Share

BAB 7 : Duri Dalam Daging

Di sekolah, saat keluar ia segera menelepon Zean kalau akan sampai di rumah tepat waktu. Oke ... itu berarti dirinya masih punya waktu yang aman untuk berkeliaran hari ini.

“Ren, lo jadi jalan sama Glenn?” tanya Kalina.

“Iya, ini lagi nungguin dia, nih,” jawabnya.

“Sandra mana, ya?” tanya Kalina.

“Tadi katanya mau ke toilet, kan.”

Saat keduanya duduk menunggu di dekat parkiran sekolah, tiba-tiba Sandra datang beriringan dengan Glenn.

“Loh, kok kalian bisa barengan?” tanya Serena heran.

“Papasan di lorong kelas,” jawab Glenn menebar senyum ke arah gadis itu.

Jadilah, saat Sandra dan Kalina memasuki mobil masing-masing untuk segera pulang, sedangkan Serena memasuki mobil Glenn untuk segera pergi kencan. Yap, kencan ... bahkan sudah satu tahun jadian, keduanya hanya menjalani hubungan aneh seperti ini. Tanpa adanya malam minggu, tanpa adanya jadwal kencan dan kesan kesan dalam dunia pacaran yang seperti dilakukan teman teman sebayanya.

“Glenn ... sorry, ya ... kita pacarannya malah jadi aneh gini. Soalnya keluarga gue ...”

“Iya, gue paham kok. Lo tenang aja,” sahut Glenn menimpali perkataan Eren.

Glenn memang terus mengatakan hal seperti itu, tapi tetap saja ia merasa tak enak hati. Yakali orang pacaran ketemuannya hanya di sekolah doang. Mau romantis-romantis pun enggak mungkin lah. Bisa-bisa didepak dari sekolahan. Tapi, ya gimana lagi ... ia tak semudah itu mendapatkan ijin pacaran dari orang tua, apalagi kakaknya.

Keduanya menuju sebuah mall dan makan siang di sebuah restoran cepat saji yang ada di sana. Sambil ngobrol dan bercanda, rasanya benar-benar membahagiakan, ya. Andai saja ia dan Glenn bisa kayak gini tiap malam minggu, bukannya mencuri curi di waktu pulang sekolah begini.

“Orang tua lo kapan balik?” tanya Glenn.

“Kalau mereka nggak tahu, soalnya kan memang udah menetap di sana, tapi kalau Kak Ken ntar malam katanya.”

Di saat yang bersamaan, ponsel milik Glenn yang ada di meja, berdering. Melirik sesaat, tapi segera meriject panggilan itu dan kembali meletakkan di meja. Hanya saja dengan posisi layar dia balik.

“Ada yang nelepon, kok nggak dijawab?” tanya Eren.

“Itu ... dari Mama. Paling minta supaya cepat pulang, soalnya tadi pagi aku janji mau nganterin ke rumah sakit,” jelas Glenn.

Serena meletakkan sendok dan garpu,  menghentikan adegan makannya. “Nggak boleh gitu loh. Mending sekarang kamu jawab dan bilang kalau akan segera pulang,” komentar Eren.

“Ren ... gue lagi sama elo. Dan jarang-jarang, kan, kita bisa jalan,” balas Glenn memberikan sebuah alasan.

Eren tersenyum. “Gue nggak apa-apa. Orang tua tetap yang utama, Glenn.”

Glenn mengelus lembut pipi Eren. “Lo tahu nggak ... gue merasa beruntung banget pacaran sama cewek kayak lo, Ren. Udah baik, cantik, nggak pernah nuntut apa-apa.”

Apalagi balasannya kalau bukan tersenyum sumringah saat dipuji oleh pacar sendiri. Rasanya sangat berbeda, ya ... jika bersama orang yang dicinta. Nggak sama dengan ketika dirinya bersama Zean yang membuat dunia seolah mengalami pergolakan bathin. Antara rasa suka dan rasa kesal yang mendalam ketika dia membahas masalah belajar.

Glenn menjawab panggilan telepon yang kembali berdering.

“Iya, ini aku udah mau keluar, kok. Love you.”

Dahi Eren sampai berkerut mendengar kata ‘Love you’ yang diucapkan Glenn. Bukan, lebih tepatnya ia salut atas sikap dan cara bicara Glenn pada orang tuanya.

“Duh, anak baik. Gue sampai baper mendengar kata-kata itu,” respon Eren ketika Glenn mengakhiri percakapan di telepon.

“Jadi,  nggak apa-apa, kan, gue pulang duluan?”

“Iya. Nanti gue biar naik taksi aja. Lagian, ini juga udah melewati batas waktu bebas yang diberikan,” katanya.

“Batas waktu?”

“Ya ... gue cuman dikasih ijin jalan satu jam, dan sekarang lihat, kan sudah jam 5 sore. Untung aja ponsel gue matiin,” terangnya.

“Gue duluan, ya. Bye, Sayang.”

Setelah membayar semua tagihan makanan, Glenn terlebih dahulu berlalu pergi meninggalkan Eren. Karena cowok itu harus segera pulang.

Seperginya Glenn, ia kembali mengaktifkan ponselnya.Dan baru juga aktif, justru nama Zean lah yang tertera di layar ponsel.

“Kak Zean apaan, sih ... kenapa yang pertama muncul dia terus,” umpatnya kesal.

Ia segera beranjak dari kursi dan menyambar tas nya, kemudian melangkah pergi meninggalkan area cafe. Sampai di luar, menghentikan sebuah taksi yang kebetulan lewat.

Dalam perjalanan, ia berniat untuk menelepon balik  Zean, tapi tiba-tiba niatnya terhenti saat matanya melihat sesuatu yang jujur saja, membuat ia merasa  sedikit merasa aneh.

“Itu, kan, Glenn,” gumamnya sedikit berpikir. “Pak, saya turun di sini saja,” ujarnya pada supir taksi.

Setelah membayar ongkos, segera bergegas turun. Kemudian berjalan mendekat menghampiri seseorang yang ada di area taman. Bukan seorang, lebih tepatnya ia justru dikagetkan dengan dua orang yang berada dihadapannya kini. Mereka yang sangat ia kenal.

Berusaha mengatur detakan jantungnya yang tiba-tiba seolah tak teratur lagi detakannya. Apalagi hatinya ... yang seolah sudah dibuat patah. Bagaimana tidak, ia dihadapkan pada situasi yang tak mengenakkan pandangan mata.

“Apa yang kalian lakukan?” tanyanya pelan, dengan kedua tangannya yang mencengkeram ujung seragam sekolah yang masih dikenakannya.

Sontak, pandangan dua orang itu beralih pada Eren, begitupun rangkulan keduanya yang langsung terlepas. Mereka memasang wajah kaget, karena tak menyangka akan dipergoki dengan cara begini.

“E-ren ... lo kok ada di sini?” tanya Glenn sedikit tak percaya.

Yap, cowok yang ia anggap pacar dan bangga-banggakan tadi, kini ada dihadapannya bersama dengan gadis lain.

Eren tersenyum sinis. “Jadi ini yang kalian lakuin di belakang gue?”

“Eren ...”

“Glenn ... jadi ini alasan lo balik duluan? Jadi dia  yang lo berikan kata ‘love you’ tadi?”

“Ren, gue bisa jelasin.”

“Gue nggak perlu penjelasan lagi,” timpalnmya langsung. “Karena bukti yang gue lihat, sudah lebih dari sekadar penjelasan!” tegasnya.

“Gue minta maaf. Tapi ini nggak ...”

“Cukup, Glenn! Cukup!” bentaknya saat cowok itu berusaha menjelaskan. Bahkan saat dia mendekat, ia menjauh. Ini bukan egois karena langsung berpikiran buruk, tapi sikap yang ada di depan matanya menunjukkan kalau ini adalah sebuah fakta yang benar benar nyata.

Tangannya gemetaran menahan rasa sakit hati. Seakan-akan emosinya akan meledak, tapi mencoba untuk bertahan.

Gadis itu mendekatinya dengan tampang bersalah.  Andai dia adalah orang lain yang tak tak ia kenal, andai dia bukan salah satu orang yang berarti dan mengisi hari-harinya selama ini, mungkin ia tak akan sesakit ini. Sakitnya dkhianati oleh orang terdekat, rasanya benar benar sakit sampai ke bathin.

“Ren, gue nggak bermaksud bikin lo sakit hati, gue nggak bermaksud merusak hubungan lo sama Glenn,” jelasnya kekuh mencoba meyakinkan Serena.

Ia tak ingin menangis dan tak rela mengeluarkan air mata saat dirinya merasa dipermalukan. Tapi justru tangisnya seolah tak bisa ditahan. Sakitnya benar-benar sakit.

“Lo tahu, kan ... Glenn itu siapa dan gue siapa bagi elo. Tapi kenapa nyakitin gue, sih? Salah gue apa sama lo, Sandra?!” pekiknya sambil menangis.

Ya ... dialah Sandra. Seseorang yang ia anggap sahabat. Tidak, justru dia dan Kalina sudah seperti saudaranya sendiri. Bahkan di kala bahagia ataupun kesedihan, pasti dia yang terlebih dahulu ia beritahu. Tapi kini justru ternyata sahabatnya sendiri malah jadi duri dalam daging.

Glenn menarik lengan Sandra dan menjauhkan dari hadapan Eren. “Sandra nggak salah, gue yang salah di sini. Dia cuman datang saat gue merasa sepi tanpa adanya elo yang berstatus pacar,” jelas Glenn malah membela Sandra. “Harusnya sadar diri, Ren ... lo memang nggak patut untuk dicinta!”

Mata Serena langsung  melebar saat mendengar kata-kata yang diucapkan Glenn. Padahal tadinya ia tak berharap kalau Glenn akan bersikap begini, tapi ternyata justru dirinya yang dianggap salah.

“Glenn!” bentak Sandra saat kata-kata yang diucapkan Glenn terlalu kasar. Ia tahu dirinya mencintai Glenn, tapi ketika dia menyudutkan Eren, ia juga tak tahan.

Glenn menatap tajam ke arah Sandra. “Kenapa, San ... ada yang salah dengan apa yang gue katakan? Enggak, kan?”

Sandra kembali mendekati Eren. “Ren, gue minta maaf ... gue salah. Gue yang salah di sini,. Gue salah karena berada di antara hubungan lo sama Glenn,” ungkapnya.

“Udahlah, San.” Kembali menarik Sandra agar menjauh dari Serena. “Eren nggak bisa ngasih apapun ke gue. Bahkan ngasih waktu untuk  berdua aja itu susah banget. Jujur, gue juga butuh tempat mengadu dan berkeluh kesah. Dan gue nggak bisa dapetin itu semua dari elo!” bentaknya mengarah pada Eren.

“Dan apa yang lo bilang selama ini?” tanyanya sedikit melemah.

“Gue hanya kasihan,” jawab Glenn. “Kasihan mau ngelepasin elo. Karena gue tahu, nggak bakalan ada cowok yang mau sama kehidupan seperti itu. Setidaknya dengan status lo yang merupakan pacar gue, bisa bikin kehidupan lo jadi sedikit ...”

Belum selesai kata-kata tak mengenakkan  dikatakan Glenn, sebuah tamparan langsung ia berikan di pipi cowok itu. Jujur, seumur-umur belum pernah tangannya begitu kasar bertindak. Tapi untuk kali ini, ia anggap Glenn sebagai cowok yang lebih rendah daripada dirinya. Jadi, tamparan pertama ini sangat cocok untuk dia.

 Sandra sampai tersentak ketika mendapati sikap Serena yang ia kenal selama ini terlihat lemah dan bersikap lembut, memberikan sebuah tamparan pada Glenn.

“Makasih, sudah mengasihani gue selama ini. Anggap tamparan itu sebagai hadiahnya,” ujar Serena dengan senyuman sinis.

Kini tatapan marah ia arahkan pada Sandra.

“Dan buat elo ... makasih juga, ya. Selama gue nggak bisa ngasih apa-apa ke dia, lo berikan dengan senang hati. Gue salut atas kebaikan yang lo lakuin, San. Next time, semoga kita nggak pernah ketemu lagi. Dan jangan pernah menganggap gue mantan sahabat, ya ...  tapi ingat saja gue sebagai seseorang yang pernah lo khianati.”

Setelah mengatakan hal itu, ia berlalu dari sana. Bahkan saking menyakitkannya, badannya seolah sangat sulit untuk bergerak.  Seperti ada yang menghantam otaknya saat harus menerima kenyataan seperti ini. Bahkan ia tak pernah membayangkan sebelumnya akan mengalami yang namanya dikhianati.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status