KYAAA APA DILAMAAAR? [plak]
Mysha menahan napas ketika Axel menyentuh garis wajahnya, berusaha menenangkan jantung yang sudah melompat liar. Axel menjadi berani karena kesalahan ucapnya barusan. Mysha mengutuki diri dan membungkam pikiran liarnya ketika Axel mendekat. Aroma musk yang maskulin masuk tanpa permisi ke indra penciumannya, membuat kaki perempuan itu lemas. Ingin sekali dia bersandar pada dada bidang di hadapannya. Ketika Axel menunduk dan mengecup pipinya pelan, Mysha menutup mata sementara napasnya berlomba. Sensasi geli menyebar dari pipi hingga ke seluruh tubuh ketika lagi-lagi pria itu berbisik pelan, penuh gairah, di telinganya. "You finally falling for me." Suara bariton itu seakan membelai seluruh tubuhnya, membuat helaan napas lolos dari mulut yang setengah terbuka. Mysha merasakan tubuhnya meremang, menginginkan pria arogan itu saat ini juga. Arogan. Kesadaran menghantamnya keras, membuat Mysha kembali fokus. Dia menjilat bibirnya yang kering dan menelan ludah, sebelum berkata, "Saya pe
Badai perasaan memorak-porandakan dinding pertahanan yang selama ini dibangun oleh Mysha. Badai dahsyat yang disebabkan oleh senyuman tulus pria arogan di sampingnya. Senyum yang baru kali ini dilihatnya. Andai saja bibir itu lebih sering melengkungkan senyum seperti itu, bukan hanya senyum formal saat bertemu calon investor. Benak Mysha kembali berkelana, kali ini ke suatu sabana. Hanya ada ia dan Axel, seperti saat ini. Mereka menghamparkan kain, berpikinik malam hari, berbaring menikmati hamparan gemintang di langit malam. Mysha akan bersandar di dada bidang Axel, lalu lelaki itu akan menunjukkan rasi-rasi bintang. Orion, Scorpion, dan Crux. Sementara Mysha berpura-pura paham, karena ia tak bisa menarik garis-garis khayal yang dibentuk oleh bintang-bintang itu. "Are you hungry? Setelah ini, kita cari makan dulu." Sura bariton Axel memecah lamunan Mysha dan menariknya kembali ke dunia nyata. "Eh, ehm... Baik, Sir. Terserah Anda saja," jawab Mysha dengan nada formal. Ia sedang beru
Mysha menolaknya. Axel mengetuk-ngetukkan jari kesal di lengan sofa hitam berbalut kulit halus. Punggungnya diistirahatkan pada busa empuk sementara tangannya yang lain mengusap dagunya yang sengaja dicukur rapi. Dia sudah selesai membersihkan diri dan berganti pakaian. Dengan satu set tuxedo hitam, kemeja putih dan vest serta dasi berwarna perak, membuat penampilan Axel makin gagah. Tidak sia-sia memiliki koneksi butik dan make up artist papan atas. Semua keinginan Axel dapat disediakan dalam sekejap. Pria itu menghela napas, melirik jam tangannya yang menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Mereka akan terlambat. Mengutuki kekeraskepalaan Mysha yang menolak memakai gaun yang sudah dia pesan, pemilik butik terpaksa mengepas ulang pilihan gadis itu. Padahal, Axel yakin Mysha sangat cocok memakai gaun perak yang sudah disediakan. Gaun itu akan menonjolkan lekuk tubuhnya. CEO itu menelan ludah untuk memadamkan gairah yang sudah tersulut. Akhir-akhir ini pikirannya dipenuhi oleh Mysha
Mysha terjebak diantara Axel dan Michael, merasa tak nyaman melihat aura permusuhan kedua pria itu karena dirinya. Ia sungguh tak ingin terjadi keributan apa pun. Dengan takut-takut, Mysha memegang bahu Axel, berusaha menenangkan pria itu. Namun, Axel justru menepis tangan Mysha lalu membuatnya menyingkir hingga tersisa Axel dan Michael yang saling berhadapan. Mata kedua pria tampan itu berkilat menantang. Amarah yang bergelora seolah membakar tempat yang mereka pijak. Axel melayangkan tinjunya. Telapak tangan Axel yang terkepal hanya berjarak beberapa inci dari wajah Michael ketika seorang pria gagah berambut lebat berwarna cokelat menangkap tinjunya. "Hentikan! Sadarlah, kalian mulai menarik perhatian orang-orang. Apa kalian berani mempertaruhkan nama besar CLD karena ulah kalian?!" seru pria itu dengan suara dalam yang ditahan. Axel dan Michael menoleh ke arah sumber suara. "Will...?!" seru mereka bersamaan. Axel menurunkan tinjunya, meski masih menyimpan kekesalan. Ia tadi b
Tak memedulikan Michael yang masih berbincang dengan William, Axel kembali membimbing tangan kiri Mysha untuk menggandeng lengan kukuhnya. Alih-alih Axel merengkuh pinggul seksi Mysha, ia memilih membelai punggung tangan perempuan yang menggenggam lengannya gugup. Pria dengan daya pikat luar biasa itu berusaha membuat Mysha merasa nyaman meski ia ingin meletakkan jemarinya di tempat yang lain. "Ayo kita pamit. Tidak nyaman jika nanti Michael berulah lagi. Sebaiknya kita undur diri." Mysha tak bisa fokus apa yang dikatakan Axel saat pertama kali menyapa sang Pemilik Pesta. Perempuan itu berusaha bersikap tenang, tapi jantungnya sama sekali tidak bisa sejalan dengan keinginan. Bagaimana Mysha bisa kalem jika ia merasakan setiap gerakan otot yang disembunyikan Axel dalam balutan tuxedo mahalnya? Mysha tak bisa menghentikan khayalanan yang semakin membuatnya tanpa sadar menggenggam lengan Axel makin kuat. Membayangkan Axel perlahan membuka tuxedo-nya lalu memperlihatkan setiap lekuk tu
Akhirnya Mysha merasakan bibir itu menciumnya. Rasanya seperti yang dia bayangkan, lembut dan manis. Seketika itu segenap pengunjung memberi tepuk tangan meriah pada kedua pengantin yang telah sah menjadi suami istri. Mereka melepaskan kecupan dan wanita itu bisa merasakan Axel merengkuh pinggulnya lembut. Dia sedang menatap suaminya ketika sebuah suara menusuk ke dalam telinga. Mysha berusaha mengabaikan tapi suara itu makin keras, menganggu momen yang sudah dinanti seumur hidup .... Bunyi alarm melengking dari telepon selular membuat Mysha membuka mata kalang kabut. Terkesiap, berusaha mengumpulkan kesadaran, napasnya memburu. Namun sisa mimpinya masih terasa jelas. Apa yang aku pikirkan? Mysha melirik ke arah jas Axel yang tergantung di depan lemari bajunya, rapi dengan plastik pembungkus bertuliskan nama laundry yang mencucinya. Baju itu menemaninya sepanjang akhir pekan, mungkin itu yang membuat dirinya bermimpi yang tidak-tidak. Mysha meraba bibirnya, ciuman itu terasa nyata,
"Kau sedang tidak enak badan?" Axel menatap Mysha yang tampak hanya memainkan pisau dan garpunya di atas daging steak Kobe yang lembut. Wanita itu tersentak dan kembali fokus memotong secuil daging dan menyuapkannya ke mulut. Harus diakui, steak yang harganya bisa menanggung jatah makan Mysha seminggu penuh itu sangat enak. Kelembutan yang sesuai dengan kematangan sempurna. Namun, semua kelezatan itu sama sekali tak membuat wanita berambut keperakan itu bahagia. Ada perasaan resah bergelayut di batinnya. Axel membawanya pergi cukup jauh ke sebuah restoran dengan gaya khas Amerika di era Koboi. Pria itu bahkan mem-booking sebuah ruangan privat khusus untuk mereka. Mobil mewahnya dijaga oleh dua body guard berbadan besar di tempat parkir. Mysha tak bisa percaya bagaimana Axel rela repot-repot mencarikan restoran yang sesuai dengan seleranya. Daging steak ini pun dipesan khusus karena mereka biasanya hanya menggunakan daging sapi grade A di sini. "Kalau steak-nya tak sesuai dengan sel
Mysha menahan napasnya ketika mendapati tatapan Axel yang terluka. Dadanya kembali berdebar melihat ekspresi lain yang ditunjukkan oleh pria itu, memberi rasa pedih seakan dia juga merasakan luka Axel. Wanita itu menelan ludah, berusaha menata kata untuk membalas. "Ti-tidak, Sir. Saya tidak sedang menghindari Anda." Tangan Mysha saling meremas di pangkuannya, berusaha menenangkan diri. Dia menimbang-nimbang apakah pantas dia mengutarakan ganjalan dalam dada, atau memilih tetap bungkam dan menganggap semua kenangannya dengan Axel hanyalah mimpi. Terdengar desahan dari sampingnya, begitu putus asa, membuat Mysha menoleh. "Kau kembali berbicara terlalu formal, Mysh. Kau sedang membangun jarak ...." Axel benar. Mysha baru menyadari perubahan sikapnya. Kesunyian turun di antara mereka makin pekat, masing-masing disibukkan oleh pikiran dalam kepala, sampai akhirnya Axel membuka suara. "Apa kau mendengarkan ocehan Mike di pesta?" Mysha tergelagap. Pertanyaan Axel tepat menghunjam benak