Adi mendekatkan mulutnya ke telinga Bram, sehingga membuat lelaki itu memiringkan kepalanya untuk mendengar dengan seksama."Ada polisi yang mencari anda, ini tentang kematian tuan Anggara, mereka mengatakan sudah menemukan pelakunya, tetapi hal yang sangat mengejutkan pengakuan pelakunya itu," bisik Adi dengan hati-hati"Di mana mereka?" tanya Bram dengan suara pelan juga. Karena di pemakaman masih ada beberapa orang yang tengah bergerak keluar, dia tidak ingin apa yang akan dibicarakan bocor ke dunia luar, apapun itu kasus pembunuhan ayahnya harus dia dulu yang mengetahui seluk beluknya, dan dia dulu yang berhak memberi ijin semua akan disebar atau tetap disembunyikan."Mereka menunggu di pintu gerbang," jawab Adi membuat Bram mengernyit meminta kejelasan."Aman, Pak. Mereka tidak memakai seragam dinas."Setelah Adi mengatakan hal itu, Bram bergegas menemui pihak kepolisian tersebut yang sudah menunggu di depan gerbang pemakaman. "Selamat siang, Pak Bram! Saya Ipda Komarudin."Bra
"Kami sudah menyelidiki, di parkiran Star Teknologi ada cctv, di sana terlihat sekali siapa yang tengah bicara dengan pelaku, dia adalah istri anda.""APA?!" Tentu saja perkataan Iptu Anwar seperti petir di siang bolong bagi Bram. Dhea dalang dibalik wafatnya ayahnya? tidak mungkin!"Anda bercanda? tidak mungkin istri saya dalang dibalik semua ini. Ini pasti ada yang salah, ada yang menjebak istri saya," ujar Bram dengan suara bergetar, bukan hanya itu tangan lelaki itu juga gemetar mendengar kabar dahsyat ini."Itu pengakuan pelaku, saya masih harus menyelidiki lebih lanjut. Hanya saja kejahatan ini bukan kejahatan yang ringan, ini kriminal berat. Jadi saya harus menahan istri anda, Pak Bram.""Saya yakin istri saya tidak bersalah, jadi bisakah istri saya menjadi tahanan kota saja, selagi penyelidikan berjalan?""Bukan masalah itu. Jika istri anda bukan pelakunya, justru keberadaannya di luar akan lebih berbahaya untuk keselamatannya. Jadi mau tidak mau saya harus menahannya. Karena
"Bang, sepertinya ada yang menjebakku," ujar wanita itu dengan mata yang berkaca-kaca. Bersamaan dengan itu, Regal datang dengan pelaku yang dikawal oleh beberapa orang polisi lainnya. Dhea terkejut menatap lelaki berpakaian orange itu yang kini tengah menundukkan wajahnya, walaupun menunduk seperti itu, Dhea masih mengenalinya. Pertemuan dengan lelaki itu belum lama, baru lima hari yang lalu dan permintaan lelaki itu sungguh meninggalkan kesan untuk mudah diingat. "Jadi dia pelakunya?" tahu Dhea dengan suara bergetar. "Benar, Bu," jawab Regal. "Abang ingat, Dhea pernah cerita kalau ada lelaki yang menemui di parkiran dan meminta pekerjaan, katanya baru lulus kuliah ketika aku mintain ijazahnya di malah tidak membawanya?" Dhea menatap suaminya dengan yakin, membuat Bram juga mengingat momen di malam itu, lelaki itu otomatis menganggukkan kepala. "Dia orangnya ...," tunjuk Dhea ke arah lelaki yang masih menundukkan kepala. "Kenapa kamu memfitnah saya? Bekerja pada si
Bram mencengkeram ponsel istrinya, sepertinya ada yang tidak beres. Apa ponsel Ini sudah dibajak? Hanya satu orang yang harus dia mintai tolong mengenai hal ini. Niko! tetapi bocah itu sekarang sedang ke Kanada untuk mengikuti kompetisi teknologi internasional mewakili Star teknologi. Jadi, dia harus menunggu beberapa hari ke depan hingga anak itu pulang. Akhirnya Bram hanya bisa pulang ke kediamannya. Beberapa direksi sudah menghubunginya, tetapi tidak ada satupun yang diangkat panggilannya. Biarlah ... Bram sudah mewanti-wanti Iptu Anwar untuk merahasiakan tentang kasus yang menimpa Dhea hingga menemukan titik terang. Tetapi hari itu, Adi benar-benar datang menemuinya dengan tergesa-gesa. "Pak Bram, para direksi sudah berkumpul di kantor, mereka sudah menunggu kehadiran anda, Pak." "Untuk apa?" "Sepertinya, mereka akan mengadakan pembahasan yang serius." "Apa kau tahu apa yang akan mereka bahas?" "Saya dapat bocoran dari orang dalam, jika para direksi itu sudah menget
"Benar, sekarang kita harus memilih siapa yang akan menggantikan kedudukan Anggara," ujar Hanafi menanggapi. "Menurut perhitungan, Pak Anggara memiliki saham sebesar 15%, ketika beliau wafat, saham itu akan dibagi kepada istrinya lima persen, putra bungsunya lima persen dan putri keduanya lima persen. Sementara Pak Sayuti memiliki empat persen saham, Pak Hanafi juga memiliki empat persen saham. Saham yang lain dimiliki oleh Siska Anastasya putri kedua bapak Hanafi sebesar dua persen, Ajisaka putra pertama bapak Sayuti sebesar tiga persen. Sementara Saham terbesar masih dimiliki oleh Pak Bramantyo sebesar tiga puluh persen. Sedang pemilik saham yang lain tidak lebih dari satu persen per individu. Jadi kandidat sebagai ketua komisaris kalau merujuk kepemilikan saham masih berada di keluarga inti keluarga Adiguna, Bu Nirmala, Pak Arjuna atau Nona Sania," ujar Pengacara perusahaan sebagai ahli hukum perusahaan yang dari awal sudah ditunjuk oleh kakek Hanggono memberi informasi tentang s
"APA?!" Bram menggeram kesal mendengar perkataan Sayuti. sudah dia prediksi hal seperti ini cepat atau lambat akan terjadi, namun ketika sudah tiba saatnya terjadi, hatinya belum juga sanggup menanggungnya. "Apa om pikir aku sudah gila? istriku sedang kesusahan, aku malah akan meninggalkannya? apa yang terjadi juga belum terbukti dia yang melakukannya!" "Bram! yang dibunuh itu ayahmu sendiri! apa sebegitu bencinya dirimu pada ayahmu, sehingga tidak peduli. Kamu malah mempedulikan pembunuh itu!" Nirmala yang hatinya sedang kacau jelas tidak terima mendnegar Bram membela istrinya. "Ini belum persidangan, kenapa kalian sudah mengecapnya bersalah?" "Aku tidak peduli, akan aku pastikan perempuan sialan itu akan membusuk di penjara!" Nirmala berteriak tidak terima. Bram duduk dengan tenggang, tangan lelaki itu mengepal kuat, sepertinya semua orang sedang memojokkannya akibat tuduhan kepada istrinya itu. Bram sudah menyewa pengacara, pengacara juga mengatakan sulit mengeluark
Walaupun berita tersebut sudah diblokir, mendatangi media tersebut dan menutup mulut mereka, Niko juga mengerahkan para hacker untuk memblok sosial media, namun berita itu bocor juga. Hal itu jelas membuat Bram panik, ada dua orang kali ini yang harus dijaga perasaannya, istrinya dan neneknya. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana kondisi Dhea jika tahu berita di luaran sana menyudutkannya. Mungkin di dalam sel penjara hidupnya juga tidak tenang, sementara neneknya yang terlihat begitu sayang padanya, juga sayang pada cicit menantunya itu bagaimana bisa menghadapi jika cicit menantunya itu yang telah membunuh anak kandungnya. Sementara itu, di hari pertama Dhea masuk ruang tahanan, di dalam ruangan sudah ada lima wanita yang juga masuk ke sana dalam rangka menunggu nasib mereka yang akan diputuskan oleh pengadilan. Dhea bukannya tidak tahu jika di rumah tahanan ataupun sel penjara adalah tempat berkumpulnya para kriminal, pasti tidak akan lepas dari kekerasan. Tetapi mendengar
"Jadi, siapa diantara kalian yang akan kuhabisi duluan? Membunuh orang sudah menjadi pekerjaanku. Aku adalah pembunuh bayaran! orang yang baru saja kubunuh adalah seorang petinggi sebuah perusahaan, orang kaya dan berpengaruh. Membunuh kalian bagiku itu sangat mudah, aku dulu pernah menjadi wanita militer yang ditugaskan di Papua! Sekarang, maju! siapa yang mau kubunuh terlebih dahulu!". "Ah, tidak! tidak!" Mereka berteriak ketakutan mana kala Dhea berdiri dan akan menghampiri mereka. Romlah bahkan gemetar ketakutan, wanita itu sampai bersujud meminta ampun. Diikuti yang lainnya. "Ampun, Nona. Maafkan kami, maafkan kami." "Kalau begitu, mulai dari sekarang, kalian jangan pernah mengganggu dan mengusik ketenanganku. Aku sedang banyak pikiran, jika banyak pikiran aku akan emosional, mudah marah dan mudah menghabisi orang." "Baik, Nona. Baik!" ***** Sudah tiga hari Dhea mendekam di dalam tahanan, perasaannya semakin gelisah. Dia benar-benar tidak tahu bagaimana kabar di lua