Duduk di pinggir jalan sambil menangis. Bahkan tak menhiraukan orang-orang yang memerhatikannya dengan raut heran ... seperti seorang yang sudah dicampakkan dengan mengenaskan. Ya, begitulah yang memang sedang ia alami. Dicampakkan oleh orang yang selama ini bilang cinta, tapi ternyata hanya rasa kasihan.
Kalau bukan karena seragam yang masih dikenakannya, mungkin ia akan dilempari uang recehan oleh mereka yang lewat.
Ponselnya tiba-tiba berdering ... saat ia lihat, ternyata nama Ken lah yang tertera. Tentu saja tak mungkin ia jawab, di saat dirinya masih dalam keadaan menangis begini. Bisa-bisa kakaknya itu dengan mudah mencurigai suaranya yang berbeda karena serak.
Baru juga panggilan dari Ken terhenti, kini nama Zean yang muncul di layar datar itu.
“Aku lagi patah hati begini, kenapa kalian berdua malah meneleponku terus, sih,” tangisnya. “Bisa-bisa aku khilaf dan bunuh diri aja, nih.”
Terus menangis, bahkan wajahnya saja terlihat sudah sembab. Melihat kiri kanan, sudah sepi pejalan kaki dan suasananya juga mulai gelap. Ia beranjak dari posisi duduknya ... menghentikan sebuah taksi dan lanjut untuk pulang ke rumah.
“Kenapa nangis, Dek?’ tanya supir takasi karena wajahnya emmang terlihat jelas habis menangis.
“Biasa, Pak ... nangis karena dikhianaitin pacra,” jawabnya dengan tampang malas.
“Oo,” responnya mengangguk paham.
Turun dari taksi dan segera memasuki area rumah.
“Loh, kok Non pulangnya pake taksi?” tanya Pak satpam.
Sudah tahu suasana hatinya sedang galau, sakit hati, kesal dan lain lain ... Pak satpam masih aja bertanya. Ya tentu saja ia juga nggak akan mejawab. Yakali mau jawab putus cinta. Bikin geger satu rumah malah akhirnya.
Terus berjalan, mendapati mobil Zean yang terparkir di dekat teras. Itu berarti dia ada di dalam. Dengan langkah cepat masuk ke dalam rumah dan mendapati Zean sibuk mondar mandir di ruang tamu.
Menghubungi gadis ini berkali-kali dan tak mendapat jawaban, tapi tiba-tiba dia muncul.
“Akhirnya kamu pulang juga,” ujar Zean langsung menghampiri gadis itu dengan wajah cemas. “Kamu dari mana aja, sih, Ren. Aku khawatir.”
Eren tak menjawab. Tapi ia hanya memasang wajah sedih dihadapan Zean. Dan lagi, matanya juga masih terlihat sembab karena habis menangis. Jelas sudah apa yang sedang dialaminya, jika berhadapan dengan Zean.
“Kamu habis nangis?” tanya Zean menyentuh pipi Eren.
Bukannya menjawab, Eren justru malah langsung saja berlalu dari hadapan Zean dan berlari menuju kamarnya. Ini benar-benar jadi waktu yang buruk baginya.
Melihat kondisi Serena, tentu saja ia malah dibuat semakin khawatir. Tadi pagi dia baik-baik saja, bahkan sangat senang saat ia ijinkan untuk pergi bersama cowok yang dia akui sebagai kekasih. Dan sekarang saat pulang justru malah sebaliknya.
Dengan cepat menyusul gadis itu menuju kamar yang memang tak pernah dia kunci sama sekali. Saat masuk, ia dapati dia sedang menelungkupkan wajahnya dibalik bantal. Tapi tetap saja ia bisa mendengar suara isakan tangis itu.
“Ada apa? Apa yang terjadi? Ada yang jahatin kamu?” tanyanya sambil menyentuh lengan Serena.
Dia segera bangun dari posisinya, masih menangis dengan wajah memerah duduk dihadapan Zean.
“Kenapa menangis?” tanya Zean sambil menghapus bekas air mata yang membasahi pipi Eren.
“Kak Zean ... bisa memposisikan dirimu jadi Kakakku sebentar, nggak? Aku butuh,” ungkapnya meminta, masih dengan posisi menangis. Air matanya seolah mengalami tsunami, hingga tak bisa berhenti walau sudah ia perintahkan.
“Aku nggak mau,” tolak Zean.
“Jahat sekali kamu, Kak!” Ia makin menangis tersedu.
“Aku Zean, bukan Ken. Jadi, kalau kamu butuh aku, silahkan. Tapi kalau memintaku berpura pura jadi Ken, aku nggak mau,” jelas Zean tetap menolak.
Tanpa berkomentar lagi, ia langsung saja menghambur memeluk Zean erat. “Aku mau nangis lagi, Kak ... aku mau nangis,” tangisnya kembali pecah dalam pelukan Zean. “Apa aku nggak berhak untuk dicintai? Apa aku begitu buruk hingga hanya boleh disakiti saja.”
Zean hanya mendengar, karena ia juga nggak mau dianggap hanya sebagai pengganti Ken. Ia ingin hadirnya sebagai diri sendiri, bukan pengganti apalagi dianggap Kakak terus.
“Kak Zean ... dia bilang hanya mengasihaniku selama ini. Aku sedih, aku berasa mau nangis terus, aku sakit hati, Kak,” ungkapnya dalam tangisan.
Mendengar saat namanya disebut, barulah Zean merespon dan membalas pelukan Eren. Setidaknya kini ia tahu posisinya bukan sebagai Ken di mata gadis ini.
“Siapa pelakunya?”
Eren tak menjawab, ia seolah masih kesal hanya untuk menyebut dua nama itu. Semakain mengeratkan pelukannya di badan Zean, seolah mencari tempat paling nyaman untuk mengutarakan isi hatinya saat ini.
“Padahal aku membanggakan dia padamu, Kak ... tapi ternyata semuanya bohong. Katanya dia hanya mengasihaniku saja.”
Zean melepaskan Eren yang masih memeluknya. Menangkup wajah dia agar fokus padanya. menatap gadis dengan matanya yang sembab karena terus menangis.
“Apa itu, Glenn?”
Eren mengangguk cepat. “Dia bilang nggak apa-apa kalau kita nggak pernah jalan, tapi kenyataannya justru sebaliknya. Dia punya cewek lain di belakangku. Dan Kakak tahu siapa dia? Sandra. Sahabatku sendiri,” jelasnya dengan tangis yang makin mejadi-jadi. Rasanya ingin berteriak.
Zean kembali membawa Eren ke pelukannya. Ia tahu betul apa yang tengah dirasakan gadis ini. Sungguh, inilah yang ia harapkan. Ya ... saat bersedih, didekapannya lah dia akan merasa tenang. Tapi, bukan kesedihan yang benar benar membuat dia sampai hancur begini juga yang diinginkannya.
“Keluarkan saja kesedihanmu, anggap saja semua air mata itu sebagai rasa yang kamu kumpulkan untuk dia selama ini. Tapi sekarang saat dia menyakitimu, kamu juga berhak membuang semua itu.”
Mendengar perkataan Zean, ia justru semakin dibuat sedih. Bukan, lebih tepatnya ia seolah sedang merutuki kebodohan yang dilakukannya selama ini. Bahkan semakin menyusupkan wajahnya di dada bidang cowok itu.
Membelai lembut dia yang masih menangis tersedu di dekapannya.
“Aku nggak mau nangis, tapi air mataku terus keluar,” ucapnya serak.
“Setidaknya dari kejadian ini kamu sudah punya pengalaman seperti apa rasanya tersakiti. Jadi, untuk kisah selanjutnya, kamu sudah bisa memilah dan memilih yang terbaik sebelum menetapkan hati. Bukan hanya berpatokan pada rasa suka dan cinta, tapi justru rasa nyaman lah yang paling utama. Karena saat nyaman pada seseorang, suka dan cinta juga akan mengikut,” terang Zean.
“Rasanya seperti mau bunuh diri saja aku, Kak. Tapi aku juga takut mati. Karena kalau aku mati ... mama, papa, dan Kak Ken pasti akan sedih. Aku juga nggak mau bikin mereka sedih,” ocehnya disela-sela isakan tangisnya.
“Bodoh!”
Entah kenapa perkataan Zean seolah sedang menyentil hatinya. Maklum saja, ia yang masih anak sekolahan ... merasa suka, ditemba, otomatis malah langsung terima begitu saja. Apalagi Glenn juga salah satu cogan di sekolahnya, sepertinya siapapun juga nggak akan menolak saat dia bilang cinta.
Nyaman, katanya? Apa seperti yang ia rasakan saat ini? Rasanya berada dipelukan Zean benar-benar nyaman. Ia yang sedang patah hati, seolah olah malah melenceng jadi memikirkan dia yang jadi tempatnya bersandar saat ini. Hatinya memang aneh ... bermasalah dengan Glenn, tapi justru fokus pada Zean.
“Nyaman itu yang seperti apa?” tanya Eren.
“Seperti saat berada di dekat seseorang ... kamu merasa tenang dan terlindungi. Seolah-olah kesedihan dan rasa takutmu jadi hilang,” jelasnya.
“Apa saat rasa itu hadir, harus menyertakan rasa cinta dulu?”
Zean menggeleng.
“Kenapa aku merasakan itu saat di dekatmu, ya,” gumamnya.
“Maksudmu?” Bingung Zean.
“Tidak,” elak Eren kembali mempererat pelukannya pada Zean.
Ia yakini ada yang salah dengan otak dan pikirannya saat ini. Putus dari Glenn dengan cara yang benar-benar buruk, tapi saat bersama Zean ... apalagi di pelukan dia saat ini, seolah-olah membuat mantan terluchnut nya itu terlupakan dengan begitu gampang.
Eren duduk di samping Zean dengan sebuah guling yang ia bawa dari kamar. Menatap fokus pada cowok yang saat itu sedang bicara di telepon dengan seseorang. Hanya jadi pendengar yang baik, saat cowok itu terkadang hanya mengeluarkan kata-kata singkat saat bicara di telepon. Sungguh ... itu yang jadi lawan bicaranya pasti merasa gregetan. “Kak Zean nggak pulang?” tanya Eren saat Zean selesai bicara di telepon.Zean menatap dingin ke arah Eren.“Suka sekali mengusirku.”“Aku, kan, lagi nanya, Kak.” Menghela napasnya berat, saat pertanyaannya justru dikira pernyataan.Zean menyandarkan punggungnya di sofa.“Maaf, merepotkanmu,” ucap Eren memasang wajah bersalah.“Tak apa, jika itu membuatmu senang,” balas Zean.Serena malah merebahkan badannya begitu saja, dengan kedua paha Zean sebagai bantalan dan kemudian memeluk guling.“Jadi, menurutmu gimana, Kak?” tanya Serena.“Apanya?” Tiba tiba bertanya begitu, tentu saja membuatnya bingung.“Ya, aku.”“Aku nggak tahu,” respon Zean singkat.“K
Zean duduk di samping Serena yang masih menangis. Bahkan sekeluarnya Ken, dia makin mejadi-jadi tangisnya. Jujur, ia kasihan ... hanya saja iajuga tak bisa berbuat apa apa. Setidaknya hanya bisa melerai sobatnya agar tak terlalu menunjukkan emosi pada Serena.“Belum puas menangis dari sore?”“Kak Zean, nggak mau memelukku?” tanyanya pada Zean.“Sudah ada Ken, kan,” balas Zean.Eren malah langsung saja memeluk Zean. “Aku mau dipeluk sama kamu saja. Kak Ken begitu menakutkan kalau lagi marah. Jantungku seakan mau copot,” jelasnya memeluk Zean sambi menangis.Zean malah terkekeh mendengar penuturan Eren. “Dia begitu karena sayang dan memikirkanmu. Bukan karena marah atau membencimu. Itu yang harus kamu ingat.”“Jangan-jangan kamu kalau lagi marah juga begitu, Kak ... kalian kan couple sejati.”“Saat orang yang ku cinta dan ku sayang dibuat menangis, hal yang sama juga ku lakukan. Tapi tentunya dengan cara yang berbeda.”Lagi-lagi Zean membuatnya kesal. Apa cowok ini sengaja membuatnya sa
Tahu tidak, ini rasanya memasuki area sekolah, seakan-akan ia seperti murid baru tanpa mengenal siapapun di sini. Semua itu karena permasalahannya dengan Glenn dan Sandra. Ia tahu jika dirinya tak salah, tapi rasanya tak tahan jika nantinya harus bertemu dengan dua manusia pengkhianat itu.Masuk kelas, ia dapati Kalina dan Sandra sedang ngobrol, seperti biasa ... masih seperti sebelum adanya masalah. Sedangkan sekarang status keduanya sudah berbeda. Satu adalah sahabatnya dan yang satu adalah pengkhianat.“Pagi, Ren,” sapa Kalina dengan riang.Ya, seperti biasa, selalu ceria meskipun ini masih pagi. Hanya saja dia sepertinya tak tahu tentang permasalahan yang sedang ia hadapi dengan Sandra.“Ren ... lo kok duduk di depan?” tanya Kalina saat Eren malah duduk di kursi depan, di samping kursinya dengannya. Kan, biasanya dengan Sandra di belakang.Tak ada jawaban yang diberikan Eren. Seolah-olah ia enggan untuk mengeluarkan suaranya di dekat Sandra.Kalina bingung dengan apa yang terja
Sampai di rumah, Ken kembali menggendong adiknya itu dan mendudukkan di sofa. Ia bukan orang yang suka pasrah saat adiknya ditindas dan disakiti begini, tapi untuk membalas, dirinya juga punya cara tersendiri.Eren menanggalkan sepatunya dan memeriksa kakinya yang sakit. Bukan luka, ini lebih ke rasa ngilu karena terkilir.Ken kembali dari dapur dengan sebuah mangkok berisi air hangat dan handuk berukuran kecil.“Bagian mana yang sakit?” tanyanya pada Eren.“Ini,” tunjuknya pada bagian pergelangan kakinya yang mulai terlihat membengkak. “Pelan-pelan, ini sakit,” rengeknya saat tangan kakaknya mulai mengompres bagian yang sakit itu.“Ini juga pelan,” komentar Ken.Rengekan demi rengekan makin menghantam pendengaran Ken. Kadang Eren malah memukul tangannya agar menghentikan aksinya itu.“Kalau nggak dipijat begini, kamu mau kakimu nggak bisa dibawa jalan?”Ken mulai mengoceh.“Tapi ini benar-benar sakit, aku berasa mau nangis.”“Udah, nangis aja sesukamu,” respon Ken kembali berfokus pa
Pagi ini Eren turun dari anak tangga dengan perlahan. Apalagi kalau bukan karena kakinya yang masih terasa ngilu untuk diajak berjalan cepat. Bisa-bisa memaksakan ia malah berguling-guling di tangga. Endingnya bakalan patah, bukan terkilir lagi.Mendapati Ken sudah duduk di kursi menikmati sarapan yang sudah disiapkan Bibik.“Pagi, Kak,” sapanya.“Gimana kakimu?”“Udah baikan, hanya dikit ngilu aja.”Ia mulai menikmati sarapannya, tapi tiba-tiba terhenti saat merasakan kalau Ken menatapnya terus. Membuatnya risih saja, meskipun yang memperhatikan adalah kakaknya sendiri.“Kenapa ngeliatinnya gitu amat, sih?” tanyanya masih terus menikmati makanannya.Ken menyandarkan punggungnya di kursi, sambil bersidekap dadda, menatap sang adik dengan tatapan penuh selidik.“Bicara apa semalam sama Zean?” tanya Ken.“Bicara apa?”“Aku lagi nanya, Ren,” keluhnya.“Nggak ada apa-apa.”“Jangan berbohong.”Eren sedikit bingung harus mengatakan apa. Ia menghentikan aktifitas makannya dan mengelap bibirn
Pulang sekolah, ia diantar oleh Kalina. Bukan, lebih tepatnya ia yang meminta, sekalian mau mengajak sobatnya itu menemaninya di rumah. Sebelumnya Kalina jarang mau, tapi kali ini atas paksaannya, akhirnya dia mau. Alasan dia menolak hanya satu, sih ... apalagi kalau bukan takut sama kakaknya. Padahal Ken itu nggak ngapa ngapain dia, loh, ya ... tapi dia bilang saat Ken menatapnya, rasanya kok nakutin.“Kak Ken nggak di rumah, kan?” tanya Kalina memastikan, saat sampai di rumah Eren.“Belum pulang, mungkin sore. Katanya ada kuliah tambahan.” Ini entah jawaban yang ke berapa kali ia berikan. Lagi lagi dia memastikan dengan terus bertanya.“Syukurlah,” leganya.“Kenapa juga jadi takut begitu sama dia, sih ... kakak gue nggak makan orang, kok.”Iya, nggak makan orang ... tapi tatapan dia saja mampu membuat otaknya berhenti bekerja.“Ngeri gue. Ditatap sama Kak Ken aja, itu nyali gue langsung menciut kayak kerupuk kesiram air. Berasa lagi ditatap dewa Yunani.”“Sama siapa? Zeus, Poseidon
Anggaplah ia hanya berani bicara di belakang, tapi berhadapan langsung dengan Zean, jujur saja ia tak seberani itu. Kalau berani, sudah ia telepon Zean dari kemarin-kemarin. Tapi nyatanya apa, ia malah dengan bodohnya malah bertanya pada ken ... yang nyatanya malah membuatnya merasa malu saja.Saat Eren hendak menghentikan sebuah taksi, Zean menyambar tangan gadis itu dan langsung menarik ke pelukannya.“Aku merindukanmu,” ucap Zean langsung.Seketika Eren dibuat diam saat Zean memeluknya erat. Tapi saat sadar, dengan cepat ia melepaskan diri dari pelukan Zean.“Maksud Kakak apa?” tanyanya.Zean menangkup wajah Eren, agar fokus gadis ini hanya padanya.“Kamu memang adik dari sahabatku. Tapi, status itu bisa berubah, kan? Hatiku nggak bisa berbohong, saat rasa sayangku melebihi rasa yang diberikan Ken padamu. Saat kamu sedih, aku berharap jadi tempat pertamamu bersandar. Aku mau kamu terus merasa nyaman saat di dekatku. Tapi ternyata aku salah, saat kau bilang tak ada rasa.”Eren diam,
Bangun tidur, rasanya begitu membahagiakan bagi seorang Serena. Yap, ini adalah hari pertamanya merasa bebas, karena kemarin orang tuanya pindah ke London untuk membuka bisnis yang baru dirintis di sana. Itu artinya, nggak ada yang bisa melarangnya ini itu dan anu.Biasanya mamanya akan melarang untuk keluyuran nggak jelas, atau hanya sekadar shooping dengan teman-temannya. Tapi sekarang, tidak lagi. "Sampai kapan kamu akan senyum-senyum nggak jelas seperti itu?"Sontak, saking kagetnya ia sampai terpekik saat suara itu membuyarkan lamunannya dan langsung terguling dari atas tempat tidur, kemudian mendarat di lantai dengan mengenaskan. "Aduh, Kakak apaan, sih ... ngagetin tahu, nggak!"Ia mengumpat kesal sambil memegangi bokongnya yang terasa nyeri karena mencium lantai. Rasanya sakit, tapi tak sesakit mengharapkan dia yang nggak peka-peka, sih."Ini masih pagi, matahari baru nongol ... udah stress aja."Dialah Kenzie, kakaknya yang paling tengil, cerewet, jahil, dan ... pokoknya s