Share

Pawang Cinta Ternyata Jodoh
Pawang Cinta Ternyata Jodoh
Penulis: Soffia

BAB1 : Haluku Kelewatan

 Bangun tidur, rasanya begitu membahagiakan bagi seorang Serena. Yap, ini adalah hari pertamanya merasa bebas, karena kemarin orang tuanya pindah ke London untuk membuka bisnis yang baru dirintis di sana. Itu artinya, nggak ada yang bisa melarangnya ini itu dan anu.

Biasanya mamanya akan melarang untuk keluyuran nggak jelas, atau hanya sekadar shooping dengan teman-temannya. Tapi sekarang, tidak lagi.

"Sampai kapan kamu akan senyum-senyum nggak jelas seperti itu?"

Sontak, saking kagetnya ia sampai terpekik saat suara itu membuyarkan lamunannya dan langsung terguling dari atas tempat tidur, kemudian mendarat di lantai dengan mengenaskan.

"Aduh, Kakak apaan, sih ... ngagetin tahu, nggak!"

Ia mengumpat kesal sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri karena mencium lantai. Rasanya sakit, tapi tak sesakit mengharapkan dia yang nggak peka-peka, sih.

"Ini masih pagi, matahari baru nongol ... udah stress aja."

Dialah Kenzie, kakaknya yang paling tengil, cerewet, jahil, dan ... pokoknya semua yang menyebalkan ada pada dia. Bahkan ia sekarang ingat, meskipun kedua orangtuanya nggak di rumah, masih ada satu makhluk lagi yang menghambat langkahnya. Ekspektasinya benar-benar jauh dari apa yang ia harapkan kemarin. Ini menyakitkan sekali.

"Nanti aku bilang Mama, loh ... Kakak masuk ke kamarku tanpa ijin!" Lumayan, kan, ancamannya.

Ken bersidekap dada dihadapan gadis dengan tinggi seukuran pundaknya itu. Kemudian dengan sengaja ia menyentil dahi sang adik.

"Kakak!" pekiknya lagi.

"Trus, Mama bakalan ngomelin aku, gitu?"

"Setidaknya uang jajanmu bakalan dipending," jawab Rena berharap banyak. Karena selama ini malah uang jajannya yang sering dipending. Bukan dipending lagi malah, seringnya dipotong tanpa pemberitahuan.

"Sebelum itu terjadi, uang jajanmu yang bakalan ku pending dulu," balas Ken tersenyum penuh kemenangan.

Apa maksudnya semua ini? Come on ... jangan buat otaknya berpikir yang tidak-tidak. Dan semoga yang sedang ia pikirkan, tak terjadi.

"Cepetan mandi. Kalau lama, aku tinggal, loh," ujar Ken berlalu keluar dari kamar Serena dengan langkah santai.

Sekeluar Ken, ia masih diam mematung dengan otaknya yang tiba-tiba berasa ngeblank.

"Gila! Berharap mama sama Papa pergi, kehidupan gue yang berasa dipasung, bisa lepas. Sekarang, apalagi ini? Gue lupa kalau ada satu lagi makhluk menyebalkan di rumah ini. Huhuhu ... Kak Ken, dirimu membuat kebahagian adikmu ini ambyar seketika. Ekspektasi gue anjlok ke dasar lautan terdalam!"

Kembali menghempaskan badannya di kasur ... merutuki kalau kehidupan masih akan sama dengan sebelumnya. Bahkan sepertinya akan semakin menakutkan. Tahu sendiri, kakaknya itu punya peraturan lebih menyeramkan daripada mama atau papanya.

"Kalau lama, aku tinggal, ya, Dek!"

Teriakan itu membuatnya seketika kembali bangkit dan bergegas menuju kamar mandi. Duh, habislah dirinya di tangan manusia tak punya rasa ini.

Ken adalah satu-satunya kakaknya. Yap, ia sekarang duduk di kelas tiga SMA, sedangkan Ken merupakan mahasiswa semester akhir. Meskipun masih kuliah, tapi semenjak lulus SMA dia sudah membantu pekerjaan di kantor Papanya. Entahlah, kalau ia jadi Ken ... mending nggak kuliah aja. Toh tetap bakalan jadi pewaris perusahaan keluarga.

"Kak, nanti aku boleh main, nggak?"

"Nggak boleh."

"Ih, pelit!"

"Kamu harus banyak belajar. Enggak mau, kan, nanti nilaimu jelek?"

"Udah belajar di sekolah dari jam 7 pagi hingga jam 3 sore ... masa iya setelahnya juga harus belajar. Yang benar aja dong, Kak," berengutnya tak terima.

Ken menghentikan adegan makannya. Kemudian meneguk air minum hingga habis satu gelas penuh. Menatap horor pada gadis berseragam SMA yang ada di kursi berhadap-hadapan dengannya.

"Aku cuman punya satu adik ... tentunya aku nggak mau kamu jadi anak yang bodoh. Belajar yang rajin, adalah salah satu cara agar otakmu pintar."

"Tapi aku juga nggak bodoh-bodoh amat."

"Masih ada kata 'bodoh' di kalimat yang kamu ucapkan itu, kan," sahut Ken langsung.

Lain kali ia akan buat pengumuman. Siapa yang bisa membungkam mulut cerewet kakaknya ini, bakalan ia kasih uang jajannya satu bulan.

"Berharap mama sama papa balik lagi ke sini. Setidaknya nyampe rumah aku nggak dipaksa belajar," gerutunya sambil melanjutkan sarapannya.

"Berharap aja terus," ledek Ken sambil tersenyum.

"Dasar cowok aneh. Disuruh senyum, susah amat. Ngeledekin adik sendiri malah senyum nggak jelas," kesalnya melihat ekspressi menyebalkan Ken.

Nanti ia akan menghubungi mamanya untuk nambah anak satu lagi. Setidaknya saat Ken ingin menyalurkan hobby menyebalkan itu, bukan hanya dirinya yang jadi tumbal.

Selesai sarapan, sebelum ke kampus, ia mengantarkan Serena ke sekolah dulu. Mobil dia punya, hanya saja ia tak akan mengijinkan adiknya untuk mengemudi lagi. Banyak pengalaman buruk yang sudah dia ciptakan.

"Kak, kenapa nggak ijinin aku bawa mobil, sih? Aku kasihan, loh ... Kakak harus ngaterin aku terus. Adikmu ini nggak tega." Pasang muka prihatin, sedikit sad dan tampang seolah-olah sedang kasihan pake banget gais.

Menghembuskan napasnya dengan sedikit berat. "Calon-calon tak akan dapat uang jajan," respon Ken kembali menutup dompetnya saat mendengar perkataan Rena.

"Jangan dong!!!"

Sesak napas rasanya berhadapan dengan Ken. Sikap dia semakin menyebalkan saja saat orang tuanya tak ada di sini. Sebelumnya ia masih jadi anak kesayangan mama papa, meskipun sering diomelin kalau lakuin kesalahan. Tapi sekarang? Ya, ia jadi adik kesayangan seorang Kenzie, hanya saja cara dia menyayanginya terlalu menyeramkan.

"Aku nangis, nih, kalau uang jajanku nggak dikasih," ancamnya mulai pasang muka mewek. Bukan acting lagi ini mah, tapi ini beneran mau nangis rasanya.

Ken menyodorkan beberapa lembar uang pada Rena. "Aku ada kelas sampai jam lima, nanti ku minta temanku buat jemput kamu," terangnya.

"Lagi-lagi aku ingin bilang ... kenapa nggak ijinin aku bawa mobil, sih? Pergi dianter, pulang juga gitu. Berasa terkurung di kandang macan menyebalkan tahu, nggak, Kak."

"Apa itu sebuah sindirian?"

"Bukan," tangannya mulai membuka pintu mobil. "Lebih tepatnya kamu itu macannya, Kak," lanjutnya.

Langsung bergegas turun dari mobil. Kalau tidak, bisa disentil lagi kepalanya oleh Ken. Dia kan hobby nyentil. Berharap dunia bisa terbalik. Kebayang bisa menyentil kepala kakaknya itu. Iya, berharap aja terus ... yakali ia berani melakukan itu.

Berjalan cepat menuju kelas. Sampai di ruangan yang sudah hampir ia tempati selama satu tahu belakangan, ternyata dua sahabatnya sudah sampai duluan.

"Pagi," sapanya menghempaskan bokongnya di kursi. Sedikit nyeri, melupakan kalau ini bukan sofa.

"Lesu amat tu muka," komentar Kalina.

"Ngefek banget, kan, ke muka? Yap, benar sekali. Ini tuh menggambarkan perasaan gue saat ini. Gue dalam mode kesal akut," terangnya menggebu-gebu.

"Heran, ya ... kemarin happy banget karena akan bebas karena orang tua lo mau pergi. Lah, sekarang kenapa jadi begini," tambah Sandra.

"Gue melupakan sesuatu," balas Rena dengan muka cemberut.

"Apa?"

"Gue lupa ada Kak Ken," ungkapnya kesal. "Happy happy gue kagak jadi. Lupa kalau tu cowok malah lebih menyebalkan aturannya dari mama papa gue. Berasa ditindas, cuy."

Kalina dan Sandra malah tertawa mendengarkan penjelasannya. Benar-benar sahabat terbaik, kan, mereka. Saat ia kesal, malah menertawakan. Iya, tahu, kok ... ini benar-benar lucu.

"Padahal kita berdua udah bikin rencana shooping buat hari ini. Eh, ternyata, gagal donggg," terang Sandra.

Rena menghembuskan napasnya dengan berat. "Yang benar saja ... ini aja dia nggak bisa jemput gue di sekolah, malah sudah mempersiapkan temannya buat jemput ntar."

"Sad gais," respon Kalina.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status