Share

BAB 7: Cinta dan Pertemanan is a Bullshit!

Kembali ke masa sekarang. Waktu menujukkan jam sembilan malam. Suasana sudah gelap, dan terdengar suara jangkrik mengirik.

Kamar tidur Linda, dua kamar kecil yang bergabung jadi satu. Kamar yang satunya berasal dari hibah mamanya, karena tidak terpakai. Jeni lebih memilih tidur di dalam lemari ala Doraemon.

Kamar anak perempuan remaja biasanya terpajang pernak-pernik yang manis dan lucu, foto-foto berisi momen-momen bahagia bersama keluarga atau teman di dinding, mungkin juga beberapa poster artis KPOP, dan di rak bukunya berbaris novel-novel romantis, atau chicklit. Akan tetapi Linda berbeda. Ia menggantung samsak 25 kg pada bracket besi yang terpasang di dinding kamarnya. Di tempat tidurnya tergeletak buku non fiksi “Portal Dunia Gaib.” Dan satu-satu foto yang ada di kamarnya adalah foto saat dia masih kecil bersama Jeni dan Millia, terbingkai dalam frame putih polos di meja.  

Kamar Linda nampak remang-remang. Hanya mengandalkan cahaya dari taman yang masuk lewat jendela. Kondisi keuangan mamanya saat ini, mengharuskan dirinya turut peduli untuk berhemat. Terkadang situasi seperti itu sesekali mampir dalam kehidupan mereka. Dia harus beradaptasi.

Di kamar, Linda hanya mengenakan tanktop dan celana pendek. Kakinya meloncat-loncat kecil, sebelum dua detik kemudian tinju-tinjunya meledak, memukuli samsak di kamarnya. Bam! Bam! Bam! Ini kebiasaan yang sering ia lakukan bila ia sedang mengalami mood swing yang bad mood. “HiaH! Hegh!” teriaknya menyalurkan emosi negatifnya ke kepalan.

Sumber ke BT-annya karena Linda terus teringat akan kejadian siang tadi. Ada perasaan bersalah atas sikapnya terhadap Beni. Dan ia tidak suka menyandang rasa itu. Dia ingin masa bodoh, tapi tidak bisa.

“Sudah gue bilang gue bisa pulang sendiri….,” gumam Linda kesal. “Dianya aja yang goblok! Hegh!”  

Sudah lama Linda membekukan hatinya, bersikap keras dan dingin agar hatinya tak lagi terluka. Akan tetapi sebagai cewek, hatinya tidak bisa 100% kedap terhadap perhatian seorang cowok.

Linda memandang ke arah cermin, mencopot Moisture Chambernya, dan melihat pantulannya yang remang dalam gelap. Dia sadar betul, dirinya bukan tipe cewek-cewek umumnya. Hal itu membuat ia sering merasa insecure.

Wajah aneh. Mana ada cowok yang peduli dengan cewek yang matanya selalu melotot seram seperti Suzzana, aktris horor lawas kesukaan mamanya? Jika ada yang mendekat, sudah pasti niatnya tak baik, hanya ingin mempermainkan.

Linda tidak bisa juga terlalu disalahkan atas sikap sadisnya kepada Beni. Ia pernah mengecap pengalaman pahit dalam hubungan asmara. Brian adalah nama cowok yang tega mempermainkan hatinya.

Dulu di kelas 9 Brian mendekatinya seperti permen karet di sol sepatu. Lengket. Linda tahu diri, ia tidak mungkin ia akan bisa menjalani sebuah hubungan normal. Seorang laki-laki bersama cewek biasa saja, belum tentu bisa tahan dengan drama dan PMS-nya. Apalagi dengan cewek yang mood swing-nya akut, berkali-kali lebih parah, bahkan sewaktu-waktu emosinya bisa meledak dan membunuh.

Linda sudah menolak Brian berkali-kali, sering jutekin dia, jahatin dia. Akan tetapi manusia itu tidak pergi-pergi juga. Rasanya Linda ingin menyemash lalat itu. Namun lalat itu bisa sewaktu-waktu berubah menjadi pangeran yang mengunci tangannya ke tembok dan memojokkannya dirinya lewat dominasi kelakiannya.

Akhirnya kesabaran dan kegigihan seorang Brian meluluhkan hati seorang Linda. Saat cowok itu menembaknya di sekolah, Linda memutuskan untuk membuka hatinya. Ia ingin mempercayai, bahwa ada kok seorang cowok yang bisa menerima dia dengan segala kekurangannya. Mungkin di antara sekian milyar kaum adam, ada satu yang seleranya gak jelas, yang molekul DNA pengatur preferensi ceweknya lepas saat dia masih bentuk sperma.

Sesaat setelah Linda menerima cintanya, Brian tersenyum, mengangkat kedua lengannya ke atas, sampai berlutut dan berteriak, “Yes! Yes! Gue menang, yeaha!” Sudah mirip peserta kompetisi final American Got Talent.  

Awalnya Linda kira Brian sangat gembira, karena berhasil mendapatkan dirinya dengan susah payah. Ia pun bahagia, karena merasa sangat diinginkan.  

Akan tetapi hal yang terjadi semenit kemudian, serasa bak Tsunami yang memporak-porandakan Aceh. Satu momen terburuk dalam hidup Linda yang sangat membekas. Teman-teman Brian muncul dari persembunyian. Mereka menyerahkan sejumlah uang ke tangannya sambil ngedumel. Brian mengumpulkan semuanya dengan senyum yang lebar dan mencium lembaran kemenangan itu.

Detik itu Linda tersadar… cowok itu hanya menjadikannya ajang taruhan. Jahat! Brian juga tidak terlihat merasa bersalah sedikit pun.

Linda patah hati di cinta pertamanya yang usianya baru semenit.

Apakah karena gue jelek, maka layak dipermainkan?

Cinta is a bullshit!

Lagu End of The World soundtrack dari The Queen's Gambit serasa mengalun.

“Hiah! Hah!” “BUK! BUK!” Samsak mulai berayun-ayun hebat. 

Lagipula, Brian dan Beni, sama-ama berawalan huruf ‘B’. Emosinya menghubung-hubungkan dua hal yang tak berkaitan untuk memperkuat kecurigaannya.

“Huh!” “Bak!” Linda berhenti. Nafasnya terengah. Rasa bersalah masih saja bergelayut di hatinya. Ia teringat nomor hape Beni di tangannya.

Mungkin sebaiknya gue kirim pesan maaf. Tidak perlu panjang-panjang cukup tulis, ‘maaf’ dan titik. Setelah itu semua akan kembali normal. Gue akan menjalani hari-harinya seperti biasa lagi. Namun ketika dia balik telapaknya, nomor itu sudah hampir terhapus, tak bisa lagi terbaca. Sial!

Baru saja Linda memikirkan Beni, ia kaget setengah mati, menyadari ada cowok di balik kaca jendela sedang mengamatinya. Linda bergegas menghampiri jendela dan membukanya. Tanpa banyak cakap ia langsung melayangkan tinju kanannya. Orang itu mengelak.

Linda membentak dengan volume dikecilkan karena sudah malam, “Ngapain di sini? Ngintipin gue?!”

“Woah, galak sekali.” Orang itu ternyata Beni.

Beni mengamati bodi Linda yang memang sedang terlihat agak seksi saat itu. Meskipun wajahnya seram, namun dada Linda ukurannya dan bentuknya.... ya lumayanlah. Cowok pasti secara insting melirik. 

Linda meraih bangku plastik yang ada di dekatnya dan langsung melemparnya ke arah Beni. Beni hendak mengelak ke kiri. Namun Linda menggunakan kekuatannya, hingga tubuh Beni tak bisa bergerak. Tak pelak ia pun mencium bangku itu. “Bak!”

“Awwww!” pekik Beni kesakitan.

Linda melompat keluar jendela, berancang-ancang di atas rumput. Kaki kanannya mengayun ke belakang, siap untuk melayang kearah selangkangan Beni. Dua biji Beni, pasti akan menjerit bila sampai kaki itu bersarang di anunya.

“Tu..tunggu….!” pinta Beni.

Telat!

Kaki Linda sudah meluncur lepas kendali dengan energi kinetik maksimum. Sudah pasti akan pecah dua telur Beni menjadi orak-arik.

Sekonyong-konyong terdengar suara cewek tak dikenal, “Waahh… ini seru sekali, guys! Pertarungan hidup dan mati, lebih seru dari Naruto vs Sasuke.”

Linda kaget. Sontak kakinya berhenti tepat 1 mm sebelum memporak-porandakan masa depan Beni. Ia menengok ke belakang. Seseorang gadis sedang berjongkok di bawah jendela. Ia  memegang smartphone, merekam aksi mereka berdua.

“Hai!” sapa cewek asing itu dengan nada riang dan melambai feminim.

Linda melepaskan Beni, hingga dia dapat bergerak lagi. Beni bingung, kenapa badannya sempat terasa kaku.

Penampilan wanita itu sejenak menarik perhantian Linda. Karena seumur hidup baru kali ini dia melihat ada orang seputih salju. Dia si cewek Albino.

Cewek salju itu berdiri dan mengulurkan tan­­gan kanannya sambil tersenyum. “Halo, gue Jessica Iskandar. Biasa dipanggil Jessica atau Njess. Gue seorang YouTuber. Channel gue LoGaibGueKejar. Harap nanti subscribe, ya. Jangan lupa klik loncengnya.”

“Channel kami,” potong Beni, tidak setuju kanal itu hanya diklaim oleh Jessica. Jessica memeletkan lidahnya.   

“Mau apa kalian?” tanya Linda.

“Ehm, gue ingin memperkenalkan kalian berdua,” terang Beni.

Linda menatap Beni dan Jessica. Ia seperti sudah dapat menebak maksud mereka.

“Gue gak butuh temen!” ucap Linda dengan pedas sepedas BonCabe level 50 Max End.

 “Tentu saja semua orang butuh teman,” balas Jessica dengan senyuman.

Linda memandang Jessica. Tanpa banyak omong ia langsung rampas hapenya dan membantingnya ke tanah.

“Aduuh hape gue!” keluh Jessica.

“Linda dengar dulu,” panggil Beni.

Namun Linda tetap cuek dan hendak memanjat jendela, masuk lagi ke kamarnya.

Beni meraih tangan kiri Linda untuk mencegahnya.

Deg! Jantung Linda serasa terhenti. Entah kenapa momen ini mengingatkan Linda akan sesuatu. Ah ya, Brian dulu juga pernah melakukan hal yang sama. Menariknya, mencegahnya pergi, bersikap seolah menginginkannya, tapi ternyata…. Spontan Linda berbalik dan menampar pipi Beni sekeras-kerasnya, mengeluarkan uneg-uneg yang ia simpan sejak lama atas perbuatan Brian.

PLAK!

Sakit hatinya Linda kini membekas di pipi Beni, bewarna merah berbentuk jari-jari. Rasakan! Beni sampai memegangi pipinya yang terasa pedas.

Bahkan Jessica sebagai seorang cewek feeling-nya bisa menangkap, kalau itu bukan tamparan biasa. Menyisakan Beni yang kebingungan, salah apa dia sampai harus ditampar sekeras itu? Rahang bawahnya bergerak kiri kanan untuk mengurangi perih.

Linda melompat masuk ke dalam kamar dan menutup jendela. Saat ia hendak menutup gorden, Jessica mendekat ke jendela dan berkata, “Linda gue tahu rasanya jadi berbeda. Tidak pernah diterima oleh lingkungan di sekeliling kita. Tapi lo gak harus sendirian. Kita bisa berteman.”

Linda menatap kedua mata Jessica sejenak. Jessica pun tersenyum manis. Lalu Linda memberikan jari tengahnya dan membuat Jessica terkejut. Setelah itu ia tutup rapat gordennya, memisahkan dia dengan ajakan pertemanan kedua tamu tak diundang di luar.

Pertemanan is a bullshit!

Semua teman SD hingga SMP Linda yang dulunya dekat dengannya perlahan menjauh. Image aneh Linda sama powerful-nya dengan image keren Cristiano Ronaldo untuk endorse produk. Hanya efeknya saja yang berbeda, mereka yang dekat dengannya dianggap super aneh. Dan orang tidak suka dengan orang aneh.

Waktu SMP ada satu kejadian di sekolah yang sangat membekas di hati Linda. Ketika itu beberapa anak berkumpul di dalam kelas. Di luar sedang hujan deras dan langit kelabu. Teman-teman sekelasnya memaksa sahabatnya untuk memilih. “Kalau lo mau diterima bergaul dengan kami. Buktikan, bahwa lo bukan orang aneh.” Kemudian mata mereka memandang ke arah Linda.

Linda masih ingat momen sang sahabat menarik tangannya, membawanya keluar kelas. Rupanya persahabatan mereka lebih kuat dari tekanan sosial. Lebih kokoh dari keinginan untuk diterima dan diakui oleh lingkungan sekitar. Atau setidaknya itu yang ia kira. Tak disangka sahabatnya malah mendorong kedua pundaknya dari belakang, hingga ia terjatuh ke tanah, melewati batas perlindungan atap dan menjadi basah kuyup oleh air hujan.

Terngiang ucapan sahabatnya, “Maafin gue Lin. Gue capek jadi sahabat lo. Gue gak mau dikucilkan terus.”

Di kala itu Linda merasa begitu sendirian.

Di balik rambut yang terurai menutupi wajah Linda. Air matanya menetes di balik hujan. “Gue mengerti… maaf sudah menyusahkan lo. Dan jangan khawatir. Karena mulai hari ini, kita bukan lagi sahabat.”

Demikian perasahabatan yang sudah terjalin selama 6 tahun berakhir di bawah hujan.

Beni memanggil-manggil dari luar sambil mengetuk kaca jendela, “Linda, ayolah jangan begitu.”

Linda duduk di pinggir tempat tidurnya memasang earphone di telinganya dan menyalakan musik via telepon genggamnya. Suara mereka pun menjadi tersamarkan dengan bit lagu Billie Ellish – Bury a Friend.

Mereka akan pergi tak lama lagi.

Linda mengambil buku Portal Pintu Gaib dan lanjut membacanya untuk membunuh waktu.

Suara ketukan masih lama terdengar menembus earphone.  Beni terus memanggil-manggil Linda.

Keras kepala banget. Jangan-jangannya ibunya dulu ngidam batu.

Tapi seiring waktu, akhirnya sunyi juga. Mungkin keduanya sudah menyerah?

Linda mencabut earphone-nya. Ia membuka gordennya. Di luar dugaan ternyata keduanya masih di depan. Akan tetapi pandangan mereka menuju ke satu arah. Matanya mereka sampai membelalak lebar dan berjalan mundur menjauhi jendela.

Dari arah luar jendela tampak uap putih membekas di kaca, yang keluar dari mulut Linda. Linda merasa dingin.

Ini pertanda….

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status