"Waalaikumsalam," sahutku.
"Maaf kalau saya mengganggu malam-malam begini." "Sebenarnya aku memang merasa terganggu, tapi tak apalah. Ada apa kau menghubungiku?" "Seminggu lagi ada acara ulang tahun perusahaan." "Lalu?" "Akan ada pesta syukuran, apakah Anda akan absen lagi tahun ini?" "Kau sudah tahu jawabannya, Nan. Kenapa masih nanya? Urusan begituan biar kamu saja yang selesaikan. Tiga tahun ini juga semua berjalan lancar tanpa aku 'kan?" "Tapi, Non--" "Sudahlah. Aku ngantuk, mau istirahat. Kalau ada hal aneh atau penting, baru kamu boleh menghubungiku." Terdengar helaan napas dari sana. "Baiklah. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Aku tahu lelaki yang lima tahun lebih tua dariku itu saat ini sedang kesal padaku, tetapi aku benar-benar tidak suka berada di acara-acara kantor seperti itu. Waktu ayah masih hidup, aku juga tidak pernah mau diajak ke acara apapun, hingga beliau menghadap Tuhan bersama ibu dan kakakku karena kecelakaan tiga tahun silam, aku pun masih enggan. Meski perusahaan itu kini telah diwariskan padaku, aku lebih memilih hidup sederhana, menjadi diriku sendiri. Dikenal banyak orang dan hidup dilingkungan mewah bukanlah seleraku. Katakanlah aku kolot, tetapi dari kecil aku sudah terbiasa hidup sederhana dan apa adanya. Aku tidak suka bermewah-mewah meski aku sanggup melakukan itu jika aku mau. Tak berselang lama setelah telepon berakhir, aku mendengar deru mobil memasuki halaman rumah yang pagarnya tak dikunci ini. Meskipun jakarta rawan dengan maling ketika pagar tak dikunci, ibu yang notabenenya pemilik rumah ini justru mengatakan untuk berserah pada Allah saja. Toh di rumah ini tidak ada barang berharga. Daripada bolak-balik membukakan pagar, ya sudah dikuncinya nanti saja setelah semua penghuni rumah pulang. Itu pun yang menguncinya yang paling terakhir pulang. Aku bergegas menuju kasur dan berpura-pura sudah tidur. Aduh, aku lupa gak matiin lampunya. Ya udah biarin deh. Handphone sudah aku letakkan di atas nakas, aku mulai memejamkan mata sambil meringkuk memeluk guling. Tak lupa napasku kubuat teratur agar semakin meyakinkan. Kemudian pintu terdengar berderit. Mungkin Mas Juna yang membukanya. Entah apa yang dilakukan suamiku itu, tapi aku merasa saat ini dia sedang memperhatikan aku. Cup. Terbukti, Mas Juna lalu mengecup keningku, yang artinya memang dia sedang memperhatikan aku sejak tadi. Gimana mau menginterogasi kalau begini? Ya ampun, Wulan ... Kenapa hatimu gampangan banget, sih. Baru digituin doang dah ilang marahnya. Cup. Lagi Mas Juna menciumku. Namun, kali ini ia mencium bibirku. Ah, gak tahan pura-pura terus kalau kayak gini. Buka mata aja deh. Aku pura-pura menggeliat dan perlahan membuka mata. "Astaghfirullah!" Seketika aku berjingkrak ketika mendapati wajah Mas Juna begitu dekat dengan wajahku. "Kaget, ya? He he, maaf deh," ujarnya cengengesan. "Mas Juna, ihhh. Untung aku gak punya penyakit jantung." Sambil mengurut dadaku yang masih berdegup kencang aku mencebik. "Iya, Sayang, maaf deh. Aku cuma kangen sama kamu." Mas Juna lalu duduk di pinggiran kasur. Aku pun ikut duduk menghadapnya. "Gombal! Kalau kangen pasti pulang cepat, atau minimal kasih kabar kalau akan terlambat pulang." Aku bersedekap dada memasang wajah cemberut. Bukan bucin, aku hanya tidak ingin Mas Juna waspada jika aku menunjukkan gelagat marah atau posesif secara terang-terangan. Aku ingin mencari tahunya sendiri dengan caraku. Bukankah jika seseorang ingin menyembunyikan sesuatu dia akan tetap berbohong? Meskipun aku membuat huru-hara malam ini. Aku bukan tipe seperti itu. Aku lebih suka ketenangan, santai, dalam menghadapi sesuatu. "Maaf, Sayang, handphone Mas habis baterai." Lalu Mas Juna mengambil gadget-nya di saku celananya dan menunjukkan padaku. "Tuh liat, gak nyala." Aku mengambil handphone itu dan menekan tombol power. Memang gak bisa nyala. Mungkin memang benar lowbet. Ya sudahlah, aku percaya aja. Padahal aku ingin bilang, 'Kan bisa menggunakan telepon kantor.' Tapi malas, ah. Dah malem juga. "Jangan marah, ya ... Janji deh, besok-besok kalau ada lembur lagi aku kabarin kamu." Mas Juna mengelus rambutku. Aku tersenyum dan mengangguk yang kemudian mendapat hadiah kecupan di kening dari Mas Juna. Aku sedikit terkejut mendapat serangan mendadak itu. Tak ayal pipiku memanas, tersipu. "Lucunya istriku ... Padahal dah sering dicium, tapi masih merona aja tuh pipi. Jadi pengen cium deh." Mas Juna lantas mencondongkan kepalanya, menyerang pipiku. Cup. Cup. "Dah, ah, Mas mau mandi dulu." Lalu tanpa berdosa dia melenggang santai menuju kamar mandi sambil melepaskan dasi dan kancing kemejanya. "Mas Juna ...." Aku kesal bukan main. Habis dicium main tinggal gitu aja. *** Sudah hampir lima menit Mas Juna belum keluar dari kamar mandi. Aku yang masih berbaring di tempat tidur sambil menunggunya, belum juga diserang kantuk padahal waktu sudah menunjukkan pukul sebelas malam lebih. Biasanya jam segini aku sudah berada di alam mimpi. Dari pada bengong, aku memilih berselancar di media sosial. Sedang asik scroll melihat video, tiba-tiba sebuah pesan masuk dari nomor asing. Tak hanya satu, tetapi berulang kali nomor yang sama mengirimkan pesan. "Foto? Siapa sih?" bisikku bermonolog melihat pesan itu ternyata berisi foto. Daripada penasaran, aku pun membukanya. Seketika mataku terbelalak sempurna melihat banyak foto yang nomor itu kirim ... "Astaghfirullah ...." . ."Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan
"Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P
"Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me
POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b
"Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s
"Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan