Share

Bab 7

Author: NingrumAza
last update Last Updated: 2025-01-22 18:52:28

Halaman yang hanya seluas tiga kali tujuh meter ini membuat mobil Mas Juna dan Hanum bersisihan. Hanya saja Hanum sudah lebih dulu masuk ke dalam mobilnya sementara suamiku masih asyik berpamitan denganku.

Sudah kebiasaan dari hari pertama Mas Juna masuk kerja setelah cuti menikah, dia suka sekali berlama-lama ketika berpamitan denganku. Ada aja tingkahnya yang juga membuatku berat ditinggal seharian olehnya.

"Iya," sahut Mas Juna lalu beralih fokus menatapku. "Mas berangkat kerja dulu, ya," pamitnya sekali lagi.

"Iya, Suamiku sayang. Hati-hati kerjanya, ya. Jangan mau dideketin sama ulat bulu, nanti gatel loh," sahutku dengan suara keras, sengaja agar Hanum mendengarnya.

"Ulat bulu?" Mas Juna nampak bingung.

"Udah sana, ditungguin sama sahabatnya, tuh." Aku mengapit lengan Mas Juna dan membawanya semakin mendekat pada pintu mobil.

Cup.

Aku bahkan berani mencium pipinya terlebih dahulu meskipun setelah itu aku berlari ke dalam rumah sambil berteriak, "Dadah, Mas Juna sayang. Love you ..."

Entah bagaimana reaksinya saat mendapat serangan tiba-tiba dariku, tapi saat aku melongok dari pintu, kulihat dia tersenyum dan geleng-geleng kepala sambil memandangku. Jari telunjuknya bergerak-gerak ke arahku seolah memberi peringatan, 'awas nanti ya!'

Setelah itu Mas Juna benar-benar masuk ke dalam mobilnya. Saat itulah aku beralih melihat Hanum yang sedang cemberut.

Dia lagi-lagi memandangku dengan tatapan marah. Namun, tatapan itu aku balas dengan jariku yang ditempelkan pada ibu jari membentuk love, atau bahasa kerennya 'Sarangheo.'

***

Pukul sepuluh malam Mas Juna belum juga pulang. Aku telepon nomornya juga tidak aktif. Hatiku mulai gelisah, dihantui hal-hal buruk yang selalu berusaha aku tepis.

Tok! Tok! Tok!

Pintu terdengar diketuk dari luar. Mungkin itu ibu. Aku segera membukanya.

"Belum tidur, Wulan?" tanyanya begitu aku membuka pintu.

"Belum, Bu. Mas Juna belum pulang-pulang. Padahal sudah malam banget loh, Bu. Mana gak ada kabar sama sekali dari siang," sahutku.

Ibu tersenyum lalu menggandeng tanganku untuk masuk ke dalam kamarku. Duduk di tepian ranjang, ibu memberi tahu sesuatu padaku.

"Tadi ada yang ngabarin ibu kalau Juna malam ini lembur. Mungkin pulangnya akan larut."

"Siapa yang ngabarin, Bu? Kok Mas Juna gak ngabarin Wulan?"

"Ibu juga gak tahu, Lan. Nomornya baru, belum tersimpan di handphone ibu."

Ragu, aku ingin melihat nomor yang menghubungi ibu, tapi gak enak mau bilang.

"Ini, coba kamu lihat saja sendiri, siapa tahu kamu kenal dengan nomor itu." Seolah tahu apa yang aku pikirkan, ibu memberikan handphone-nya padaku.

"Sebentar aku lihat dulu, Bu." Aku meraih handphone itu lalu melihat aplikasi warna hijau untuk melihat nomor yang sudah menghubungi ibu.

Nomornya memang tak ada nama apapun, hanya ada emot cium sebagai tanda pengenalnya. Sementara foto profilnya tidak ada. Siapa ya?

"Boleh aku menelponnya, Bu? Aku cuma ingin memastikan saja bahwa ini memang rekan kerja Mas Juna." Aku penasaran dengan nomor ini.

"Boleh, telepon saja."

Aku segera menekan tombol panggil di dekat nomor itu. Di detik berikutnya foto yang semula kosong mendadak muncul sebuah gambar yang sukses membuatku mematung.

Hanum!

"Bukankah ini foto Mbak Hanum, Bu?" Aku memperlihatkan gambar profil yang mendadak muncul.

Ibu lantas mencondongkan badannya untuk melihat gambar profinya. "Iya, itu Hanum. itu nomor yang kasih tau kalau Juna lembur?" ucap ibu balik bertanya.

"Iya, Bu. Kok Mbak Hanum bisa tau kalau Mas Juna lembur?"

"Mungkin mereka satu kantor, Lan." Ibu juga tampak bingung. "Biar ibu yang telepon," imbuhnya, mengambil alih handphone lalu melakukan panggilan.

Cukup lama ibu menempelkan benda pipih itu pada pipinya, tetapi sepertinya tak ada jawaban.

"Gak diangkat, Lan," ucap ibu sembari memandang handphone-nya.

"Ya udah gak pa-pa, Bu. Mungkin mereka memang lagi sibuk. Nanti kalau sudah waktunya pulang, Mas Juna juga pulang, kok. Ibu istirahat aja. Dah malem." Aku memperlihatkan senyuman seolah tidak merasa apa-apa agar ibu tenang.

"Ya sudah kalau begitu. Kamu juga istirahat, ya."

Aku mengangguk sambil tersenyum sebagai jawaban. Lalu ibu pun keluar dari kamarku.

Setelah memastikan ibu benar-benar tak terlihat, aku kembali menghubungi nomor Mas Juna, tetapi lagi-lagi tak ada respon.

Ah, pikiranku mulai kacau sekarang. Masa iya di pernikahan yang baru dua bulan ini aku sudah diselingkuhin? Kan gak lucu. Tapi, semoga Mas Juna gak melakukan hal bodoh itu. Ya, aku harus berpikir positif.

Saat aku sedang memikirkan nasib pernikahanku, handphone di tanganku bergetar. Aku terlonjak, seketika melihat siapa yang menghubungi, berharap itu adalah suamiku. Namun, nyatanya itu bukanlah dia, melainkan sebuah nomor yang aku beri nama 'Paman' yang menghubungiku.

Aku menghela napas pelan. Sejujurnya aku malas untuk mengangkat teleponnya, tetapi aku tidak bisa mengelak terus menerus. Apalagi aku memang sudah sering mengabaikannya.

"Assalamualaikum, Nona," sapanya, begitu aku menjawab panggilan.

.

.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 67

    "Seharusnya aku memukul kepalamu itu dengan batu biar sadar diri! Sebagai seorang wanita, apakah harga dirimu sudah hilang, Hanum?" ucap Wulan. Pembawaannya tetap tenang, tetapi menohok."Apa yang kamu lakukan, perempuan sialan? Kamu nampar aku?!" Hanum bersiap balas menampar Wulan. Tangannya sudah terangkat, tetapi segera aku tahan."Tidak ada yang boleh menyakitinya!" ucapku penuh penekanan.Hanum seolah tak percaya. "Juna, kamu bela dia di depanku?""Kenapa? Mas Juna suamiku, sudah seharusnya dia membelaku. Dan, ya ...." Wulan menjeda ucapan. "Kamu jangan pernah mimpi menjadi yang kedua atau selingkuhn suamiku, karena itu tidak akan terjadi."Hanum tersenyum miring. "Oh, ya? Kita lihat saja nanti.""Lihat apa? Lihat berapa lama kamu akan berada di balik jeruji besi, begitu? Atau, lihat siapa laki-laki yang mau sama narapidana? Hmmm, yakin ... Masih percaya diri? Kalau aku jadi kamu sih aku bakalan malu banget ya. Minimal tobat 'lah, siapa tahu Tuhan masih berbelas kasih memberikan

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 66

    "Bukan," jawabku tenang. "Mas hanya ingin kita memulai dari awal, tanpa ada rahasia lagi di antara kita." Sebelum aku membawanya ke suatu tempat, aku sengaja mengajak dia terlebih dahulu untuk menemui Hanum. Ada hal yang harus aku selesaikan dengannya.Meski ekspresi Wulan masih dipenuhi tanda tanya, aku tak memberinya penjelasan lebih lanjut. Tanpa banyak bicara, kugandeng tangannya dan mengajaknya turun dari mobil, masuk ke dalam gedung.Setelah mendapat izin dari petugas, aku dan Wulan duduk berdampingan di bangku panjang ruang tunggu, menanti giliran untuk bertemu dengan wanita itu.Tak lama kemudian, giliran kami tiba."Juna, kamu datang?" Hanum menyambutku dengan senyum merekah. "Aku tahu kamu pasti mau bebasin aku, kan?" lanjutnya seraya duduk di depanku dan Wulan.Aku mencoba tersenyum simpul. Menarik napas sebelum mulai berbicara. Sementara Wulan, dia terlihat begitu tenang di sampingku."Maafkan aku, Hanum. Hukum harus tetap berjalan sesuai prosedur. Aku ke sini untuk --""P

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 65

    "Brengsek kalian semua. Awas saja, ini belum berakhir. Tunggu pembalasanku!" Hans berteriak marah saat polisi menyeretnya. Dia terus meronta, tak terima dengan semua ini. Sebelum melakukan segala sesuatu, bukankah kita dianjurkan untuk memikirkan sebab akibatnya? Seharusnya dia tahu konsekuensi apa yang akan diterima atas kejahatannya ini. Bukan malah tak terima begitu. Aneh."Ibu di sini, Nak." Suara ibu tiba-tiba terdengar dari arah luar. Seketika itu aku menoleh, begitu juga Wulan dan yang lainnya."Ibu." Aku berlari menghampiri. "Ibu gak kenapa-kenapa, kan?" tanyaku seraya menelisik wajah dan anggota tubuh ibu."Alhamdulillah, mereka gak nyakitin ibu. Nak Bobi sangat baik kok sama ibu."Aku menoleh pada Bobi."Mana mungkin gue mau nyakitin orang tua yang dulu pernah memberiku makan dan tempat tidur?" ujar Bobi. Dia terkekeh kecil.Ternyata Bobi masih mengingatnya. Dulu dia memang sering di rumahku sampai ibu sangat dekat dengannya. Apapun dan di manapun, kebaikan pasti selalu me

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 64

    POV Juna Hans baru saja menghubungiku. Laki-laki pengecut itu menyandera ibuku dan imbalannya adalah dokumen perusahaan Wulan. Sayangnya dia salah besar. Aku tidak mungkin akan menghancurkan istriku sendiri, tetapi aku juga tidak akan membahayakan ibuku. Bagaimana pun caranya, aku harus menyelamatkan keduanya.Setelah menenangkan Wulan, aku menghubungi Pak Adnan untuk mengamankan Wulan dan menyelesaikan masalah ini.Chiiit!Kuinjak pedal rem begitu sampai di halaman gudang tua setelah menempuh perjalanan dua puluh menit dengan kecepatan tinggi. Gegas aku keluar mobil. Mengambil sebatang rokok dalam saku celana dan menyalakannya, lalu berjalan menuju gudang, tempat di mana Hans memintaku bertemu."Aku tidak salah duga, kamu pasti akan datang." Hans sudah menyambutku begitu aku masuk gedung. Dia duduk santai ditemani lima orang berbadan kekar yang berdiri di belakangnya.Aku menyesap rokok, lalu menghembuskan. "Tentu. Aku bukan pecundang sepertimu," balasku.Hans terkekeh. "Kau hanya b

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 63

    "Apa sih, Dek? Yuk makan dulu." Dia malah bersikap santai seraya mencomot gorengan di depannya. "Selesai makan, Mas akan ceritakan semuanya."Mendengar itu aku pun tak bisa berbuat banyak. Bukankah laki-laki kalau sedang lapar memang tak bisa diganggu? Pikirannya pun akan sulit digunakan jika perutnya dalam keadaan kosong. Itu menurutku aja sih.Kami pun akhirnya makan terlebih dahulu, meski rasanya terasa begitu hambar bagiku.Beberapa menit kemudian piring Mas Juna sudah kosong. Dia sedang minum dan aku semakin tak sabar mendengarkan dia bercerita."Buru, Mas. Aku sudah gak sabar. Jangan berkelit lagi ya!" ucapku."Hmmm, baiklah." Dia mengelap mulutnya dengan tisu lalu menatapku. "Apa yang ingin Adek ketahui, Hem?""Semua yang bersangkutan dengan Hanum!"Dia mengangguk. "Sedikit banyak pasti kamu sudah tahu tentang kedekatan kami. Dan semua hanya sebatas teman tidak lebih.""Bukan itu. Ish!" "Sabar dong, Dek." Kemudian dia melanjutkan ceritanya."Setelah mengetahui fakta tentang s

  • Pelakor Itu Ternyata Bawahanku    Bab 62

    "Lin, mungkin gak sih Hanum sebenarnya sudah menyiapkan rencana lain untuk menghancurkanku? Firasatku kok gak enak ya?" ungkapku saat sudah berada di dalam perjalanan pulang.Lina yang sedang menyetir menoleh padaku sekilas. "Mungkin saja. Dari nada ancamannya, ada hal yang janggal yang seperti sudah terencana. Sebaiknya kamu harus lebih waspada. Ceritakan semuanya pada Paman Bamantara untuk antisipasi.""Ya, kamu benar. Semua masalah ini harus segera tuntas. Aku ingin menjalani rumah tangga dan membesarkan anak-anakku dengan tenang."Setelah itu aku mengambil handphone dalam tas, berniat menghubungi Paman.Dalam dering pertama, panggilanku langsung mendapat jawaban."Assalamualaikum, ya, Wulan. Ada yang bisa paman bantu?" ucapnya."Waalaikumsalam. Ada, Paman. Ada yang mau Wulan sampaikan pada Paman..."Kemudian aku menceritakan tentang perkataan Hanum tadi. Aku juga mengungkapkan perasaanku yang mendadak cemas."Begitu, Paman. Wulan khawatir, Hanum sebenarnya punya rencana lain, dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status