Share

BAB 3 : Zean yang bikin kepo

Saat ini Kenzie dan Serana sedang menikmati makan malam. Fokus Ken hanya pada makanan yang dia nikmati, tapi tidak dengan Serana. Gadis itu seperti sedang memikirman sesuatu hingga membuat makanan yang dia nikmati tampak biasa saja.

"Kak, boleh aku ngomong sesuatu?" tanyanya pada Ken buka suara.

"Apa?"

"Tentang Kak Zean."

Fokus Ken yang tadinya hanya pada makanan dan sesekali pada ponselnya, kini berpindah kearah adiknya.

"Zean?"

Serena mengangguk. "Kak Zean itu sikapnya gimana, sih ... aku bingung," ujarnya langsung.

"Sikap yang mana?"

Rena menghentikan adegan makannya dan menatap fokus ke arah kakaknya.

"Sikapnya beda-beda. Awalnya dingin, trus ... hangat, trus tiba-tiba jadi baik, eh ... balik lagi jadi nyebelin. Pas dia baik, aku senang banget. Pas lagi senang-senangnya, langsung sikap jeleknya muncul," jelasnya.

"Lebih detail," balas Ken.

"Awalnya sikapnya seperti biasa, dingin. Trus, tiba-tiba dia sepemikiran denganku. Saat aku terbawa suasana, berpikir kalau aku punya pemikiran yang sama, tiba-tiba dia malah kembali nyebelin."

"Trus?"

"Malah dia pake ngebahas masalah hati denganku. Kan aku jadi ..."

Rnea tak melanjutkan perkataannya. Padahal ia bisa melihat lirikan tajam Ken saat menunggu apa yang akan ia katakan selanjutnya.

"Kamu jadi apa?"

"Ah, sudahlah ... pemikiran dan pola pikir kita tak sejalan. Black n white. Aku tim api, kakak tim air terjun. Jadi ... lanjutkan makanmu saja, Kak."

Rena kembali fokus dengan makanannya, sedangkan Ken memasang wajah kesal karena perkataan adiknya itu.

"Mau ku bilang sesuatu tentang Zean?" Tanya Ken seakan dengan sengaja memancing rasa penasaran gadis itu.

"Nggak usah," tolaknya. "Buat apa juga. Dia kan temanmu, Kak ... bukan temanku."

"Tapi ini menyangkut kamu, loh."

Awalnya tak perduli, tapi mendengar ada dirinya, kok tiba-tiba jadi penasaran.

Meletakkan sendok dan garpunya. Mengelap mulutnya dengan tisu dan menatap fokus ke arah Ken.

"Apa apa?"

Ken bersidekap dada. "Tapi, ada syaratnya."

"Ih, Kakak. Kenapa juga harus pake syarat-syarat segala," kesalnya saat Ken dengan sengaja mengambil kesempatan dengan rasa penasarannya.

"Tentu saja. Ini kan berita penting. Dan seperti katamu tadi, ini menyangkut hati. Berhubungan denganmu, dengan Zean, dan pake hati."

Kesal, kan ... dibuat penasaran oleh Ken. Padahal tadinya ia tak perduli, loh, tapi makin ke sini kakaknya ini malah semakin mengompori dirinya untuk kepo.

"Syarat apa?"

"Pulang sekolah, jangan pernah keluyuran. Nggak ada shooping-shooping. Nyampe rumah, harus belajar. Sebelum tidur, juga belajar."

"Kak, itu syarat atau malah jadwal rutinitasku seharian penuh?"

"Kalau mau kamu terapkan selamanya juga boleh."

"Andai kau bukan kakakku," umpatnya.

"Jangan berandai-andai terus."

Nggak menerima, ia kepo. Menerima, malah hari-harinya semakin sulit saja. Hwaa ... Zean membuatnya galau luar biasa. Ditambah lagi dengan kakaknya ini.

"Aku mau ke kamar," ujar Ken menghentikan adegan makannya.

"Baiklah," respon Rena. "Syaratnya ku terima, meskipun dengan berat hati."

Ken yang awalnya sudah melangkah menuju anakan tangga, terhenti dan kembali menghampiri adiknya yang masih duduk di kursi.

"Jadi?" tanya Rena menuntut.

"Zean itu menyukaimu," ujar Ken.

"Hah?"

Kenzie menyentil dahi sang adik.

"Aduh," ringisnya.

"Apa-apaan respon mu begitu."

"Ini membuatku kaget. Yang benar saja dia menyukaiku."

"Sebagai adik," sambung Ken seketika langsung kabur dan berlari menuju kamarnya dengan tawa penuh kemenangan karena sudah berhasil mempermainkan adiknya.

"Kak Ken!! Awas kamu!"

---000---

Pagi ini masih sama, ya ... sarapan dengan si cunguk, Kenzie. Membuat napsu makannya yang tadinya naik, tiba-tiba bisa turun drastis. Bisa-bisa ia kurus kerempeng jika ditindas terus oleh manusia ganteng ini.

"Boleh minta uang jajan lagi, nggak, Kak?"

"Masa masih kurang, sih, Ren?"

"Aku mau ..."

"Sudah janji, ya, semalam. Nggak ada yang namanya shooping."

"Aku nggak shooping, kok, cuman nemenin. Masa iya nemenin aja nggak boleh. Kamu kejam, Kak," kesalnya.

"Apa untungnya coba. Mending belajar di rumah."

"Ya untung lah. Setidaknya otakku nggak hanya mentok di depan buku pelajaran. Mataku nggak hanya diciptakan untuk menatap angka angka dan huruf, Kak."

"Hari ini Zean yang antar jemput kamu, ya."

"Kok gitu, sih?" kesalnya.

Padahal ia sedang membahas kepentingan shooping, tapi Ken malah mengejutkannya dengan hal yang lebih tak terduga lagi. Apa-apaan dia meminta Zean mengantar dan menjemputnya sekolah. Apa kakaknya ini tak merasa sudah membuat orang lain terbebani.

"Aku pake taksi aja kalau gitu."

"Sudah ku bilang, kan, Zean yang ..."

"Kakak ... kemarin aja dia cuman jemput aku aja itu udah bikin tanduk di kepalaku nongol. Masa sekarang ditambah dengan antar-jemput. Sudah cukup, Kak ... bisa sesak napas adikmu ini jika terus dihadapkan pada Kak Zean."

Serius, nih ... ia rada was-was kalau ketemu Zean. Bawaannya otaknya ikut jadi aneh.

"Aku ada perlu ke kantor. Otomatis jalurnya berlawanan arah," terang Ken pada adiknya.

Ken beranjak dari kursi dan menyambar tas ransel miliknya. "Aku duluan, bentar lagi Zean datang. Awas, loh, ya ... jangan bikin dia repot," pesannya sebelum berangkat.

Mengeluh dengan nada berat. "Jangan bikin dia repot? Yang benar saja. Dipikir nganter jemput gini nggak bikin dia repot. Dasar! Itu cowok aneh banget, sih," kesalnya mencengkeram sendok. Berharap sampai bengkok, tapi ternyata nggak berhasil.

Yap, benar sekali. Mungkin hanya sekitar lima belas menit setelah Ken pergi, kini Zean yang datang. Menghadapi orang macam ini, harus punya stok sabar yang besar. Dia nggak banyak bicara, hanya saja kalau sudah bicara, suka nyelekit omongannya sampe ke ulu hati.

"Pagi, Kak Zean," sambutnya di teras depan. Tentunya dengan senyuman dong.

Tak ada balasan. Sepertinya pagi ini dia kumat lagi dinginnya. Tak apalah, daripada penyakit lain yang kumat. Itu lebih nakutin.

Rena masuk ke dalam mobil yang pintunya sudah dibukakan oleh Zean. Sampai di dalam, ia berdo'a agar dirinya selamat dan aman sampai sekolah. Takut saja jika sudah berdua dengan manusia ini.

Dalam perjalanan, ponsel milik Zean terus saja berdering. Sungguh, rasanya menjengkelkan dan berisik. Bahkan pemiliknya seolah tak berniat untuk menjawab.

"Kak, ponselnya bunyi, noh," ujarnya memperingatkan.

"Biakan saja."

"Tapi berisik."

"Tutup saja kupingmu," suruh Zean.

"Yakali," balas Rena kesal.

Ia senderkan kepalanya saat deringan itu seolah hendak menghancurkan mood nya pagi ini.

Sampai di dekat gerbang sekolah, Serana bernapas lega.

"Akhirnya sampai juga. Rasanya ini pagi sesuatu banget, ya," gumamnya menatap Zean.

"Nanti ..."

"Nggak usah, Kak," sanggah Rena langsung saat tahu apa yang akan dikatakan Zean. "Kakak nggak usah repot-repot buat jemput aku. Aku udah kelas tiga SMA, Kak. Aku bisa sampai di rumah tanpa harus dijemput. Maaf, sudah membuatmu repot karena Kak Ken memintamu terus," jelasnya.

"Aku yang inginkan ini, kenapa harus meminta maaf atas nama Ken?"

Rena mengerjap-ngerjapkan matanya saat mendengar perkataan Zean. "M-maksud Kakak apaan, ya?" Siapa tahu ia salah dengar barusan.

"Maksudku ... nanti pulang sekolah aku yang jemput. Atau, mau ku bilang Ken?"

Rena merasa napasnya tiba-tiba sesak saat lagi-lagi Zean mempermainkannya. Dengan sengaja malah memukul cowok itu dengan buku yang ia pegang.

"Kamu menyebalkan," umpatnya langsung turun dari mobil.

Sampai di luar, ia menatap horor ke arah Zean dan mengacungkan kepalan tinjunya seolah mengajak perang.

Melangkah dengan malas masuk kelas. Sampai, ia duduk di kursi dan menyambar keripik yang ada di pegangan Sandra.

"Why lagi?" tanya Kalina.

"Kak Zean," rengeknya.

"Kak Zean?" tanya Kalina dan Sandra berbarengan.

"Itu, temennya Kak Ken. Masa itu orang nyebelinnya kebangetan banget. Gue kesal, sumpah! Pengin ngajakin gelud tu orang," umpatnya.

"Yang mana, sih, orangnya? Kita berdua kenal nggak, sih?"

"Kalian belum pernah ketemu. Sebelumnya gue ketemu juga jarang sama dia. Paling dia ke rumah, guenya ngacir ke kamar. Jadi, gue hanya sekadar tahu. Tapi setelah kenal, duh ... ngap banget rasanya."

"Pinisirin simi iringnyi," balas Kalina.

"Ganteng, nggak?" tambah Sandra.

Rena tak menjawab, tapi malah mengeluarkan ponselnya. Membuka bagian galery dan menunjukkan sebuah foto pada kedua sahabatnya.

"Ini orangnya," ujarnya.

"Serius?"

"Keren anjir."

"Ini mah sama Kak Ken perbandingannya 11:11," ungkap Kalina.

"11:11 dah lewat," sahut Sandra.

"Iya, persis, sama dan sepertinya mereka berdua kembar tak seiras. Sikapnya sama-sama nyebelin, dingin, otaknya belajar mulu, dan ..." Ia menghembuskan napas berat. "Dan gue kesal."

"Padahal Kak Ken baik, loh. Ganteng, manis, kalem, perhatuan," puji Kalina seolah membayangkan wajah Ken.

"Cinta terpendam, bentar lagi disambar burung gagak itu Kakak gue," ledek Serena.

Harus diketahui, ya ... ini sobatnya yang satu, udah naksir sama Kakaknya dari kapan tahun. Tapi masalahnya dia takut ngomongnya. Bukan hanya itu, pas diajak main ke rumah pun, itu dia lihat situasi dan kondisi dulu. Kalau ada Ken, Kalina bakalan hanya diam di kamar. Tapi kalau tak ada, barulah ia keluar.

"Dan itu cowok juga berhasil bikin gue kelabakan," lanjut Serana lagi.

"Maksud lo?"

"Sikapnya itu beda-beda. Kemarin dia dingin banget, trus tiba-tiba pas belajar bareng malah jadi aneh," jelasnya.

"Yang jelas dong ngasih penjelasannya," komentar Sandra.

"Kemarin kan gue bilang kalau gue tuh kesal sama dia. Gue berencana ngebalas gitu, eh malah dia bilang gini 'balas pake hatimu saja. Bisa, kan?' Nah, itu gue kaget dong."

Kalina dan Sandra malah saling lirik. Seolah inti dari penjelasan Serena sudah mereka ketahui.

"Apa jangan-jangan dia suka sama lo," tebak Kalina.

"Yang bener aja."

"Ya, itu ... dia malah ngomongin masalah hati, kan? Apalagi kalau bukan cinta," balas Sandra.

Mendengar perkataan Kedua sahabatnya ini malah semakin membuat ia semakin kepikiran. Yang benar saja jika begitu. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status