara. Suaranya lirih dan lembut tetapi tatapannya masih enggan memandangku, kepalanya tertempel dengan kaca jendela bus dan pupilnya bergerak seiringan dengan gedung-gedung yang terlewati. “Aku yang salah, aku sudah tahu kalau kamu tidak t
***Kuhampiri Nathan dan Violet yang duduk di bangku pengunjung, mereka berdua tampak begitu khusyuk membaca draft sampai tak menyadari keberadaanku di depan mereka.“Apa kamu butuh sesuatu, Revan?” tanya Violet.Aku mengangguk, aku menjanjikan kepada mereka untuk mengobrol saat istirahat pertama persidangan. Mereka tidak banyak membantah dan menyetujui apa yang kuperintahkan.Tiara tiba-tiba datang, wajahnya sama penasaran dengan mereka berdua ketika menatapku. Aku langsung menghentikan pembicaraan tersebut dan berjalan kembali ke kursi panasku, Tiara hanya terdiam melongo melihat sikap kami yang cuek.Persidangan berjalan alot, meski Nathan dan Violet banyak berbicara tentang fakta. Namun, hakim yang memimpin persidangan sepertinya tidak ingin mengakui hal tersebut, ia terus saja meminta skorsing waktu yang memuakkan.Seperti layaknya pertandingan bulutangkis, Nathan dan Violet terus melemparkan serangan ke kubu lawan, kulihat
***Hari ini, tidak ada jadwal persidangan yang menantiku, jadwal selanjutnya akan hadir tepat minggu depan di hari yang sama, karena itulah aku memiliki banyak waktu untuk berbincang dengan ketiga orang itu tentang rencana melarikan diri tersebut.“Apa kamu yakin akan melakukannya hari ini?” Abu datang menghampiri dan duduk tepat di sampingku, aku sama sekali tidak terkejut karena wajahnya paling banyak kutemui di antara napi lain di kantin.“Iya, aku pikir hari ini begitu cerah untuk sesuatu yang cukup gelap,” ungkapku.Kuteguk minuman terakhir yang tengah berada di dalam genggamanku sembari berdiri dan menatap tajam ke arah gerbang besar pembatas antara kebebasan dengan kurungan. Apa jadinya jika aku berhasil kabur dengan mereka? Apa aku bisa mendapatkan apa yang kuinginkan dengan segera?“Aku tidak melihatnya? Apa dia benar-benar melakukannya?” tanyaku.Kulirik dan kuputar mata ini berkeliling mencari
*** Kupikir keadaan jauh lebih baik dengan aku tetap berada di dalam rutan. Namun, sehari selepas kekacauan dan kebakaran terjadi, para sipir dan kepolisian mulai bertindak melakukan investigasi menyeluruh. Setiap napi yang mencurigakan didatangi dan ditanya terkait kekacauan tersebut, tentu mereka akan melakukannya mengingat kejadian kemarin memakan korban tewas sebanyak empat orang napi. Tak hanya sektor B dan C, mereka juga menyasar ke sektor elit seperti Sektor A. Para sipir itu pasti mencurigaiku juga, pasalnya kejadian kekacauan ini terjadi setelah beberapa minggu aku mendekam di sini. Hal itu tentu mengundang banyak pertanyaan bagi para sipir, apa yang sebenarnya terjadi di balik layar penjara ini? “Aku sama sekali tidak tahu tentang kekacauan tersebut, justru akulah korban hampir tewas dari salah satu napi,” balasku. Mereka memanggilku untuk masuk ke sebuah ruangan tertutup yang cukup remang dan senyap, dinding baja yang tebal
*** Seperti dugaanku, pada awalnya tangan ini masih begitu enggan untuk bergerak menusuk perut ini. Namun, kupikirkan lagi bagaimana jika Tiara datang dan ia disekap dengan keji? Aku pasti akan merasa bersalah karena ikut melibatkannya juga. Tapi malam itu, langsung kubulatkan tekad, langsung kutancapkan pisau lipat tersebut, menembus perutku dan merobek secara vertical. Karena kontraksi yang terjadi membuatku muntah darah dan pucat seketika, darah mulai deras keluar dari perutku dan ketika kulihat, ususnya pun ikut keluar bersamaan. Aku berhasil. Aku hanya perlu menunggu Cavid menolongku, kutekan luka tersebut dan menahan pendarahan yang lebih besar sebelum Cavid datang. Namun, pendarahan hebat yang terjadi membuat wajah dan tanganku pucat seketika. Pintu kamar terbuka, dengan pandangan kabur, kulihat seorang pria berpakaian lengkap tengah membereskan sarapan yang berantakan karena kakiku yang memberontak. “Cavid…?” “Tenanglah
***Sudah beberapa dua minggu aku dirawat di rumah sakit ini, mereka merawat dan menjagaku dengan baik.Pengunjung yang datang menbesuk juga dibatasi, mereka tidak ingin hal buruk menimpa mereka lagi. Tentu para pengunjung itu ditemani oleh seorang sipir yang mana otomatis mendengar semua perbincangan antara aku dengannya.Hari itu, Tiara yang berkunjung karena tempo hari aku memintanya untuk datang. Sesuai janji, wanita itu datang tanpa mengenakan seragam detektifnya, hanya setelan kasual kemeja hitam dan celana Panjang berwarna biru navy.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Tiara, aku mengangguk dengan senyum terulas di ujung bibirku.“Aku baik. Aku bisa makan makanan berat mulai kemarin” jawabku.Tiara tampak lebih menawan dari biasanya, berpakaian sederhana dengan setelan kemeja dan celana panjang membuatnya lebih ramping dari yang kuduga.“Syukurlah kalau begitu, aku selalu mencemaskanmu setiap malam,&rdquo
*** Nathan dan Violet ternyata datang lebih awal dari yang kuduga, tepatnya pukul tujuh malam. Mataku beradu pandang dengan mereka, tersirat kalau keduanya sudah paham terkait tugas mereka masing-masing sesuai rencana. “Kenapa dia tidak pulang?” tanya Nathan. Pria itu dengan spontan menunjuk seorang wanita yang tengah tertidur di atas sofa, dia tak lain adalah Tiara sendiri. Selepas makan risotto yang enak, ia malah mengantuk dan aku tidak tega jika menyuruhnya pulang dalam keadan seperti itu. Oleh karena itu, ia tertidur begitu terlelap di atas sofa. “Apa kamu tidak takut kalau dia terbangun dan melihat kita kabur?” tanya Nathan, cemas. “Tenang, dia tidak akan,” jelasku sambil berjalan mendekati Nathan. “Apa kamu yakin? Jangan dasarkan semua ini pada prasangka perasaanmu saja,” kecam Nathan. Kutepuk pelan pundak Nathan sambil tersenyum, aku tidak bisa memarahi atau membantah ucapan darinya mengingat apa yang dikatakann