"Bercerai, Bu?" Fatimah mengangguk. "Iya, Nja. Buat apa mempertahankan pria yang dengan mudahnya menduakan istri yang sudah menemaninya dari Nol hanya untuk wanita yang baru ia kenal?" Fatimah menghela nafas berat. Nampak ia juga memikirkan nasib putrinya. "Jangan kira ibu tidak tau bagaimana kata-kata kasar yang diucapkan Han padamu, Nja. Ibu tau semuanya." "Mas Riki yang bilang sama ibu?" Fatimah hanya diam. Tapi Senja tau jawaban keterdiaman ibunya. Memang Han sangat keterlaluan saat mengatakan alasan ia selingkuh. Sebagai wanita dan seorang istri, tentu ia sangat sakit hati. Dan mungkin benar apa yang dikatakan ibunya, lebih baik ia berpisah. "Jangan ragu. Ibu akan mendukungmu. Masalah Bina, biar kita yang jaga. In Shaa Allah dia akan baik-baik saja walau tanpa papanya. Jika Bina tau papanya seperti itu, ia akan lebih tersakiti." Senja mengangguk mantap. Ia sudah tidak ragu lagi untuk berpisah dari Han karena restu ibunya bersamanya. Memang Ibu mana ya
"Mau ngapain kamu kesini, Mas? Apa belum puas kamu menyakiti aku?" Dada Senja bergemuruh saat melihat pria yang telah menyakitinya kembali hadir di depan matanya. Entah apa yang di inginkan Han darinya. "Aku hanya ingin kamu kembali ke rumah, Nja." "Rumah mana yang kamu maksud, Mas?" tanya Senja dengan nada mengejek. Bahkan, sampai Han bersujud di kakinya pun, ia tidak akan sudi menginjakkan kakinya di rumah itu lagi. "Rumah kita, Nja." Senja pura-pura terkejut. "Oh, ya. Rumah kita, Mas? Bukankah rumah itu sudah milik Sherly sekarang? Lalu mau ngapain lagi ke sini, Mas? Sampai kapanpun, aku tidak akan ke rumah itu lagi." Saat Senja akan menutup pintunya, Han menahan pintu itu dengan kakinya. Hingga pintu itu tidak bisa tertutup sempurna. "Tolong izinkan aku meminta maaf, Nja. Aku ingin kita rujuk," pinta Han seraya menahan pintu itu. Senja diam saja dan berusaha untuk menutup pintu itu rapat. Tapi apa daya, tenaganya tak cukup besar melawan tenaga H
Langit menyambut pelukan itu disertai cium pipi kanan dan kiri. Tentu, Melissa risih melihatnya. Apalagi saat mereka berdua tadi, langit sama sekali tidak menunjukkan senyum lebarnya. Dan tak mengapa saat bertemu dengan pria gemulai itu langit terlihat sangat bahagia. "Apa jangan-jangan?" Melissa menebak sendiri dari cara interaksi keduanya. Karena dunia ini sudah semakin tua rumah banyak pria tampan yang juga menyukai sesama jenis. "Apa kalian sepasang_" "Iya," jawab mereka serentak. Membuat Melissa seketika merinding. "Ayo duduk sebentar. Kita tidak pernah bertemu sebelumnya," ajak Langit pada pria itu. "Ah, terima kasih, Langit." Melissa mual saat melihat pria gemulai itu. Ia ingin pergi, tapi masih ia tahan. Ia berharap jika ini hanya mimpi, tidak nyata. "Bagaimana kabarmu, Say? Aku dengar kamu mau menikah ya?" Langit berdehem seraya melirik Melissa. Ia tersenyum tipis. "Iya. Sama dia." Melissa terlihat sumringah. "Ternyata itu hany
Langit melangkahkan kaki dengan ringan masuk ke dalam rumah. Tanpa ia tau ada seseorang yang tengah menunggunya dengan tatapan tak terbaca. Saat kakinya menapaki anak tangga, sebuah teriakan nyaring menyapa indra pendengarannya. "Langiiit!!!!!" Langkah Langit terhenti. Ia menarik nafas panjang sebelum memutar tubuhnya untuk kembali menemui sang empu suara. Harus menyiapkan hatinya untuk menerima sebuah petuah. Memutar tumit, Langit membawa langkahnya menuju ke wanita parubaya yang tengah menatapnya dengan nyalang dan penuh dendam. "Ada apa, Ma?" Langit tanpa basa-basi langsung menghadap ke arah sang mama, Yuke. "Melissa kamu apain?" "Melissa?" Langit pura-pura tidak tau. "Memangnya apa yang sudah Langit lakukan pada Melissa, Ma?" "Jangan pura-pura tidak tau. Dia nangis-nangis telepon mama bilang kamu homo," Yuke tidak bisa menahan rasa geramnya karena kelakuan Langit membuatnya kehilangan muka di mata sahabatnya. Langit menggembungkan pipinya. H
"Ngapain sih kamu kerja capek-capek jika apa yang kamu hasilkan tidak sesuai harapan? Kamu bisa bekerja di toko milikku. Dimanapun kamu mau. Soal gaji, kamu tidak perlu khawatir. Aku bisa memberikannya lebih." Riki tersulut emosi saat mengetahui adiknya berniat bekerja di kota. Ia tahu adiknya hanya lulusan SMA, makanya Riki meminta Senja untuk bekerja di tokonya saja. "Aku malu jika harus terus merepotkanmu, Mas. Jadi aku ingin mandiri dengan usahaku sendiri." "Lalu, apakah kamu bisa menjamin kehidupan Bina akan terpenuhi?" Senja mengagguk mantap. "Aku akan berusaha memenuhi apa yang menjadi hak Bina. Aku ibunya, dan hanya aku yang dimilikinya." Riki mengusap wajahnya kasar. Jika Senja sudah memasang wajah sendu seperti ini, hatinya tiba-tiba luluh. Ia merasakan bagaimana tekanan adiknya yang terpuruk karena perpisahan dengan suaminya. Apalagi saat ia mendengar dari cerita ibunya jika ia menjadi bahan gunjingan para tetangga. Riki duduk di samping Senja. Ia akan berusah
"Bapak. Maafkan saya pak karena saya telah lancang." Senja kembali menundukkan wajahnya. Ia keceplosan saat melihat wajah yang tak asing baginya. Langit tersenyum tipis. "Tidak apa-apa. Aku juga sama terkejutnya denganmu." Langit berdehem. "Perkenalkan, aku Langit. Pimpinan hotel dimana kamu akan bekerja besok." Hampir saja Senja limbung mendengarnya. 'Jadi, orang yang dulu menolongku adalah pemilik hotel?' Senja memejamkan matanya tidak menyangka. Pantas saja para resepsionis itu tampak ketakutan saat Langit meminta mereka memberikan kunci kamar Han. Tubuh Senja semakin kaku. Bahkan bergerak sedikit saja seolah ia tidak mampu. "Kenapa kamu tegang begitu? Apakah aku terlihat sangat menakutkan?" Senja mendongak mendengar kalimat Langit. "Tidak, pak. Tidak sama sekali." Ia kembali menunduk sungkan. Berada di atmosfer yang sama dengan seorang pimpinan seperti Langit, seolah dadanya tiba-tiba merasa sesak. Hawa yang tadinya dingin berubah menjadi panas. Melihat Senja yang mulai
"Wah, ngapain di situ malam-malam? Open BO, ya?" tawa menyebalkan penuh hinaan. Vivi menatap sengit pada Sherly yang perlahan membuka pintu mobilnya. Sedangkan mata Senja menatap pada Han yang hanya diam saja melihat wanitanya menghinanya. Langkah kaki Sherly melangkah dengan anggun. Membuat Senja dan Vivi merasa muak dengan sandiwara yang diperankan oleh Sherly. Wanita itu berhenti tepat di hadapan Senja dan Vivi. Memasang tampang menyebalkan dengan tangan bersendekap di dada penuh keangkuhan. "Lagi nungguin siapa? Open BO kah?" tanya Sherly dengan seringai menghina. "Oh, aku tau, pasti kamu jadi miskin 'kan makanya open BO untuk menghidupi dirimu sendiri. Secara sekarang mas Han sudah fokus memberiku nafkah lahir dan batin." Sherly sengaja menyiramkan bensin agar perasaan Senja terbakar. Ia sangat senang melihat mantan sahabatnya itu menderita setelah kehilangan semuanya. Termasuk suaminya. Senja sama sekali tidak peduli dengan kalimat Sherl
Mereka sontak menoleh. Senja terkejut, tapi buru-buru menetralkan wajahnya agar tidak terlalu kentara. Begitu juga dengan Vivi yang sampai menahan nafas melihat Bos besarnya yang tiba-tiba di depan matanya saat ini. "Siapa kamu?" tanya Sherly dengan tatapan tidak suka. Pria itu melepaskan cengkraman tangannya di tangan Sherly. "Kamu tidak perlu tahu aku siapa. Tapi satu hal yang kamu harus tahu jika aku tidak suka kamu menyakiti Senja." Sherly meringis kesakitan. Tangan yang satunya lagi mengusap tangannya yang memerah karena cengkraman pria di depannya. Han tidak tinggal diam. Ia mendorong pria itu hingga mundur ke belakang. "Kamu siapa? Berani-beraninya kamu membuat calon istriku terluka seperti itu." Senyuman sinis terbit di bibir Langit. Ya, dia adalah Langit. Saat Langit hendak pulang ke rumah, ia tidak sengaja melihat Senja berada di taman dengan calon mantan suaminya. Tentu ia tidak akan tinggal diam dan meminta Benji untuk memutar mobilnya demi melihat apa yang t