Share

BAB 8 : Merasa Nyaman

Duduk di pinggir jalan sambil menangis. Bahkan tak menhiraukan orang-orang yang memerhatikannya dengan raut heran ... seperti seorang yang sudah dicampakkan dengan mengenaskan. Ya, begitulah yang memang sedang ia alami. Dicampakkan oleh orang yang selama ini bilang cinta, tapi ternyata hanya rasa kasihan.

Kalau bukan karena seragam yang masih dikenakannya, mungkin ia akan dilempari uang recehan oleh mereka yang lewat.

Ponselnya tiba-tiba berdering ... saat ia lihat, ternyata nama Ken lah yang tertera. Tentu saja tak mungkin ia jawab, di saat dirinya masih dalam keadaan menangis begini. Bisa-bisa kakaknya itu dengan mudah mencurigai suaranya yang berbeda karena serak.

Baru juga panggilan dari Ken terhenti, kini nama Zean yang muncul di layar datar itu.

“Aku lagi patah hati begini, kenapa kalian berdua malah meneleponku terus, sih,” tangisnya. “Bisa-bisa aku khilaf dan bunuh diri aja, nih.”

Terus menangis, bahkan wajahnya saja terlihat sudah sembab. Melihat kiri kanan, sudah sepi pejalan kaki dan suasananya juga mulai gelap. Ia beranjak dari posisi duduknya ... menghentikan sebuah taksi dan lanjut untuk pulang ke rumah.

“Kenapa nangis, Dek?’ tanya supir takasi karena wajahnya emmang terlihat jelas habis menangis.

“Biasa, Pak ... nangis karena dikhianaitin pacra,” jawabnya dengan tampang malas.

“Oo,” responnya mengangguk paham.

Turun dari taksi dan segera memasuki area rumah.

“Loh, kok Non pulangnya pake taksi?” tanya Pak satpam.

Sudah tahu suasana hatinya sedang galau, sakit hati, kesal dan lain lain ... Pak satpam masih aja bertanya. Ya tentu saja ia juga nggak akan mejawab. Yakali mau jawab putus cinta. Bikin geger satu rumah malah akhirnya.

Terus berjalan, mendapati mobil Zean yang terparkir di dekat teras. Itu berarti dia ada di dalam. Dengan langkah cepat masuk ke dalam rumah dan mendapati Zean sibuk mondar mandir di ruang tamu.

Menghubungi gadis ini berkali-kali dan tak mendapat jawaban, tapi tiba-tiba dia muncul.

“Akhirnya kamu pulang juga,” ujar Zean langsung menghampiri gadis itu dengan wajah cemas. “Kamu dari mana aja, sih, Ren. Aku khawatir.”

Eren tak menjawab. Tapi ia hanya memasang wajah sedih dihadapan Zean. Dan lagi, matanya juga masih terlihat sembab karena habis menangis. Jelas sudah apa yang sedang dialaminya, jika berhadapan dengan Zean.

“Kamu habis nangis?” tanya Zean menyentuh pipi Eren.

Bukannya menjawab, Eren justru malah langsung saja berlalu dari hadapan Zean dan berlari menuju kamarnya. Ini benar-benar jadi waktu yang buruk baginya.

Melihat kondisi Serena, tentu saja ia malah dibuat semakin khawatir. Tadi pagi dia baik-baik saja, bahkan sangat senang saat ia ijinkan untuk pergi bersama cowok yang dia akui sebagai kekasih. Dan sekarang saat pulang justru malah sebaliknya.

Dengan cepat menyusul gadis itu menuju kamar yang memang tak pernah dia kunci sama sekali. Saat masuk, ia dapati dia sedang menelungkupkan wajahnya dibalik bantal. Tapi tetap saja ia bisa mendengar suara isakan tangis itu.

“Ada apa? Apa yang terjadi? Ada yang jahatin kamu?” tanyanya sambil menyentuh lengan Serena.

Dia segera bangun dari posisinya, masih menangis dengan wajah  memerah duduk dihadapan Zean.

“Kenapa menangis?” tanya Zean sambil menghapus bekas air mata yang membasahi pipi Eren.

“Kak Zean ... bisa memposisikan dirimu jadi Kakakku sebentar, nggak? Aku butuh,” ungkapnya meminta, masih dengan posisi menangis. Air matanya seolah mengalami tsunami, hingga tak bisa berhenti walau sudah ia perintahkan.

“Aku nggak mau,” tolak Zean.

“Jahat sekali kamu, Kak!” Ia makin menangis tersedu.

“Aku Zean, bukan Ken. Jadi, kalau kamu butuh aku, silahkan. Tapi kalau memintaku berpura pura  jadi Ken, aku nggak mau,” jelas Zean tetap menolak.

Tanpa berkomentar lagi, ia langsung saja menghambur memeluk Zean erat. “Aku mau nangis lagi, Kak ... aku mau nangis,” tangisnya kembali pecah dalam pelukan Zean. “Apa aku nggak berhak untuk dicintai? Apa aku begitu buruk hingga hanya boleh disakiti saja.”

Zean hanya mendengar, karena ia juga nggak mau dianggap hanya sebagai pengganti Ken. Ia ingin hadirnya sebagai diri sendiri, bukan pengganti apalagi dianggap Kakak terus.

“Kak Zean ... dia bilang hanya mengasihaniku selama ini.  Aku sedih, aku berasa mau nangis terus, aku sakit hati, Kak,” ungkapnya dalam tangisan.

Mendengar saat namanya disebut, barulah Zean merespon dan membalas pelukan Eren. Setidaknya kini ia tahu posisinya bukan sebagai Ken di mata gadis ini.

“Siapa pelakunya?”

Eren tak menjawab, ia seolah masih kesal hanya untuk menyebut dua nama itu. Semakain mengeratkan pelukannya di badan Zean, seolah mencari tempat paling nyaman untuk mengutarakan isi hatinya saat ini.

“Padahal aku membanggakan dia padamu, Kak ... tapi ternyata semuanya bohong. Katanya dia hanya mengasihaniku saja.”

Zean melepaskan Eren yang masih memeluknya. Menangkup wajah dia  agar fokus padanya. menatap gadis dengan matanya yang sembab karena terus menangis.

“Apa itu, Glenn?”

Eren mengangguk cepat. “Dia bilang nggak apa-apa kalau kita nggak pernah jalan, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Dia punya cewek lain di belakangku. Dan Kakak tahu siapa dia? Sandra. Sahabatku sendiri,” jelasnya dengan tangis yang makin mejadi-jadi. Rasanya ingin berteriak.

Zean kembali membawa Eren ke pelukannya. Ia tahu betul apa yang tengah dirasakan gadis ini. Sungguh, inilah yang ia harapkan. Ya ... saat bersedih, didekapannya lah dia akan merasa tenang. Tapi, bukan kesedihan yang benar benar membuat dia sampai hancur begini juga yang diinginkannya.

“Keluarkan saja kesedihanmu, anggap saja semua air mata itu sebagai rasa yang kamu kumpulkan untuk dia selama ini. Tapi sekarang saat dia menyakitimu, kamu juga berhak membuang semua itu.”

Mendengar perkataan Zean, ia justru semakin dibuat sedih. Bukan, lebih tepatnya ia seolah sedang merutuki kebodohan yang dilakukannya selama ini. Bahkan semakin menyusupkan wajahnya di dada bidang cowok itu.

Membelai lembut dia yang masih menangis tersedu di dekapannya.

“Aku nggak mau nangis, tapi air mataku terus keluar,” ucapnya serak.

“Setidaknya dari kejadian ini kamu sudah punya pengalaman seperti apa rasanya tersakiti. Jadi, untuk kisah selanjutnya, kamu sudah bisa memilah dan memilih yang terbaik sebelum menetapkan hati. Bukan hanya berpatokan pada rasa suka dan cinta, tapi justru rasa nyaman lah yang paling utama. Karena saat nyaman pada seseorang, suka dan cinta juga akan mengikut,” terang Zean.

“Rasanya seperti mau bunuh diri saja aku, Kak. Tapi aku juga takut mati. Karena kalau aku mati ... mama, papa, dan Kak Ken pasti akan sedih. Aku juga nggak mau bikin mereka sedih,” ocehnya disela-sela isakan tangisnya.

“Bodoh!”

Entah kenapa perkataan Zean seolah sedang menyentil hatinya. Maklum saja, ia yang masih anak sekolahan ... merasa suka, ditemba, otomatis malah langsung terima begitu saja. Apalagi Glenn juga salah satu cogan di sekolahnya, sepertinya siapapun juga nggak akan menolak saat dia bilang cinta.

Nyaman, katanya? Apa seperti yang ia rasakan saat ini? Rasanya berada dipelukan Zean benar-benar nyaman. Ia yang sedang patah hati, seolah olah malah melenceng jadi memikirkan dia yang jadi tempatnya bersandar saat ini. Hatinya memang aneh ... bermasalah dengan Glenn, tapi justru fokus pada Zean.

“Nyaman itu yang seperti apa?” tanya Eren.

“Seperti saat berada di dekat seseorang ... kamu  merasa tenang dan terlindungi. Seolah-olah kesedihan dan rasa takutmu jadi hilang,” jelasnya.

“Apa saat rasa itu hadir, harus menyertakan rasa cinta dulu?”

Zean menggeleng.

“Kenapa aku merasakan itu saat di dekatmu, ya,” gumamnya.

“Maksudmu?” Bingung Zean.

“Tidak,” elak Eren kembali mempererat pelukannya pada Zean.

Ia yakini ada yang salah dengan otak dan pikirannya saat ini. Putus dari Glenn dengan cara yang benar-benar buruk, tapi saat bersama Zean ... apalagi di pelukan dia saat ini, seolah-olah membuat mantan terluchnut nya itu terlupakan dengan begitu gampang.  

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status