Ketika cinta membuatmu salah arah dan ketika luka membuatmu lebih terarah Ketika sosok yang kau cintai memberimu luka dan noda dan ketika sosok yang asing bagimu justru memberimu kesetiaan dan kepercayaan Ini aku yang telah terlewatkan olehmu. ~~oo~~ Amanda El Malik terpaksa harus hidup dengan ayahnya yang menikah lagi tidak lama setelah baru saja cerai. Ia harus menjalani hidupnya bersama ibu dan saudara tirinya yang ia rasa menyebalkan. Hingga suatu hari ia melakukan sebuah kesalahan bersama kekasihnya. Hal ini membuat masa depannya terancam hancur. Amanda melarikan diri dari kehidupannya dan melanjutkan pendidikannya di luar negeri, ia pergi bersama ibu kandungnya. Kemudian, rintangan baru ia temui. Berhadapan dengan dosen yang menyebalkan namun menggoda dalam waktu yang sama. Mampukah Amanda melewati segala rintangan kehidupannya? ~~oo~~ Follow Ig : shylapra
View MoreMempunyai ibu dan saudara tiri adalah yang menyebalkan. Seperti Cinderella yang selalu menjadi nomor dua. Namun aku bukanlah Cinderella yang selalu ingin ditindas. Bahkan, boleh dibilang kalau dirikulah yang menjadi pembangkang disini.
“Amanda, pakaian yang udah dicuci aku letakin di sini yah.”
Dia adalah saudara tiriku yang bernama Devina, sudah tugasnya mencuci dan melipat semua pakaianku. Mungkin kalian berpikir aku adalah orang yang jahat. Tapi, Devina dan ibunya yang bernama Nayah hanyalah orang-orang yang baik karena sebuah harta. Ya, mereka adalah orang yang munafik.
“Kamu mau keluar?” Dia bertanya.
Aku mengangguk. “Hm...,” jawabku seraya memoles liptint di bibirku.
“Mau kemana? Sekarang udah jam 8 malam, kamu udah diizinin sama ayah?”
“Mau ke party-nya Rama. Gue gak perlu izin dari siapapun.” Aku kemudian mengambil catokan. Devina masih saja memandangku dengan penuh tanya. Wajahnya begitu menyebalkan.
“Apa lo liat-liat gue? Syirik lo karena gak diundang? Lagian siapa sih yang mau bergaul sama anak pelakor.”
Devina tidak menjawab tapi dapat kulihat dari raut wajahnya, ia seperti menahan amarah. Devina kemudian pergi begitu saja meninggalkan kamarku.
Setelah selesai bersiap-siap, aku kemudian turun. Terlihat semua orang sedang berkumpul di ruang tengah. Ayah yang melihatku terus memanggil-manggilku seraya bertanya kepadaku. Tapi, aku mengabaikannya.
“Aku pergi..” pamitku yang acuh tak acuh.
Akupun segera keluar karena kekasihku sudah menunggu. Dia bernama Rafael, pria yang cukup famous di sekolahku. Kami berpacaran sejak kelas satu SMA hingga sekarang, kelas tiga SMA.
“Yuk jalan,” kataku.
“Okay babe.”
Akupun sampai di kelab malam tempat Rama mengadakan pesta ulang tahunnya. Sebenarnya aku malas datang di tempat seperti ini. Tapi, Rama adalah sahabat Rafael sehingga mau tidak mau aku harus menemani Rafael datang ke sini.
Kamipun menuju ruangan VIP yang sudah dipesan oleh Rama. Kulihat Rama menawarkan minuman ke Rafael.
“Ini alkohol, Raf.” Aku menahan Rafael agar tidak meminum minuman haram itu.
“Ya elah, Amanda.. Amanda, biarin Rafael minum dong kan segelas doang,” ujar Rama.
“Gapapa kok, segelas doang.” Rafael meyakinkanku. Aku akhirnya membiarkannya dia meminum minuman alkohol itu.
Begitu Rafael menghabiskan gelas pertama, semua teman-temannya bersorak. Bahkan, Rafael tidak hanya minum satu gelas. Akupun berusaha menahannya tapi sepertinya dia tidak mendengarku.
“Amanda.. lo coba juga deh, enak kok. Segelas aja.” Bahkan kini Rama menawariku juga minum. Semua teman-teman Rafael bersorak agar aku pun ikut minum.
“Minum yah, coba segelas aja dulu.” Rafael memberikanku satu gelas yang berisi bir.
Aku pun dengan terpaksa meminumnya. Rasanya seperti tenggorokanku terbakar, namun tidak berhenti sampai disitu. Aku terus disodori minuman dan tanpa sadar aku mulai menikmatinya.
Hingga aku dan Rafael sudah merasa sedikit mabuk. Kudengar Rama berkata kepada Rafael kalau ada kamar hotel di sebelah kelab ini yang bisa dipakai untuk bersitirahat sementara.
Begitu sampai di kamar hotel, aku dan Rafael langsung jatuh ke kasur. Kami berdua seperti begitu mabuk tapi masih dalam keadaan yang sadar. Aku pun mulai membuka cardiganku karena merasa gerah. Sementara Rafael yang tadi baring kini bangun dan memelukku dari belakang.
“Raf, apaan sih.” Aku protes karena kurasa ia sedang mencium bagian pundak dan leherku. Aku lalu berbalik menghadapnya.
“Amanda… kamu cinta sama aku kan?” tanyanya dengan serak.
“Tentu,” jawabku. “Memangnya kenapa?”
Rafael tersenyum, dia kemudian memegang tengkuk wajahku menarikku mendekat. Ujung hidung kami mulai bersentuhan, kurasa nafas beratnya yang masih sangat jelas beraroma alkohol.
“Karena aku mau kamu sekarang, sayang.” Rafael berkata kemudian menarikku dan menempalkan bibirnya dengan bibirku. Awalnya aku hanya diam, tapi kurasa sesuatu mulai menerobos. Dia kemudian mengigit ujung bibirku, sehingga dia mempunya akses lebih. Dia melumat dan mengisap lidahku bagaikan permen.
Aku yang terbawa suasana, menikmatinya dengan mengeluarkan desahan. Rafael kemudian berpindah ke leherku. Memberi tanda kissmark, aku kembali mendesah tak karuan. Tubuhku semakin terasa panas.
Rafael membuka dressku, sehingga menyisahkan diriku yang hanya mengenakan bra. Dia juga mulai membuka kemeja nya, sehingga terlihat jelas tubuh shirtlessnya. Rafael kembali menciumku dengan rakus hingga aku jatuh terbaring di kasur dengan posisi dia menindihku.
Tangannya mulai menelusup untuk membuka pengait braku.
“Ahhh…” Suaraku kembali mendesah. Kuharap ruangan ini kedap suara.
Rafael membuka pakaian bawahku hingga sekarang terlihat jelas tubuhku tanpa sehelai benang yang menutupinya. Rafael kemudian, juga membuka celana jeans dan boxer-nya.
Posisinya kembali menindihku. Dia menatapku dengan lekat. “Ini mungkin akan sakit, but I still want you. So, don’t say stop to me.”
Aku hanya diam. Tapi, kemudian di bawah sana kurasa ada sesuatu menerobos masuk dalam diriku. Aku merasa perih tapi, dia tetap melakukannya. Dia memberikanku sebuah ciuman untuk meredah rasa sakit.
“Ahhhh…”
Aku mulai mendesah merasakannya begitupun Rafael. Suara kami sepertinya terpenuhi di setiap sudut ruangan ini. Kami seperti melupakan dunia kami dan begitu menikmati malam ini.
***
Kubuka mataku dengan samar-samar, aku melihat cahaya yang masuk. Kepalaku terasa sedikit sakit. Wait, aku sepertinya berada di ruang yang asing. Ini bukan kamarku, aku lalu melihat ke samping. Ada Rafael yang duduk dan hanya mengenakan bawahan saja. Aku kemudian melihat diriku yang hanya terbungkus selimut tanpa sehelai benang di baliknya.
“Raf..” panggilku. Jujur, aku terkejut dengan keadaanku sekarang. Tapi, aku berusaha bersikap senetral mungkin.
Rafael kemudian berbalik. “Ka—Kamu udah bangun?”
Aku menangguk lalu kemudian beranjak dari posisi tidurku. “Arghh,” ringisku ketika merasa terasa nyeri di bagian selangkanganku. Aku langsung melihat di balik selimut dan ada bercak darah. Wajahku memucat. Aku mulai sadar sepenuhnya, kalau semalam kami sudah melakukan hal itu.
Air mataku tanpa kusadari mulai jatuh. Aku merasa takut, cemas, dan khawatir. Semua bercampur menjadi satu.
“Amanda..” lirihnya seraya berjalan ke arahku. “Semua akan baik-baik aja kok, kamu juga bakalan baik-baik aja. Lupain aja semua kejadian tadi malam. Maafin aku yah, kamu jangan nangis.” Rafael berusaha meyakinkanku tapi terlihat jelas wajahnya juga menunjukkan kecemasan.
“Bagaimana kalau aku—“
“Tidak, kamu gak akan hamil, aku akan pastiin itu.”
“Aku takut.”
Rafael kemudian mendekapku. ”Jangan takut, ada aku. Semua bakalan baik-baik aja.”
“Kamu janji?”
“Janji.”
***
Sekarang aku sudah berada di rumah, Rafael mengantarku pulang. Di perjalanan tadi, kami tidak saling bicara. Kulihat Rafael mengirimi aku pesan singkat untuk meminum pil pencegah kehamilan. Apa maksudnya pil KB? Tapi, dimana aku mendapatkannya?
Aku mencoba untuk meminta kepada Rafael untuk membelikanku, tapi dia langsung menolak dengan alasan, tidak mungkin kalau seorang pria membeli pil itu. Apa sekarang dia ingin lepas tangan?
Sudah tiga minggu berlalu malam itu, hari-hari kulewati begitu saja dan begitu berat. Aku tidak jadi minum obat pil pencegah itu karena setiap kali mencarinya ke apotek, aku selalu dihantui pertanyaan-pertanyaan. Seperti, ‘sudah menikah?’ ‘alasan menunda kehamilan?’ ‘Suaminya mana?’ dan terakhir kerap kali juga aku ditanyai usia hingga KTPku diminta.
Sekarang, aku merasa sepertinya Rafael menghindariku. Sudah tiga minggu juga kami tidak berangkat bersama. Alasannya sangat banyak mulai antar ibunya hingga alasan tidak logis. Di sekolahpun Rafael terlihat menjauhiku.
Dan hari ini adalah hari terakhir ujianku. Selama tiga minggu ini, aku belum merasakan apa-apa. Hanya saja, nafsu makanku sepertinya berkurang dan sekarang kepalaku terasa sakit. Alika yang merupakan sahabatku, sedari tadi bertanya tentang keadaanku.
“Lo baik-baik aja kan?”
Aku mengangguk tapi seperkian detik kemudian aku beranjak berlari menuju toilet. Tiba-tiba saja, perutku terasa mules dan merasa mual. Aku segera mencari bidik toilet yang kosong untuk mengeluarkan rasa mualku.
“Manda, lo gapapa kan?” Kudengar Alika dari luar mengetuk pintu dan bertanya. Akupun segera keluar begitu merasa sudah mendingan.
“Gue baik-baik aja, mungkin lagi masuk angin,” kataku.
“Ini tas lo.”
“Makasih yah.”
Dalam pikiranku aku mencurigai satu hal pada kondisiku saat ini. Akupun memutuskan untuk mengecek apakah dugaanku memang benar.
“Ka, gue pulang duluan yah.” Belum sempat Alika menjawab, akupun langsung pergi meninggalkannya.
***
Aku berjalan dengan ragu menuju sebuah apotek. Tujuanku adalah untuk membeli testpack. Semoga saja, penjaga apotik tidak menanyakan aneh-aneh terhadapku.
“Mba, saya mau beli testpack.”
Terlihat wanita itu memandangiku dari atas sampai bawah. Sial, aku lupa kalau aku masih mengenakan seragam sekolah.
“Eh—testpacknya untuk kakak saya, tadi dia nitip ke saya untuk dibeliin.” Aku langsung beralasan, semoga saja dia mempercayai kebohonganku.
“Tunggu sebentar!” ucapnya lalu beralih mengambilkan testpack kepadaku. Aku kemudian, membayarnya dengan segera dan pergi meninggalkan apotek itu.
Sesampaiku di rumah, aku begitu terburu-buru masuk ke kamarku. Aku sangat ingin mengetahui apakah yang kutakutkan benar terjadi.
Setelah melakukan test, kulihat hasilnya bergambar garis dua. Aku menangis sesegukkan. Ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku lalu bergegas memesan taksi online menuju rumah Rafael. Rafael harus tahu ini dan mempertanggung jawabkan perbuatannya.
~~oo~~
Pintu rumah kemudian tiba-tiba terbuka. “Jadi, sekarang kalian sudah resmi menjadi sepasang kekasih?” Ternyata itu adalah suara Gavin yang seakan-akan terasa memergokiku. Tapi, memang nyatanya seperti itu hanya saja ini terasa… ah entahlah, yang jelas aku merasa sangat malu. “Kau—kenapa tiba-tiba membuka pintu?” tanyaku kepada Gavin yang sedikit terbata-bata. “Kau pergi terlalu lama, aku mengirimi pesan tapi kau tidak membalasnya. Baru saja berencana untuk menelpon mu tapi kudengar ada suara.” “Lalu, kau menguping?” Aku menatapanya dengan penuh rasa penasaran. “Aku akui kalau aku mendengar pembicaraan kalian.” Dia berkata dengan santai. “Kenapa kau—” “Dengar, aku punya telinga. Bukan salahku jika aku mendengar pembicaraan kalian.” Gavin terlebih dahulu menyela kata-kataku sebelum aku ingin mengajukan protes dengannya. “Kau bisa saja menghindarinya,” sanggahku. “Sudah terlanjur menikmati.” Lagi-lagi Gavin b
“Jadi, apa yang ingin kau bicarakan?” tanyaku. Dareen hanya diam, dia tidak membuka mulutnya sama sekali. Sudah hampir lima belas menit aku duduk di dalam mobilnya tapi dia belum mengatakan apapun. “Sampai kapan kau akan diam? Sudahlah, kalau tidak ada yang ingin kau katakan lebih baik aku pergi saja.” Aku berkata seraya meraih pintu mobil untuk untuk membukanya tapi Dareen terlebih dulu menahan lenganku. “Tunggu,” katanya. “Katakan, aku harus pergi supermarket sekarang.” “Aku bingung dengan sikapmu, apa yang terjadi denganmu.” Akhirnya Dareen membuka mulut. “Tidak ada apa-apa. Kau hanya ingin mengatakan itu? Kalau begitu, aku pergi.” “Tunggu, Amanda!” bentaknya yang kemudian kembali menarik tanganku. Aku terpekik. “Ada apa, Dareen?” Dareen kemudian menghela napas. “Kau sangat berbeda, kau bahkan tidak mau menerima kalung dariku.” “Katakan padaku, kau kenapa?” tanya Dareen lagi. Aku menggeleng. “
“Sebenarnya apa yang terjadi denganmu dan Mr. Ivander?” tanya Jessica. Saat ini aku sedang berada di apartemen Jessica. Sebenarnya, tidak ada yang perlu kuselesaikan dengannya. Aku hanya beralasan dengan Dareen kalau aku mempunyai urusan penting dengan Jessica. Aku tahu, jika aku tidak berbohong seperti tadi kemungkinan ia akan semakin menahanku. Akhirnya aku mengetahu kalau selama ini Dareen berada di Kanada, entah apa yang dilakukannya di sana. Mungkin dia pergi menghabiskan waktu atau bermulan madu sekalian dengan Jules. Itu sangat membuatku tidak tenang. Tadi dirinya memberikan sebuah kalung mapple kepadaku. Kalung itu sangat indah, rasanya ada rasa penyesalan karena menolaknya. Tapi, aku mempertahankan harga diriku. Aku tidak ingin termakan cinta buaya lagi. Butuh waktu lama untuk sembuh dari luka yang kudapatkan dan aku tidak ingin membuat luka baru lagi karena pada akhirnya hanya akulah yang akan tersakiti. “Amanda?!” panggil Jessica lagi
“Amanda, lanjutkan makanmu. Kenapa kau diam saja?” tanya Jessica menyadarkanku dari lamunanku. Aku kemudian hanya mengangguk seraya melanjutkan makan siangku. “Apa kau baik saja-saja?” Ia kembali bertanya. Apa aku harus bilang kalau aku tidak baik-baik saja melihat Dareen sedang menikmati waktu berdua dengan wanita itu. Aku juga bingung kenapa aku sangat merasa terganggu dengan hal itu. “Aku baik-baik saja,” jawabku akhirnya. Kami pun kembali diam seraya menikmati makan kami. Meski aku tidak begitu menikmatinya karena ada 2 belalang di sekitarku. Mungkin Dareen dan Jules tidak melihat kami, sehingga dari kejauhan dapat kulihat kalau mereka sedang berbicara serius. Entah apa yang dibicarakan oleh kedua belalang itu, mungkin mereka sedang membicarakan masa depan mereka. Memangnya apa peduli ku. “Ayo, kita pergi. Aku sudah selesai.” Jessica berkata seraya beranjak dari tempatnya. Aku pun mengikutinya. Kali ini kami akan mele
Aku bangun dari tidurku, merasa sekujur tubuhku terasa pegal. Yah, semalam adalah acara ulang tahun yang melelahkan untuk ukuran orang yang sudah berumur. Paman James, Gavin, dan Dareen menggila karena mereka terlalu banyak minum. Sehingga, rumah kami menjadi berantakan dan aku yang harus bertanggung jawab untuk membereskan semua itu. Aku kemudian berjalan menuju kamar mandi, membasuh wajah dan menggosok gigi. Setelah itu, aku pun segera turun. Di ruang tengah tampak amat berantakan. Terlihat juga Dareen yang tertidur di sofa lalu di lantai ada Gavin. Sementara paman, mungkin ia sudah diseret oleh ibu ke kamarnya. Aku berjalan menuju Dareen, berencana membangunkannya. Mungkin hari ini ia mempunyai jadwal mengajar. “Dareen, bangunlah! Sudah jam 8 pagi. Apa kau tidak punya jadwal kelas hari ini?” kataku sembari menepuk-nepuk bahunya. Namun, yang ditepuk masih tertidur pulas. Aku kembali mencoba membangunkannya, kali ini aku menariknya dengan keras
Dareen terus mengelus kepalaku, ia juga semakin mengeratkan pelukannya. Aku? Aku masih diam, sungguh sekarang sangat nyaman berada dalam pelukannya, rasanya biarlah dulu seperti ini. “Sampai kapan kau akan terus memelukku seperti ini?” tanyaku. “Sampai aku merasa puas.” Dia semakin mengeratkan pelukannya. Entah mengapa kata “puas” begitu ambigu di telinga aku. Apa dia tidak tahu kalau sekarang wajahku begitu merah seperti kepiting rebus. “Apa kau lupa sekitar sejam yang lalu kau membentak dan mempermalukanku di depan kelas.” Dareen kemudian melepas pelukannya lalu kedua tangannya menangkup wajahku. Sorot matanya begitu damai menatapku dan hal itu membuatku terbang. “Maafkan aku karena telah membentakmu.” “Dosen macam apa yang meminta maaf ke mahasiswanya begitu mudah.” Aku menyindirnya, aku tahu biar bagaimanapun juga diriku tetaplah salah mengenai tugasku. “Dosen yang tergila-gila dengan mahasiswanya.” “Ck! Dasar aneh,
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments