Share

6. Undangan Bertamu

Bag 6

.

Seperti biasa saat senja menyapa, Dara akan kembali ke rumahnya. Ia akan pulang bersama Ayu karena gadis itu menawarkan akan mengantarkannya ke rumah. Hanya Ayu satu-satunya teman yang paling mengerti keadaan Dara. Gadis itu tak ikut menghakimi hidup Dara seperti yang orang lain lakukan. Saat Dara mengeluh tak ada uang, ia bersedia mengantar jemput agar temannya itu tak harus jalan kaki untuk pulang. Padahal rumah mereka berbeda arah. Bahkan Ayu sering menjadi tempat Dara meminjam uang, tanpa batas kapan harus mengembalikan.

Ayu hanya merasa lebih beruntung dari Dara, jadi ia hanya ingin berbaik hati dengan gadis itu untuk rasa syukurnya.

Saat Dara keluar dari cafe, ia melihat Rayyan sudah tercekat di depan pintu. Dara menatapnya dengan tatapan bertanya, melihat wajahnya kembali ia mengingat perlakuan ibu Rayyan waktu itu. Merendahkan harga dirinya dengan begitu ke ji.

"Aku tunggu di motor, ya," ucap Ayu yang langsung meninggalkan Dara dan Rayyan untuk berbicara berdua.

Dara menghela napas lelah. Entah kenapa Rayyan masih saja mencari-carinya padahal jelas sekali keadaan mereka berbeda, yang membuat peluang untuk bersatu sangat kecil.

"Ada apa, Dok?" tanya Dara.

"Kamu kembali memanggil dengan sebutan itu, ada sesuatu yang terjadi yang mengganggu suasana hatimu?" tanya Rayyan yang menatap Dara. Ia sudah meminta Dara untuk tidak perlu terlalu formal dengan memanggil dokter. Cukup memanggil nama atau dengan embel-embel Mas.

Ingin sekali Dara berkata jujur, bahwa kemarin ibu dari lelaki itu menemuinya, dan dengan tegas mengatakan tidak merestui hubungan keduanya.

"Oke, maaf. Biasa lah, suka lupa." Dara masih tak acuh.

Rayyan mengangguk mengerti. Ia mengajak Dara untuk mengobrol sebentar di kursi memanjang di dekat cafe.

"Mama ngundang kamu makan malam di rumah." Rayyan tersenyum seolah undangan itu menyiratkan lampu hijau dari sang mama. Lampu pertanda akan mendapat restu dari Yasmin selaku orang yang paling kerasa menentang hubungan Rayyan dan Dara.

Dara mengerutkan kening, ia menahan tawa, lalu mulutnya hampir terbuka untuk mengatakan bahwa ia tak datang hanya untuk mempermalukan diri sendiri, hanya untuk direndahkan di depan keluarga Rayyan. Dara tak ingin itu terjadi.

Namun, mulutnya kembali terkatup, sejenak ia menatap Rayyan yang menaruh harapan di wajahnya. Lalu, Dara mengangguk setuju untuk memenuhi undangan Yasmin ke rumahnya. Dara penasaran dengan apa yang akan Yasmin katakan saat mereka bertemu satu keluarga. Apa pun itu, Dara akan mempersiapkan diri.

Sementara Rayyan, ia tersenyum bersamaan dengan anggukan Dara.

*

Esoknya, di sore yang sama, Dara pulang ke rumah Ayu, karena rumah Rayyan dan Ayu sama arahnya. Ia mandi dan berganti baju di sana. Dara awalnya menolak saat Rayyan yang menawarkan diri untuk menjemput karena ia akan datang setelah magrib, tapi akhirnya Dara setuju karena tak tega dengan Ayu yang terlihat kelelahan dan harus mengantarkannya ke rumah Rayyan.

Dalam perjalanan, tak banyak yang mereka bicarakan. Entah mengapa Dara yang biasanya banyak bicara lebih memilih diam dan memikirkan apa dan bagaimana saat ia sampai di rumah itu. Ia memang pernah berkali-kali datang ke rumah calon suaminya dulu, saat mereka mengenalkannya ke orangtua. Dara dengan begitu polos dan percaya diri datang dengan senang hati, lalu saat pulang ia akan menangis karena hinaan mereka. Hinaan dari orang-orang yang merasa terlalu suci, dan menatap Dara seperti kotoran.

Dara pikir, statusnya sebagai anak diluar nikah tak masalah bagi orang lain, karena itu bukan salah ibunya. Bukan karena buta nafsu dan terjerumus dalam pergaulan bebas, tapi ia lahir karena musibah yang semua orang tak bisa menerimanya.

Lama kelamaan, seiring dengan pengalaman pahit yang membuatnya sedikit dewasa, Dara baru mengerti. Bahkan kelahiran, nasab, harta adalah tentang kasta. Kasta tinggi rendah yang direkayasa oleh manusia, standar yang diciptakan oleh manusia, bukan Tuhan. Karena Tuhan tak pernah memandang kasta.

Setelah menempuh setengah jam perjalanan, Dara tiba di rumah Ray.

Dara terpana melihat semua keindahan di sekeliling. Rumah mewah dan megah berdiri kokoh dengan segala ornamen yang menghibur mata. Lalu, Dara tersenyum miris mengingat keadaannya di rumah. Jauh berbeda.

Dara menggeleng pelan. Perbedaan yang bahkan bisa dirasakan dengan menutup mata. Lalu, Rayyan mengatakan akan menikahinya?

Nonsense!

"Jangan bengong, Dara. Yuk masuk!" ajak Rayyan yang langsung melangkah membuka pintu.

Dara mengikuti, hingga saat pintu itu terbuka, Dara sedikit menganga melihat isi di dalamnya. Namun, tentu saja ia tak menampakkan kenorakannya. Ia tahu ciri khas rumah orang kaya layaknya di televisi, tapi ini untuk pertama kali ia melihat secara langsung.

Rayyan mengajak Dara masuk, di dalam sana terlihat Yasmin dan Fahira sedang menunggunya.

Dara duduk setelah dipersilakan. "Oh ini yang namanya Adara? Cantik, kayaknya namanya." Yasmin memuji, diikuti anggukan Fahira yang membenarkan ucapan mamanya.

Sementara Dara sendiri tersenyum geli, dalam hati berkali-kali mencurigai Yasmin. Namun, ia tetap berusaha menyembunyikan senyum sinisnya, hingga yang terlihat hanya senyum manis yang terkembang.

Setelah sedikit mengobrol, Yasmin menyuruh Fahira untuk membantu Simbok yang sedang menyiapkan makan malam. Sedangkan Rayyan disuruh untuk memanggil papa yang sedang sibuk di ruang kerja untuk segera turun dan makan malam.

Tinggallah Dara seorang diri di ruang tamu. Ia ingin membantu Fahira di dapur, tapi sungkan. Sejenak ia hanya mengamati sekeliling interior rumah mewah itu. Lalu, ia pamit sebentar ke toilet untuk sekadar membuang rasa gugupnya.

Beberapa saat kemudian, Dara kembali dari toilet dan ia dipanggil oleh Fahira karena hidangan sudah siap untuk dinikmati. Semua orang berkumpul di sana, kecuali Yasmin.

Kemudian wanita paruh baya itu keluar dari kamarnya yang terletak di lantai bawah, ia memanggil Fahira yang baru saja akan duduk di kursi meja makan dekat Dara.

"Kenapa, Ma?" tanya Fahira menatap bingung mamanya.

"Kamu liat cincin berlian mama, nggak? Yang minggu lalu mama beli itu." Yasmin terlihat resah karena ia sudah mencari cincin itu di semua kotak perhiasan, tapi sama sekali tak ditemukan.

Fahira ingat, cincin berlian berwarna putih mengkilat yang mamanya bilang seharga ratusan juta. Namun, ia sama sekali tak melihatnya.

"Lupa kali naruhnya di mana, Ma!" sahut Rayyan.

"Enggak Ray. Setiap pulang dari suatu tempat, mama pasti masukin ke kotak perhiasan lagi."

Dara hanya diam. Ia bahkan belum duduk di kursi mewah itu, tapi sudah disambut dengan drama kehilangan.

"Bantu mama cariin ya, bisa stress mama kalau cincin itu hilang."

Fahira dan Rayyan mengehal napas lelah. Rasa lapar terpaksa harus ditahan karena harus mencari cincin mama yang hilang. Sementara Damar, masuk ke kamar, bisa jadi istrinya yang lengah dan lupa di mana menaruhnya.

Dara ikut mencari, entahlah. Ia pun tak tahu bagaimana bentuk cincin itu.

Lalu, semuanya berkumpul di ruang tamu. Yasmin bertanya pada semua orang tentang hasilnya, tapi semuanya menggeleng. Hingga wajah itu terlihat makin stress.

Ponsel Dara berbunyi, ia membuka tas dan mengambilnya. Bersamaan dengan ponsel yang terambil, sebuah benda kecil jatuh berdentung di atas lantai mengkilap itu.

Semua orang di sana menatap Dara penuh selidik. Itu cincin milik Yasmin

El Baarish

Up dengan komentar ya 💞

| Like

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status