Share

BAB 2 : Terkena Syndrome Palpitasi

Seperti yang dikatakan Ken tadi pagi, karena dia tak bisa menjemput, jadilah sekarang Rena pulang dijemput oleh teman kakaknya. Siapa lagi orangnya kalau bukan Zean. Ya ... setidaknya ia sudah mengenal cowok ini. Meskipun hanya sekadar tahu sedikit saja tentang dia.

Asal tahu saja, Zean bukan orang yang cocok untuk diajak bicara apalagi sampai ngobrol panjang lebar. Karena dia dan Ken punya sikap yang bisa dikatakan sama persis. Paling bedanya karena Kenzie adalah kakaknya, jadinya dia lebih bar-bar terhadapnya. Jika dengan orang lain, dia juga bakalan beku kayak kutub utara.

Malas, sih, sebenarnya bersama Zean, tapi ia tak bisa membantah perkataan Ken. Ya ... setidaknya tampang ni cowok bikin pangling lah.

"Kak Zean, Kak Ken mana?" tanyanya buka suara saat perjalanan pulang ke rumah.

"Dia sudah bilang, kan, tadi pagi ... kenapa sekarang bertanya lagi?"

"Oh, iya ... aku lupa," balasnya cengengesan nggak jelas.

Oke ... kartunya terbongkar. Ya, ia tahu kok kalau Ken ada kelas. Hanya saja dirinya seolah kehabisan stok kata untuk memulai percakapan dengan Zean. Rasanya ini mobil hawanya berasa begitu dingin hingga membuat dirinya kedinginan.

Diam, hening ... bahkan hingga sampai di rumah. Heran, kok ada ya manusia yang bicaranya begitu irit. Ia saja bosan, apalagi jika ada gadis yang menjadi kekasih cowok ini. Yakinlah, akan dibuat kesal hingga mencakar tembok.

Zean ikut turun saat Rena turun. Tapi langkahnya tiba-tiba terhenti saat gadis itu berhenti dihadapannya.

"Kakak mau kemana?"

Zean menatap dingin pada Rena, dengan kedua tangannya yang berada di saku celananya.

"Ken sudah bilang, kan ... kalau sepulang sekolah, kamu harus belajar?"

Rena menggeleng cepat.

"Bohong."

"Serius, Kak," responnya.

"Aku tanya Ken," ujarnya mengeluarkan ponsel dan berniat menelepon Kenzie.

Rena langsung menghentikan niat Zean. "Iya, iya ... maaf, aku bohong," ujarnya memberengut dan memilih segera masuk ke dalam rumah dengan muka ditekuk dan langkah malas.

Zean mengikuti langkah gadis itu hingga ruang tamu. "Penyebabnya?"

Rena kembali menghampiri Zean. "Ya aku capek lah, Kak. Masa iya belajar, belajar dan belajar terus. Memangnya otakku hanya diciptakan untuk belajar."

"Kamu benar," balas Zean. "Otak bukan hanya diciptakan untuk belajar."

Terbesit senyuman di bibir Rena saat mendengar balasan Zean. Wah, tanda-tanda, nih. Tanda-tanda kalau cowok ini bakalan ada dipihaknya. Ucapkan selamat tinggal dan sayonara buat kakaknya tercinta yang super menyebalkan. Sekarang ada Zean yang punya pikiran sama dengannya.

"Nah, aku juga berpikir begitu, Kak. Hanya saja Kak Ken pikirannya entah melayang kemana ... hingga berpikir kalau otak diciptakan hanya untuk belajar. Rumus dan motto hidup macam apa itu yang dia pakai. Ya, kan, Kak?" Bicara panjang lebar, kemudian mengumbar senyum penuh kemenangan ke arah Zean.

"Otak tak diciptakan untuk belajar, tapi untuk berpikir dan berpikir. Jadi, berpikirlah jika kamu nggak belajar, apa kamu mau jadi orang bodoh? Berpikirlah kamu, kalau nggak belajar, apa bisa kamu mencapai kelas tiga SMA. Bahkan jika nggak belajar, aku tak yakin otakmu akan tahu kalau satu ditambah satu hasilnya jadi dua."

Selamat tinggal kemenangan. Padahal ia sudah berpikiran baik tentang Zean, tapi apa hasilnya? Tetap saja dia masih berada dipihak Ken. Apa dia suka PHP? Tadi membuatnya tertawa lebar, sekarang malah seolah menendangnya jauh ke luar angkasa.

Mendengus, kemudian tanpa kata berlalu dari hadapan Zean dengan langkah cepat. Bahkan ia dengan sengaja menghentak-hentakkan kakinya saat berjalan, sebagai pertanda kalau ia sedang kesal tingkat dewa. Pengin teriak dan bilang 'I hate You Ken! I hate you, Zean!'. Tapi sayang, ia tak tak seberani itu loh, ya. Teriak aja dalam hati, sampe keselek sendiri juga kagak berani.

"Dia benar-benar kembar tak seiras dengan Kak Ken. Apaan itu, membuatnya tertawa, kemudian menertawakan kekalahannya. Anjim banget tu cowok," berengutnya sambil mengganti seragam sekolah dengan pakaian rumahan.

Ken menemukan manusia macam Zean di mana, sih? Apa di kutub utara, sodaranya beruang es kali, ya. Dinginnya kelewatan, nyebelinnya apalagi. Parah banget dong. Mendinglah Masha and The Bear, si Bear nya nggak senyebelin Zean.

Selesai mengganti seragam, sekarang ia kembali turun. Kalau tetap di kamar, yakinlah dia bakalan menyusulnya ke kamar. Pengalaman, nih ... pernah sengaja nggak turun waktu dipanggil mamanya karena dalam mode ngambek, tapi dengan seenaknya Zean malah menariknya untuk keluar dan minta maaf.

Menghempaskan bokongnya di sofa yang berhadap-hadapan dengan Zean.

Zean melirik Rena dengan tatapan dingin. Tahu apa salahnya, gadis itu langsung saja memperbaiki mode duduknya.

"Kak, boleh aku nanya sesuatu?"

"Silahkan, jika itu masih menyangkut pelajaran sekolah mu," balas Zean meletakkan ponselnya di meja, kemudian menatap lurus ke arah Rena.

Lihat, kan ... masih ada kata 'pelajaran dan sekolah'.

"Kakak nggak punya kerjaan lain, ya?"

"Maaf, itu masuk ke dalam mata pelajaran apa?" tanya Zean balik.

"Pelajaran ketika membuat seseorang jadi kesal dan aku bingung harus memberikanmu balasan seperti apa?" Esmossi di dalam kepalanya seolah sedang meletup-letup.

Mengarahkan fokusnya pada Rena. "Balas menggunakan hatimu, bisa?"

Membisu, membatu. Ia seolah tak berkutik, mati rasa, badannya kesemutan. Apa telinganya sedang bermasalah, atau Zean nya yang sedang mode stress. Kenapa tiba-tiba dia malah membahas masalah hati?

"H-hati?" tanya Rena balik. "Maksudnya gimana, Kak?"

"Bukannya kamu bilang sedang kesal padaku?"

Rena mengangguk cepat.

"Bisa membalas dengan hatimu?"

Makin dibuat bingunglah ia atas sikap dan jawaban Zean. Apa-apaan cowok ini, membuat otaknya berpikir yang aneh aneh saja.

"Sudah, abaikan perkataanku. Sekarang, keluarkan buku latihanmu," perintahnya.

Membuatnya berpikir keras dan sekarang malah mengabaikan semua yang dikatakan tadi. Benar-benar keterlaluan dia. Kenapa juga harus membuatnya bingung dan kepikiran, jika akhirnya tak ada penjelasan apa-apa.

Rena mengeluarkan buku latihannya dan alat-alat tulis. Tetap, ya ... pikirannya masih berfokus pada hal tadi.

Zean membuka buku dan berpindah duduk di sebelah gadis itu. Kemudian perlahan mulai menjelaskan semua yang ada di buku, tapi ia terhenti saat menyadari kalau Rena malah tak fokus mendengarkan apa yang ia jelaskan.

"Mau menatapku sampai kapan, hem?" tanya Zean yang langsung membuat mode bengong Rena langsung buyar seketika. Rasanya seperti disiram seember es batu.

"Ah, siapa juga yang menatapmu," elaknya kembali berfokus pada buku tulisnya. Spontan saja tangannya malah menuliskan sesuatu. Tapi saat sadar dengan apa yang ia tulis, matanya langsung melebar.

Berniat segera menghapus tulisan itu, Zean malah lebih dulu menyambar bukunya.

"Kak Zean yang ..." Zean membaca tulisan di buku Rena.

"Mati gue! Kenapa juga ini tangan nulis begituan, sih," umpatnya sambil bergumam. Berasa mau nyembunyiin muka dibalik bakwan saking malunya.

Zean kemudian menatap ke arah Rena. "Yang apa?" tanyanya menuntut kalimat yang ditulis gadis itu.

"Hmm anu, Kak ... itu bukan apa-apa. Cuman entah kenapa tanganku malah menulis namamu. Mungkin karena rasa kesalku padamu berada di posisi paling puncak, makanya begitu," jelasnya.

"Bukan memikirkan yang lain?" Menatap intens pada Rena yang ada dihadapannya.

Serena menelan salivanya dengan susah. Iya, berasa sedang dihadapkan dengan cogan menyebalkan, tapi sukses bikin hatinya panas kayak lahar panas gunung merapi yang siap menyembur.

"Memikirkan apalagi? Yakali memikirkan aku yang tiba-tiba menyukaimu," tawanya dengan berat.

"Bisa jadi, kan?"

"Apa?!" Sampai kaget mendengar balasan Zean.

"Menyukaiku, kan?"

Serena sedikit mundur saat tatapan Zean malah semakin menyerangnya dengan tajam. Berasa diintimidasi. Heran, kan, ini cowok sedang mengalami gangguan jiwa akut kayaknya. Biasanya dia nggak begini, kenapa sekarang malah terlihat agresif.

"Kenapa kamu?"

"Nggak kenapa-kenapa," jawabnya menahan deguban jantungnya yang tak karuan. "Gue sepertinya terkena sindrome Palpitasi," tambahnya sedikit bergumam pelan.

Iya, jantungnya deg-deg'an parah saat mendapatkan tatapan intens dari Zean. Malah omongan dia dari tadi merujuk ke perasaan. Lah, kan ia jadi bingung. Tapi, tapi ... masalah nama yang ia tulis, itu spontan saja loh. Apa jangan-jangan, ia beneran suka pada Zean. Karena kata orang, apa yang kita tulis, itu berasal dari apa yang sedang dipikirkan otak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status