"Tak mungkin saja jatuh," gumam Lela gelisah di angkot. Hatinya tidak tenang, masih berprasangka, kasak-kusuk duduk. Berharap segera sampai di rumah.
Sesampainya di tempat penurunan angkot, ia membayar sewa, lalu pergi dengan terburu-buru. Ketika sudah di halaman ia membuka pintu rumah. Lalu beberes hal-hal yang perlu.
Ketika sedang memasak di dapur, ada orang yang memanggil-manggil. Dari suaranya ciri khas perempuan.
"Assalamualaikum. Lai ado orang di rumah?"
"Waalaikumsalam, lai."
Lela menjawab, ia bergegas membuka pintu. Tampak Rena, ibunya Juki
"Praduga yang tidak benar hanya akan menyiksa batin."🌹🌹🌹"Anak gadisnya itu menolak Juki. Padahal anakku sudah menjadi pemuda yang baik. Hanya Juki yang paham keluarga mereka. Namun, ia sudah membuat Juki patah hati." Jawaban singkat dari Rena membuat Lela mengelus dada."Karena itu kamu memendam marah juga sampai kini?""Tentu, Kak. Kalau si Rayya itu mau. Juki tidak akan seperti ini!""Itulah, gimana lagi. Rayya pasti tahu kelakuan kamu itu pada orang tuanya.""Jadi … Kak Lela menyalahkanku?""Sedikit. Jangan kamu kira aku tidak tahu kebenarannya. Jangan kira aku mudah dihasut!" Lela berkata sinis.&
Tidak Dapat Dibohongi"Hati seorang Ibu tidak dapat dibohongi, walaupun sepintar apa kamu menyembodohi."🌹🌹🌹Akhirnya Lela sampai di rumah sakit, badannya sakit-sakit karena terdesak, penumpang sungguh padat sekali. Kepalanya juga bertambah pusing karena semalam tidak dapat tidur dengan nyenyak.Saat melewati lorong, ia terhuyung. Hingga membentur tonggak. Masih untuk benturannya tidak keras. Membuat sakit hilang dalam sekejap. Lantas ia duduk di bangku untuk menenangkan diri."Astagfirullah." Ia mengucap istigfar berkali-kali, setelah merasa baikan Lela melanjutkan jalannya.Sesampainya di ruangan kamar rawat ICU. Ia mendapati Fikar sedang ti
“Harapan seorang ibu adalah melihat anaknyatumbuh sehat dan ceria” 🌹🌹🌹🌹 Siang hari tepat jam dua belas, langit biru yang cerah, matahari bersinar dengan semringah membakar atap seng rumah nan gadang, hingga keluar bunyi denting seperti disiram kerikil. Seorang perempuan berumur tiga puluh tahunan terlihat bergegas menuruni anak tangga. Langkahnya tegap, bunyi sarung yang dikenakan menderap tegap. Jari-jari lentik menahan gendongan kain panjang yang diikatkan ke bahunya. Ada seorang bayi yang meringkuk di sana. Ayun langkah perempuan itu semakin cepat, menyibak rerumputan di pinggiran jalan. Sesekali tikuluak¹ di kepalanya terburai ke dada menutupi kepala bayi itu, lalu dengan cekatan ia meraih kain penutup kepala itu dan mengusapkan keringat di dahi. “Maiza, mau kemana?” Seorang perempuan paruh baya yang sedang membersihkan rumput halaman tiba-tiba menyapanya. Sehingga ia berhenti sejenak dan menoleh. “Eh, Mak
“Simpanan terbaik adalah amal saleh.”🌹🌹🌹Batu Batuah, sebuah Nagari yang terletak di pinggang gunung Marapi yang menjulang, karena struktur tanah yang tidak beraturan. Nagari Batu Batuah terdiri dari dataran rendah, dataran tinggi dan lurah yang landai.Saat siang hari hawanya sejuk serta berawan, tetapi sangat dingin kala malam hari. Di tengah pemukiman, terletak surau bagonjong.Orang sekitar menyebutnya bagonjong karena surau tersebut atapnya yang lancip dan runcing seolah akan membelah langit. Di depan tempat itu ada kolam air yang berisi ikan mas dan mujair.Gemericik air yang mengalir deras mengairi sawah dan ladang. Tidak perlu irigasi karena kekayaan air sudah dilimpahkan Sang Pencipta melalui sarasah dari puncak merpati yang tertinggi di Gunung Marapi, sumber air pegunungan yang sangat jernih.Rumah gadang Maiza berada di dataran rendah yang cukup luas. Berbatas dengan Nagari Batu Ga
“Perasaan terhina adalah obat manjur untuk melecut diri dan bangkit kembali.”🍓🍓🍓Mak Saidah memiliki tujuh bersaudara. Ia anak yang kedua, uda sulungnya sudah meninggal dunia begitu juga dengan saudara yang ketiga sampai kelima adalah perempuan, juga telah wafat semua saat balita. Tinggal Mak Saidah dan adik bungsunya yang masih hidup. Selisih umur mereka terpaut jauh yaitu dua puluh lima tahun karena Mukhtar adalah buah salek yang dilahirkan ketika ibunya sudah berusia kepala empat.Mukhtar menikah tidak lama setelah putrinya melahirkan cucunya Rayya, memperistri anak tengkulak di nagari tetangga, lalu mendapatkan gala adat Palindih Kayo. Setelah sekian bulan tidak pulang, ia kembali bertandang ke rumah gadang.***Sementara di halaman, si pemilik suara bas tersebut masih tetap memanggil-manggil. Memastikan keberadaannya di rumah.“Ni … o, Uni. Lai di rumah?”
“Kehilangan orang yang dicintai adalah pukulan terberat dalam hidup.”🌹🌹🌹“Da,” panggil Mak Saidah, tetapi tidak ada sahutan dari suaminya.Mak Saidah bangkit untuk mengecek suaminya, memperhatikan gerakan napas. Namun, yang dia rasakan hanya kehampaan, tidak ada embusan udara dan dada yang naik turun, hanya sunyi.“Uda … Uda ….” Mak Saidah memekik panik.Ia mengguncang-guncang tubuh yang sudah kaku, berharap lelaki yang telah mendampinginya lebih dari setengah abad itu membuka mata, melempar senyum hangat di sudut bibir. Bangun lagi dari kematian adalah sebuah keniscayaan, tak akan mungkin.“Jagolah, Uda ….” Mak Saidah meraung-raung membangunkan sang suami. Keinginannya sehidup semati menjadi muskil sang kekasih telah dahulu keharibaan-Nya.Tinggal-lah Mak Saidah sendiri sebagai tulang rusuk kenangan yang akan m
“Musuh pantang dicari, ketemu musuh pantang lari.”🌹🌹🌹“Maiza,” panggil Mak Saidah.“Maiza, kemarilah.” Mak Saidah melambai-lambaikan tangan pada Maiza yang sedang memasak di dapur. Ia tidak mendengar panggilan dari amaknya tersebut.“Anton, panggilkan Ibu kamulah!” perintah Mak Saidah pada cucunya yang sedang bermain kelereng di dekatnya."Yo, Nek," jawab bocah lelaki itu lalu berlari ke dapur menemui ibunya yang sedang mengaduk santan gulai.“Bu, Nenek imbau,” panggil Anton pada ibunya.“Eh yo. Ibu naik lai,” sahut Maiza, lantas dia menaiki anak tangga yang menghubungkan rumah gadang dengan dapur.Sesampainya di rumah Maiza duduk di dekat amaknya. Ia memijit-mijit lengan yang kurus hanya kulit berbalut tulang.“Maiza, saya bermimpi, Abak kamu datang berpakaian sarugo, mancaliak ka amak, mukan
“Apa yang engkau tanam hari ini, itulah yang dituai di kemudian hari.”🌹🌹🌹Mendengar cerita yang dituturkan oleh amaknya, ada rasa bangga yang tumbuh di hati Maiza. Betapa tidak? Keluarganya adalah keturunan orang baik dan berada. Nenek moyang mereka juga pejuag sekaligus tokoh masyarakat.Sampai saat ini nama baik itu sering diceritakan dari orang tua ke anak-anak.Ia ingin ketika Anton dan Rayya sudah besar kelak dapat meniru semangat pendahulunya. Ia ingin sekali menceritakan kisah yang sama supaya anak-anaknya mengenal nenek moyang mereka. “Hebat ya, Nek. Kakek kita seorang pejuang. Dengar tuh, Anton … Rayya. Kita contoh semangat kakek kita,” ujar Maiza mengajari anaknya.