Share

BAB 6: Selingkuh Maut

Pangkaslah batang dan daun tanaman sampai habis, selama akarnya masih hidup, berilah air, maka tunas-tunas baru akan tumbuh lagi.

Siska, tetangga Millia berkencan dengan mantannya, Soni di kafe jalan Amboa. Cinta lama itu bersemi kembali. Sebuah cinta yang terlarang, karena sebuah cincin telah melingkar di jari manisnya. Perjumpaan keduanya di mal empat bulan yang lalu, mengawali perselingkuhan mereka.

Perpisahan Siska dan Soni bukan karena saling benci, melainkan karena tidak mendapat restu dari kedua orang tuanya. Bagi ayah dan ibu Siska, Soni bukanlah tipe laki-laki yang bertanggungjawab. Terlalu liar dan masih ingin berenang-senang, kata mereka.  Namun bagi Siska, Soni adalah pria yang telah mengambil mahkota keperawanannya. Ia adalah pemilik hatinya.

Orang tua Siska memperkenalkan Hans kepada Siska, seorang pria yang konservatif, kaku, mementingkan keamanan dan kepastian. Ciri-ciri laki-laki yang setia dan lebih menjamin di mata kedua orang tua Siska.

Perbedaan usia yang terlampau jauh, yaitu 20 tahun membuat Siska berpikir 1000 kali untuk menerima Hans. Sifat Hans memang lebih dewasa dibandingkan Soni, lebih mengayomi seperti seorang kakak, baik, tapi agak membosankan.

Hans melakukan PDKT dengan sangat sabar kepada siska yang terbilang muda dan meledak-ledak. Bahkan boleh dikata terlampau sabar, sampai Siska merasa tidak enak mengacuhkannya. Atas desakan ayah dan ibunya, akhirnya Siska memutuskan menerima Hans. Ia merasa, mungkin ia harus lebih open minded. Mungkin orang tuanya yang sudah lebih lama mengarungi samudra pernikahan lebih paham lika-liku bahtera rumah tangga. Akhirnya Hans dan Siska pun menikah.

Hans memperlakukan Siska bak seorang ratu. Ia melakukan semua yang diimpikan oleh para wanita akan prianya. Kemana-mana diantar, dijemput, pintu mobil dibukakan, tidak mengizinkan basah oleh hujan, harus dipayungi. Serasa punya suami rasa personal asisten. Hans juga termasuk royal mengeluarkan uang untuk perawatan istrinya. Salon rambut, salon kecantikan, spa, pedikur, manikur, sebutkan saja.

Siska sampai berpikir, ini cowok gila banget sih. Perlahan tapi pasti ia mulai jatuh cinta dengan pria yang gemuk itu, dan yang rambut serta jenggotnya sudah mulai muncul uban itu. Bahkan akhirnya ia mengizinkan pria itu untuk menghamilinya. Padahal selama ini ia tidak menginginkan anak darinya. 

Setelah 3 tahun menikah, Siska hamil. Usia kandungannya empat bulan. Mereka memutuskan untuk membeli rumah dan pindah dari rumah mertua. Rumah tersebut cukup besar, namun harganya fantastis murahnya. Seharusnya mereka curiga, kenapa harganya begitu rendah. Sayangnya mereka sudah terlalu bahagia, menemukan rumah impian mereka.

Kemudian terjadilah pertemuan tak terduga di mal antara Siska dan Soni. Akar cintanya pada Soni masih belum mati. Perjumpaan itu adalah airnya. Chat-chat nakal adalah pupuknya. Dan seks di hotel adalah zat perangsangnya. Cinta terlarang mengeluarkan tunas baru.

Hubungan mereka berlangsung empat bulan dan Siska kembali tergila-gila seperti saat dulu pacaran.

Pertemuan mereka di kafe jalan Amboa untuk membahas sesuatu yang penting.

“Sayang, apakah kau mau memilihkan nama buat anak kita?” tanya Siska.

“Itu kan anaknya Hans,” jawab Soni pendek.

“Tapi kamu akan menikahiku, kamu akan jadi bapaknya. Aku mau kamu yang berikan nama, bukan Hans.”

Soni menghela nafas, “Bagaimana mungkin menikahimu. Statusmu saja masih istri orang. Hans tidak akan pernah setuju untuk menceraikanmu. Ia tipe laki-laki yang akan memperjuangkan keutuhan rumah tangganya.”

“Sayang, jangan marah gitu donk. Aku dan Hans akan berpisah tak lama lagi. Aku sudah punya rencana. Yang penting kamu janji ya, nikahi aku.”

Hans memandang mata Siska, “Baiklah, kutunggu jandamu.”

Sebuah ciuman di bibir pun mengunci janji mereka.

Siska sudah memikirkan sebuah rencana. Rencana yang lahir entah dari mana dan selalu terbayang-bayang di benaknya

Siska tiba di rumah sekitar jam 12:05. Tepat jam makan siang. Ia menyiapkan masakan kesukaan Hans, ayam goreng kunyit pakai sambel terasi. Suaminya sangat suka memakannya dengan nasi putih yang masih mengepul.

“Wah sayang, makan siangnya spesial sekali,” puji Hans. Ia merasa senang sekali, dilayani oleh istrinya seperti ini. Sebab sudah beberapa bulan terakhir istrinya jutek kepadanya. Bahkan enggan bersetubuh dengannya. Hans berusaha untuk memaklumi dan bersabar, mungkin kehamilannya menyebabkan mood swing.

Mereka berdua makan bersama. Wajah Hans tak henti-hentinya menunjukkan betapa nikmatnya nasi dan ayam yang ia lahap. “Arrghhh! Hebat kamu masaknya sayang,” puji Hans dengan tulus dan menghargai hasil kerja istrinya.

Setelah Hans hampir selesai. Siska berdiri dan mengambil sebuah botol anggur dari kulkas bersama dengan sebuah gelas anggur. Ia bawa ke meja makan dan meletakkan gelas itu di hadapan Hans. Kemudian ia menuangkan isi botol itu ke gelas.

“Currrr....,” bunyi minuman bewarna merah memenuhi gelas.

Hans tersenyum mendapatkan pelayanan super spesial dari istrinya. Rasanya jadi makin cinta.

“Hans, minumlah ini untukku,” pinta Siska.

“Sayang ada perayaan apa sih? Kok makanannya sudah luar biasa, terus sekarang pakai anggur?” tanya Hans heran. 

Siska kembali duduk. Ia menatap suaminya dengan wajah datar. “Hans, aku mau buat sebuah pengakuan.”

Hans mencondongkan telinganya dan ia masih tersenyum. “Pengakuan apa?”

Siska menarik nafas. Lalu menghembuskannya. Ia mengumpulkan keberanian untuk mengatakan isi hatinya, “Sesungguhnya aku tak pernah mencintaimu.”

Senyum Hans langsung pudar mendengar ucapan istrinya. Ia membeku sampai 5 menit tanpa berkedip. Ia tidak mempercayai pendengarannya. Pernikahan mereka rasanya baik-baik saja. Mengapa tiba-tiba berubah? Ada apa? Kenapa? Pikirannya penuh dengan pertanyaan. Padahal mereka baru punya rumah, sebentar lagi mereka akan memiliki anak, dan selama ini dia selalu berusaha yang terbaik untuk Siska.

“A... apa sayang?” tanya Hans dengan mata berkaca-kaca. Hati pria mana yang tidak hancur mendengarkan kalimat itu dari istri yang sangat dicintainya.   

Siska mengenggam tangan Hans dan dengan wajah yang mencoba memberi pengertian dia berkata, “Aku baru menyadari ini semua, setelah aku bertemu lagi dengan Soni. Dia mantanku. Kami saling mencintai dan dia ingin menikahiku. Demikian juga aku.”

“Sayang, kamu sedang bercanda kan. Ini prank kan.” Hans menengok ke kiri dan kanan. “Mana kameranya? Kamu baru mulai Youtube channel, ya?” tanyanya dengan tertawa, tapi nada suaranya bergetar.

“Tidak, Hans. Aku serius. Kamu bukan laki-laki yang aku idamkan. Aku menyesal telah menikah denganmu. Aku berhak mendapatkan laki-laki yang lebih baik. Dan Soni adalah laki-laki itu.”

Hati Hans serasa terpukul palu godam. Emosinya campur aduk, ada sedih, marah, kecewa. Harga dirinya terasa diinjak-injak, dibanding-bandingkan dengan pria lain. Padahal selama ini ia yang telah mengeluarkan daya usaha untuk membangun mahligai rumah tangganya. Tiba-tiba saja pria yang belum membuktikan apa-apa dianggap lebih baik daripadanya?

“Aku tahu, kamu akan kaget mendengar ini. Jadi aku tuangkan anggur itu agar kamu bisa lebih tenang melewati semua ini,” kata Jeni.

Hans memandang anggur merah di gelasnya sekian lama. Lalu dia memberikan senyum terbaiknya kepada Siska, seperti orang yang baru saja mendengar kabar yang sangat menggembirakan hati.

“Sayang, jika itu memang yang kau inginkan,” kata Hans. Kemudian ia mengangkat gelas itu dengan gemetar dan meneguk semua isinya.

Raut wajah Siska berubah bahagia dan puas, melihat Hans menghabiskan minuman itu. Terlebih ketika Hans mengisi lagi gelasnya dengan anggur.

“Diminum lagi, Hans. Aku tahu kamu perlu itu,” bujuk Siska dengan lembut.

“Siska....,” panggil Hans.

“Ya?” jawab Siska.

Hans menatap mata istrinya dalam-dalam. Pikirannya kalut. Ia merasakan putus asa yang amat sangat. “Mari kita mati bertiga…”

Siska kaget. Hans berdiri, membawa gelas itu dan mendekati istrinya. “Ayo minum.”

Siska menggeleng, menolak, “Tidak!”

“MINUM!” paksa Hans, berusaha mencekoki istrinya.

Rupanya rencana Siska ketahuan. Hans tahu, bahwa anggur itu beracun.

“PRYANG!” Siska menepis gelas itu hingga terlepas dari tangan suaminya dan pecah di lantai.

Hans melirik botol anggur di meja dan mengambilnya.

“MINUM!” bentak Hans.

“TIDAK! AAA!” tolak Siska.

HANS menekan leher istrinya agar tidak bergerak. Ia jejali mulut istrinya dengan bibir botol itu dengan kasar. Siska terus meronta dan menggeleng. Air anggur tumpah ke sana ke mari, membasahi baju Siska, ke meja dan lantai.

Tiba-tiba. “AKH!” Hans meringis. Ia merasa perutnya sakit dan kepalanya mulai pusing hebat. Hans buru-buru pergi dengan terhuyung-huyung ke WC. Efek racun sudah mulai bereaksi. Ia tusuk-tusuk amandelnya untuk memancing reflek muntah.

Selagi Hans sibuk di toilet, Siska mengambil sebilah pisau dapur hadiah pernikahan mereka. Sebuah pisau yang ujungnya dengan mudah memotong taplak saat bersentuhan.

Siska kembali ke WC, melihat suaminya sedang berlutut, berusaha untuk muntah di toilet duduk.

“Hans, biar aku buat penderitaanmu berakhir, ya…” kata Siska. Ia angkat pisau itu, Kemudian ia tusuk punggung suaminya. Hans menjerit kesakitan. “AAAKH! Siska gila kau!”

Siska mencabut pisau itu kembali. Darah membasahi bagian belakang baju Hans. Ia mencoba menusuk Hans berkali-kali lagi. Akan tetapi Hans memberikan perlawanan.

“SETTT!” Pisau itu mengayun.

“AKH!” jerit Hans.

Telapak tangannya tersayat.

Refleks Hans menendang perut Siska hingga istrinya merasakan nyeri di perut dan ia terhuyung-huyung ke belakang. Pisau pun terlepas dari tangannya.

Hans memungut pisau itu dan memandang istrinya. Hati dan pikirannya sudah penuh dengan rasa kecewa dan amarah. Ia selalu ramah dan baik kepada orang. Namun entah saat itu pikirannya tertutup kabut. Ia kalut dan histeris. Ia ingin membunuh Siska dan bayi dalam kandungannya.

Siska merasa nyawanya terancam. Dia berlari tertatih sambil memegangi perut ke ruang tamu. Ia hendak kabur lewat jendela. Kaki kirinya sudah melewati kusen jendela. Akan tetapi Hans keburu menjambak rambutnya. Spontan Siska berteriak, “TOLONG!”

Hans menarik Siska hingga ia jatuh ke atas sofa. Saking kerasnya, cukup banyak helaian rambut yang tercabut dalam genggamannya.

Hans berdiri di samping istrinya, menatap perut istrinya yang besar. Bibirnya gemetar. Telapak tangannya dingin. Jantung berdetak sangat kencang. Nafasnya memendek. Dia mengangkat pisau itu tinggi-tinggi. Ia ingin menghukum istrinya yang tega mengkhianatinya.  

Siska berteriak, “AAAAAAA!” Karena ngeri luar biasa melihat mata pisau yang berkilau tertimpa sinar matahari. Ia bisa membayangkan rasa sakitnya bila ujung pisau itu menembus perutnya. Tapi ia sudah tidak berdaya.

Tiba-tiba seseorang menerobos masuk lewat jendela yang terbuka.

“Hentikan!”

Orang itu segera melompat dan menabrak Hans dengan badannya. Hans pun terdorong.

Ternyata itu Millia!

“Hentikan! Jangan diteruskan. Kalian sedang dalam pengaruh makhluk astral negatif di rumah ini,” kata Millia.

Hans marah dengan kehadiran Millia. Ucapan Millia tidak lebih dari sekedar angin. Ia ingin menghabisi nyawa orang asing itu.

“MATI KAU! BANGSAT!” teriak Hans sambil merangsek ke arah Millia. Ia sudah seperti bukan manusia lagi.

“WUSH! WUSH” pisau itu menyabet-nyabet serampangan tak sabar untuk menumpahkan darah. Millia menghindar ke kiri dan ke kanan. Namun kaki Hans berhasil mendarat ke dada Millia. Ia terjatuh telentang ke atas lantai.

Hans langsung melompat, mengangkangi dan menduduki perut Millia. Pisaunya terangkat. Tanpa basa-basi pisau itu meluncur ke leher Millia.

“PLAK!” bunyi benda keras menghantam batok kepala. Kepala Hans kena pukul asbak batu oleh Siska,  hingga ia tersungkur ke samping, terbujur di lantai, tak sadarkan diri.

Siska menghampiri Hans dan mengambil pisau yang tergeletak di lantai. Kemudian ia menengok ke arah Milia dengan mata yang dingin.

Penghuni rumah itu sedang dalam pengaruh makhluk negatif yang jahat. Millia harus bisa menemukan makhluk itu dan menyerapnya ke dalam tubuhnya. Masalahnya ia sudah tidak memiliki hape sakti Jeni dan ia tidak bisa melacak keberadaannya. Dalam situasi ini melumpuhkan Siska adalah solusi sementara terbaik. Namun tetap masalah utamanya tidak akan beres.

“MATI!” teriak Siska sambil berjalan mengangkang dengan cepat ke arah Millia yang masih berada di lantai. 

Millia memutar badannya untuk menghindari ujung pisau. Kemudian ia menyikut kepala Siska, tepat di telinganya. Siska merasa disorientasi dan pengang. Kesempatan itu tak disia-siakan Millia. Ia sikut lagi, kali ini mengenai wajahnya hingga hidungnya berdarah. Alhasil Siska jatuh ke samping dan Millia bisa bebas berdiri.

“Sial kau!” maki Millia, bukan kepada Siska tapi kepada makhluk yang ada di rumah itu.

Siska menyusul berdiri dengan sangat cepat. Rambutnya sudah acak-acakan. Wajahnya sudah seperti orang gila. Bola matanya sudah putih semua. Seperti orang yang tenaganya tak habis-habis Siska melabrak Millia dengan membabi buta. “GYAAAAAAAAA!” pekiknya dengan mengerikan.

Millia berusaha menghindari serangan-serangan Siska hingga ia menyadari sesuatu di kaca jendela yang ada di belakang Siska.

Gerhana Bulan Merah.

Ia teringat kata-kata Jeni. Makhluk halus bisa nampak saat fenomena alam ini walau samar-samar. Millia kira gerhana bulan hanya terjadi pada malam hari. Ternyata di siang hari juga bisa muncul. Mungkin dia mulai perlu belajar tentang hal-hal yang menurutnya tidak penting.

Di saat itu juga ia berusaha mencari di sekeliling, semoga informasi dari Jeni tidak salah. Dan ia berharap makhluk itu cukup ceroboh untuk bersembunyi di tempat yang mudah ditemukan.

Ketemu!

Dalang yang menarik tali-tali korbannya untuk bersikap gila sedang bersembunyi di lukisan yang terpasang di dinding. Wujudnya kepala tanpa badan. 

Menyadari keberadaan terdeteksi. Kepala itu keluar dari lukisan hendak melayang naik menembus langit-langit.

Millia mengeluarkan sepasang sarung tangan dari kantongnya, salah satu penemuan Jeni yang belum ia kembalikan. Bibirnya merapal mantra, semacam password untuk mengakses sumber kekuatan dari alam gaib. Bussshhh! Kedua tangannya berubah wujud, bercahaya kebiruan. Dengan cekatan ia melompat dan menangkap kepala itu. Alat itu memungkinkan ia untuk bersentuhan fisik dengan roh itu.

Lalu ia tarik sekuat tenaga. “MASUK KAU KE DALAM, SETAN!” teriak Millia. Ia tekan kepala itu ke dadanya dan membaca mantra. Sebuah pusaran seperti lubang hitam muncul di dada Millia, menyedot makhluk itu ke dalam.

“TIDDAAAK!” teriak makhluk. Ia berusaha meronta-ronta dan kabur, namun sia-sia.

Makhluk itu berhasil tersedot masuk. Akan tetapi masalahnya belum selesai sampai di situ. Hawa negatif makhluk itu ternyata cukup kuat. Selain itu Millia sudah semakin lemah. Ibarat wadah yang sudah retak-retak. Akibatnya hawa negatif yang dibawa makhluk itu dan makhluk yang sudah tersimpan sebelumnya, mempengaruhi Millia. Ia berubah seperti kerasukan.

Millia menatap tajam Siska yang saat itu sudah tersadar dari pengaruh setan itu. Kini gantian ia yang mendorong Siska hingga jatuh ke lantai. Ia mencekik Siska dan memukul perut buntingnya berkali-kali. Siska mengerang, merasakan nyeri yang amat sangat.

Tenggorokan Siska terjepit. Tak bisa bernafas. Wajahnya mulai membiru. Tak lama lagi, Siska pasti meregang nyawa.

Tiba-tiba. “Keras kepala!”

Jeni muncul dan memasangkan topi ke kepala Millia. Sebuah alat yang fungsinya untuk mengambil alih fungsi otak, agar tidak bisa dikendalikan oleh makhluk astral. Dengan kata lain, Topi Anti Kerasukan – T.A.K

Millia mengadahkan kepalanya beberapa saat. Sebelum akhirnya tersadar dan segera melepaskan cekikannya.

“Oh, Siska, Siska, maafkan aku,” kata Millia menyadari perbuatannya.

“Oh, Jeni. Apa yang kau lakukan di sini?” tanya Millia sambil memeriksa keadaan tetangganya yang mengalami luka serius dan syok. Ia segera meraih hapenya dan menelpon ambulan.

“Menyelamatkan pantatmu dari kepala batumu,” jawab Jeni.

“Topi yang bagus,” puji Millia, melirik benda yang ada di atas kepalanya.

“Jangan kau lepas topi, itu. Kau sudah kerasukan tadi. Berkelahi dengan orang kesurupan bukan keahlianku.”

“Terima kasih, Jen.”

“Sudah gue duga, lo hendak melakukan sesuatu yang nekat. Karena itu lo gue buntuti.”

“Gue bersyukur, lo melakukan itu.”

Sekitar 20 menit kemudian polisi dan paramedis tiba di tujuan. Mereka segera mengurus para korban dan membawa mereka ke rumah sakit.

Polisi mengambil keterangan dan Millia. Tampaknya mereka sudah mengenal dia dan menduga-duga dengan apa mereka berurusan. Belum lagi rumah itu memang dalam sejarahnya sudah sangat sering berganti pemilik. Karena sering terjadi pembunuhan yang motivasinya cemburu dan perselingkuhan.

Penyebab sesungguhnya tak lain dan tak bukan karena aktivitas makhluk astral negatif yang menguasai rumah itu.  Makhluk yang sama, yang Millia rasakan di kafe. Makhluk itu sudah lama menempel pada Siska dan mempengaruhinya untuk selingkuh. Benih perselingkuhan itu sudah ada di dalam diri Siska. Ia hanya cukup memberikan sedikit dorongan.

Millia merasa lelah dan haus. Jeni mengambilkan sebuah botol air minum kemasan - Ahqusa yang ia lihat ada di dalam kardus, tergeletak di sudut dapur. Kemudian ia memberikannya kepada sahabatnya. Millia meneguknya. “Ahhh!”

Tanpa mereka sadari, bahwa air yang ada di dalamnya akan menuntun nasibnya ke event berdarah di Gelora Bung Karno.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status