“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku.
Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun.
“Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku.
“Tunggu,” katanya.
“Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.”
“Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut.
“Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.”
“Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku.
Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?”
Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.”
“Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi.
Aku menggeleng. “
Jangan lupa vote yah. Ayo tebak, siapa yang mergokkin Amanda dan Dareen. Tulis di kolom komentar <3
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
Chapter 1. The Beginning.Mempunyai ibu dan saudara tiri adalah yang menyebalkan. Seperti Cinderella yang selalu menjadi nomor dua. Namun aku bukanlah Cinderella yang selalu ingin ditindas. Bahkan, boleh dibilang kalau dirikulah yang menjadi pembangkang disini.“Amanda, pakaian yang udah dicuci aku letakin di sini yah.”Dia adalah saudara tiriku yang bernama Devina, sudah tugasnya mencuci dan melipat semua pakaianku. Mungkin kalian berpikir aku adalah orang yang jahat. Tapi, Devina dan ibunya yang bernama Nayah hanyalah orang-orang yang baik karena sebuah harta. Ya, mereka adalah orang yang munafik.“Kamu mau keluar?” Dia bertanya.Aku mengangguk. “Hm...,” jawabku seraya memoles liptint di bibirku.“Mau kemana? Sekarang udah jam 8 malam, kamu udah diizinin sama ayah?”“Mau ke party-nya Rama. Gue gak perlu izin dari siapapun.” Aku kemudian mengambil catokan
Kini aku sudah berada di rumah Rafael. Rumahnya tampak sepi mungkin orang tuanya masih bekerja. Sementara itu, aku harus menunggu karena kata pembantunya, Rafael sedang mandi.“Amanda…” Terlihat Rafael menghampiriku. “Ada apa?”“Aku mau ngomong sesuatu sama kamu.” Raut wajah Rafael tiba-tiba saja berubah, dia kemudian duduk di hadapanku.“Apa?” tanyanya.Aku kemudian mengeluarkan hasil testpackku dan menunjukkannya.“Apa maksudnya ini?” Dia bertanya dengan wajahnya yang tegang.“Aku hamil,” jawabku sambil menunduk. “Kamu tanggung jawab yah.”Rafael mengusap rambutnya. “Tanggung jawab apa, Amanda? Gak mungkin kamu hamil. Kita hanya lakuin itu sekali. Lagian aku kan udah nyuruh kamu buat minum pil.”Aku benar-benar terkejut melihat reaksi Rafael. Aku tidak menyangka dia akan meresponnya dengan seperti ini.“Gimana a
Kini aku berada di New York. Sudah empat tahun aku menjalani kehidupanku. Mengenai anakku, dia diadopsi sementara oleh Gavin, kakakku yang merupakan anak dari paman James—suami ibu. Gavin mempunyai istri bernama Natalie. Kami sangat akrab satu sama lain, aku beruntung keluarga ibu di Amerika sangat menerima keadaanku. Sementara aku saat ini harus fokus kuliah terlebih dahulu. Tapi, meskipun begitu aku dan anakku yang bernama Alex sering menghabiskan waktu bersama.Siang ini aku memulai semester baru. Tapi, sebelum itu aku harus membeli sebuah buku terlebih dahulu untuk kelas hari ini. Akupun ke toko buku terdekat untuk mencari buku. Baru saja ingin mengambil sebuah buku yang kuinginkan. Terlihat juga seorang pria secara bersamaan mengambil buku tersebut.“Maaf, bisakah anda mengalah? Ini sangat penting untukku,” ucapku.“Mengalah? Kalau tidak salah tangan saya seperkian detik dari pada tanganmu dan ini juga penting untukku.”
"Baik, cukup sampai di sini saja materi yang saya jelaskan." Setelah menyelesaikan materi pengantar yang dijelaskannya, Dareen lalu keluar dari kelas. Kemudian, kurasa ponselku bergetar. Aku lalu melihatnya, rupanya ada pesan singkat dari Dareen. "Keruangan saya sekarang juga!"Aku heran kenapa dia mengirim pesan singkat, kenapa tidak dari tadi saja bilangnya ketika menutup kelasnya. Dasar dosen aneh! "Permisi, Mr.Ivander," ujarku seraya mengetuk pintunya yang setengah terbuka. "Masuklah." "Ada apa, Mr.Ivander memanggil saya?" "Apa kau lupa untuk membantuku menyusun data mahasiswa?" "Ah tentu tidak, aku pikir Mr.
"Kita jadinya nonton apa?" tanya Gavin. Kini kami sedang berada di bioskop, berhubung malam minggu maka kami sekeluarga memutuskan untuk nonton film. Ibu juga terlihat suntuk beberapa hari. Mungkin karena ia merasa kesepian tanpa suaminya. "Amanda, kalau kau mau nonton apa?" Natalie melempar pertanyaan kepadaku yang bingung mau nonton film apa. "Aku mengikut saja." "Mom¸mau nonton film apa?" "Terserah kalian saja." "Kenapa kalian para wanita ini tidak pernah memberi jawaban jelas dan pasti. Giliran filmnya yang aku pilih terus kurang bagus kalian akan mengeluh," gerutu Gavin yang dari tadi sudah mengantre tapi belum juga mendapat kepastian wanita.
Aku berlari terburu-buru menyusuri koridor kampus. Bagaimana tidak terburu-buru, kelas sudah dimulai sejak tiga puluh menit yang lalu dalam artian aku terlambat. Semalam aku menghabiskan malamku dengan bermaingamebersama Gavin dan aku lupa kalau kelas Dareen hari ini dimajukan dengan alasan dia harus rapat dosen. Tok..Tok..Tok. Aku mengetuk pintu ragu lalu membukanya dengan ragu. "Maaf Mr.Ivander saya terlambat, apa saya masih boleh mengikuti kelas?" Dareen menatapku tajam. "Kau tahu betul aturanku kan, datang dengan tepat waktu. Apa kau datang tepat waktu sekarang?" Aku menggeleng pelan. "Maaf, Mr. Ivander. Aku lupa jika jadwal hari ini dimajukan."
Saat ini aku sedang berada di perpustakaan sibuk mengerjakan data-data mahasiswa. Sekaligus, mengerjakan tugas yang diberikan Dareen kemarin sebagai hukuman karena diriku terlambat. "Tidak kusangkan Mr.Ivander memberimu banyak tugas," ucap Jessica tiba-tiba yang sedikit mengagetkanku karena keberadaanya. "Yah, dia sedikit kejam menurutku," jawabku sembari berkutat dengan laptopku. "Kau dari mana saja?" "Aku tadi menyempatkan diriku untuk bertemu dengan Noah. Apa kau tahu, aku dan Noah sudah resmi berpacaran." "Betulkah? Kapan?" Aku turut senang mendengar Jessica jadian dengan Noah. Ia adalah senior kami di kampus. Dia pintar, tampan, dan baik. Jessica sudah lama mengejarnya namun Noah selalu mengabaikannya. Kini, mereka sudah berp