Apa jadinya jika perempuan yang mengincar suami kita itu ternyata karyawan di perusahaan milik keluarga kita? Kayaknya bakal seru kalau kita kerjain dia habis-habisan, apalagi jika wanita gatal itu bersikap congkak dan sombong! Hal itulah yang terjadi pada kehidupan Wulan Handayani Aditama kala menghadapi wanita yang menyebut dirinya sebagai sahabat suaminya! Lantas, bagaimana keseruan cerita Wulan?
View More"Juna, jangan bilang dia ini istrimu. Ck! Seleramu rendah sekali!"
Sontak aku mendongak kaget mendengar suara nyaring itu. Seorang wanita cantik dengan pakaian kurang bahan melangkah mendekat. Senyumnya mengembang, tapi sorot matanya tajam ke arahku. Mas Juna, suamiku, hanya tertawa kecil. "Hanum, jangan bercanda. Wulan ini istriku." "Ah, aku kira kamu masih sendiri." Aku hanya tersenyum meski hati terasa berdesir. Wanita ini siapa? Kenapa memandangku seperti musuh? "Wulan, kenalkan ini sahabat Mas, namanya Hanum," ucap Mas Juna memperkenalkan diriku padanya. Apakah pakaian yang ia kenakan tidak terlalu terbuka untuk sekedar acara reuni sekolah seperti ini? Bagian da danya dibiarkan terekspos, juga lengan mulus hingga keti aknya terlihat jelas. Apa dia tidak masuk angin nantinya memakai pakaian seperti itu? Apalagi malam ini cuacanya cukup dingin. "Hai, Mbak. Namaku Wulan." Aku menyapa terlebih dahulu seraya mengajaknya bersalaman. "Hai," sahutnya sangat singkat. Tangan mulusnya menyambut uluran tanganku sekilas. Ya, hanya sekilas saja. "Ya sudah kalian ngobrol dulu, ya. Aku mau ke toilet sebentar," ucap Mas Juna lalu ia berbalik hendak melangkah meninggal aku dan perempuan yang dia bilang sahabatnya ini. "Hei, tunggu dulu." Tiba-tiba Hanum menggapai telapak Mas Juna dan menggenggamnya. "Mau ditemenin gak?" sambungnya bernada manja. Apa katanya? Temenin? Seorang wanita menawarkan diri menemani seorang laki-laki ke toilet. Apa tidak salah? Aneh sekali. "Eits, sekarang udah enggak lagi. Udah berani dong," sahut Mas Juna yang mempertegas bahwa Hanum memang pernah menemaninya ke toilet. Dan yang membuatku semakin heran, Mas Juna diam saja saat tangannya digenggam. Bahkan yang aku lihat, dia justru balik menggenggam tangan perempuan itu. "Ehm! Sepertinya aku juga ingin ke toilet, Mas. Aku ikut ya. Nanti kamu antar aku ke toilet wanita terlebih dahulu." Tidak hanya menggenggam, aku bahkan mengapit lengan Mas Juna, mempertegas bahwa aku lebih berhak atasnya. Berhasil, akhirnya genggaman itu terlepas. Tangan yang semula wanita itu kuasai, kini berpindah mengelus pucuk kepalaku yang tertutup hijab. "Iya, boleh. Yuk," ucapnya. Kulirik Hanum mencebik kemudian tersenyum miring. Aku tak peduli. Aku mengayunkan langkah mengikuti Mas Juna dengan tangan yang masih mengapit lengannya. *** "Gimana rasanya nikah sama Arjuna?" Saat aku sedang membetulkan hijab di depan cermin, Hanum tiba-tiba muncul entah dari mana arahnya. Yang pasti, tiba-tiba saja dia sudah berada di belakangku. "Alhamdulillah bahagia. Mas Juna orang yang romantis dan penyayang," sahutku seraya melirik padanya. Hanum berdiri tepat di sampingku. Melihatku dari balik kaca dengan tatapan sedikit tajam lalu tersenyum miring. "Romantis? Tentu saja. Aku pernah merasakannya." "Merasakannya?" Aku mengulang kata terakhir yang dia ucapkan sebagai tanya. Meskipun agak aneh sebab dia cuma sahabat Mas Juna. Atau mungkin dia mempunyai rasa yang lebih? Atau jangan-jangan ... "Iya. Aku satu-satunya sahabat perempuan yang dia miliki. Dia sangat perhatian dan sayang sama aku. Hampir tiap hari dia menjemputku ke sekolah dengan sepeda motornya. Kalau malam Minggu kita juga jalan bareng," terangnya sambil tersenyum bangga. "Oh, ya? Waw, ternyata aku menikahi pria yang tepat, ya? Kamu saja sampai baper. Padahal kamu cuma temen loh, apalagi sama aku yang notabenenya adalah orang yang dicintainya." Skakmat. Aku ingin menyadarkan dia bahwa akulah orang yang berhak mendapatkan kasih sayang Mas Juna sekarang dan selamanya. "Hem." Dia terkekeh kecil. "Yakin dia tulus padamu? Pernikahan kalian baru menghitung bulan loh." Benar. Aku dan Mas Juna memang baru dua bulan menikah. Itu pun jalan ta'aruf. Tak ada perkenalan khusus sebelum akhirnya kita memutuskan untuk menikah. Aku hanya yakin dengan kekuatan do'a yang ku panjatkan setiap malam untuk diberikan jodoh yang sholeh, dan pasti Allah kabulkan. Dengan jalan mempertemukan aku dan Mas Juna hingga kami akhirnya menikah, aku percaya ini memang yang terbaik untukku. "Kamu pasti ragu 'kan? Berapa lama kamu kenal dengannya?" Hanum kembali melontarkan tanya karena aku hanya diam. Aku segera menyadarkan diri dan menanggapi wanita bergaun merah yang terekspos dada dan punggungnya ini. "Oh, tidak. Aku tidak ragu sama sekali. Mas Juna adalah jawaban atas do'a yang aku minta, dan aku tidak pernah meragukan kuasa Allah. Jika dia bukan jodoh terbaikku, Allah tak mungkin menyatukan kami." Aku mengucapkannya sambil tersenyum manis. Senyum manis melebihi gula. "Percaya diri sekali kamu. Memangnya semua yang Tuhan berikan pada manusia itu adalah sebuah jawaban do'a? Bisa saja 'kan justru itu sebuah ujian? Siapa tahu suatu saat kalian bercerai." "Kamu benar, Mbak, tapi aku juga percaya bahwa setiap ujian yang Allah berikan sudah sepaket dengan jalan keluarnya. Jadi, aku rasa terlalu pendek jika kamu langsung mengarah ke perceraian. Setiap manusia hidup apalagi sebuah pernikahan memang selalu ada aja ujiannya, Mbak." Aku semakin tersenyum manis, sementara dia mulai berekspresi tak suka. Hanum menghidupkan keran di depannya lalu mencuci tangan, kemudian setelah selesai dia menghadapku. Aku ikut menghadapnya. Kini kami saling berhadapan. "Kita lihat saja sampai mana kamu akan bertahan dengan ujian itu. Aku dan Juna sudah saling mengenal lebih dari enam tahun, dan hanya aku yang paling mengerti bagaimana dia. Dan aku pastikan, hanya aku yang bisa membahagiakan dia, bukan kamu!" Ciprat! Dengan tidak sopan dia mencipratkan sisa air yang menempel di tangannya pada wajahku hingga mataku reflek terpejam, lalu dia melenggang pergi begitu saja tanpa rasa bersalah. Aku hanya menggelengkan kepala melihat tingkahnya. Begini kah sahabat suamiku yang sering ia ceritakan padaku akhir-akhir ini? Hem ... Baiklah, sepertinya aku juga akan senang bermain dengannya. . ."Aaaaaaa…."Mataku terpejam seketika.Bruk!Aku sudah pasrah, mengira tubuhku akan terlempar dan berakhir mengenaskan di bawah mobil yang melaju kencang ke arahku. Namun, tiba-tiba sesuatu menarik tubuhku dengan kuat ke samping. Aku tersentak, punggungku membentur dadanya dan napasku tersengal."Kamu gak pa-pa, Dek?" Masih dengan posisi tergeletak sambil memangku diriku di trotoar, Mas Juna menelisik seluruh tubuhku. Rupanya dia yang telah menyelamatkanku."A-aku ..."Ciiiiitttt! Brakkk!Belum selesai aku menjawab, tiba-tiba terdengar bunyi rem mendecit tajam, diikuti suara benturan keras. Aku dan Mas Juna menoleh bersamaan ke arah sumber suara, dadaku masih berdebar kencang. Mobil yang nyaris menabrakku itu kini menghantam pohon di tepi jalan. Warga yang menyaksikan kejadian itu langsung berteriak marah."Hei! Mau bunuh orang, hah?!""Itu sengaja, aku lihat sendiri!"Kerumunan semakin ramai. Beberapa orang bergegas mendekati mobil. Seorang pria bertubuh besar membuka paksa pintu mobi
Aku menyipitkan mata, hendak memperbesar tampilan, ketika tiba-tiba dering telepon di mejaku berbunyi, memecah konsentrasi.Sekilas, aku melirik layar ponsel yang terhubung ke sistem kantor. Nomor ekstensi resepsionis berkedip di sana. Menghela napas, aku menekan tombol penerima panggilan.“Ya?” suaraku terdengar datar.“Bu Wulan ....” suara resepsionis terdengar sedikit tegang. “Saya baru mendapatkan kabar dari kepolisian bahwa mobil kantor yang membawa Pak Adnan mengalami kecelakaan.”Aku langsung menegakkan tubuh. “Apa! Terus bagaimana keadaannya?"“Kondisi Pak Adnan beserta sopir belum jelas, Bu. Masih dalam penanganan rumah sakit terdekat."Tatapanku kembali ke layar laptop, namun pikiranku kini melayang pada sosok Adnan yang mungkin tengah berbaring tak berdaya di ranjang kesakitan.“Hubungi lawyer perusahaan. Saya akan segera ke sana,” ujarku cepat sebelum menutup telepon.Tanpa pikir panjang, aku bangkit dari kursi, mengambil kunci mobil beserta tas, dan melangkah keluar denga
"Non Wulan, saya selaku kepala keluarga meminta maaf yang sebesar-besarnya jika perlakuan kami kemarin menyinggung, Non Wulan. Tapi apa yang Non lihat kemarin hanyalah kesalah fahaman saja. Semuanya tidak seperti yang Non pikirkan," ujar Pak Sapri.Lihatlah, dia sekarang memanggilku dengan sebutan Nona. Berbeda sekali dengan kemarin yang mencak-mencak saat aku tegur dia."Salah paham? Salah paham bagaimana, Pak Sapri?" sahutku, tetap bersikap tenang."Eum ... Kami sudah tua, Non. Tenaga kami sudah tak sekuat dulu. Akhir-akhir ini saya dan suami sering terkena encok, makanya kami membersihkan rumah ini sekedarnya saja. Kami juga tidak mungkin menyuruh anak kami untuk mengerjakan semuanya sebab dia pasti capek habis kerja di kantor," terang Bu Sumarsih, kepalanya menunduk."Benar, Non. Tapi kami janji, setelah ini kami akan kembali fokus bekerja. Kami akan menjaga kesehatan supaya kami terbiasa menjaga rumah ini dengan baik," sambung Pak Sapri.Apa mereka kira aku sebodoh itu untuk perc
"Suami kamu mau ikut, Lan?" bisik Lina. Beberapa menit lalu dia sudah sampai di rumahku, dan kini kita sudah mau meluncur ke rumah Hanum setelah selesai makan malam dan salat isya."He'em," jawabku. "Kamu yakin?" Lagi, Lina berbisik seolah memastikan bahwa keputusanku mengajak Mas Juna tidak salah."Udah, jangan banyak mikir. Yuk, dah malem nih!" Aku langsung membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.Lina menyusul. Dia duduk di sebelahku, sementara Mas Juna duduk di depan dekat dengan supir.Perlahan tapi pasti, mobil terus melaju membelah jalanan ramai di malam hari kota Jakarta. Tanganku sibuk berkirim pesan, mengabari Paman dan Adnan bahwa aku sudah dalam perjalanan.[Kami juga sedang dalam perjalanan.] Balas Andan.Tak ada obrolan berarti saat perjalanan. Aku masih sibuk dengan handphone, begitupun dengan Lina. Entah apa yang sahabatku ini sedang lakukan sampai dia cengar-cengir sendiri di sebelahku."Kok ini seperti ...." Aku mendengar gumaman Mas Juna, kemudian kepalanya menol
Hari ini aku memutuskan untuk pulang lebih awal dari biasanya. Pukul tiga sore, mobil kantor yang dikendarai supir sekaligus bodyguard yang aku sewa beberapa hari lalu telah sampai di halaman rumah ibu mertua. Mengucapkan terima kasih, aku pun keluar mobil dan masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu sudah ada Mas Juna yang duduk di sofa panjang sendirian. Dia menyambutku dengan senyum manis yang selalu membuatku rindu."Kok Mas gak istirahat di kamar?" Sambil menyalami, aku bertanya."Bosen, Dek, di kamar terus. Lagian Mas sudah segar kok," sahutnya.Aku ikut duduk di sebelahnya seraya mengapit lengan dan bersandar pada pundaknya."Capek, ya?" Mas Juna mengelus kepalaku yang terbalut hijab."Enggak, kok. Cuma pengen gini aja sama Mas."Tak ada lagi sahutan dari Mas Juna. Seakan sama-sama sibuk dengan pemikiran masing-masing, kami tersediam. Kesunyian mendadak menghinggap tanpa sebab.Namun tangan kekar suamiku masih bergerak naik turun di pucuk kepalaku. Sementara mataku terpejam menikma
"Nan, semua pekerjaanku sepertinya tidak bisa aku selesaikan hari ini. Badanku rasanya capek banget."Aku sudah berada di kantor beberapa jam lalu, dan sekarang aku sedang mengeluh pada Adnan seraya menyerahkan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerjaku padanya. Karena sibuk menemani Mas Juna, aku jadi lalai dalam bekerja. Belum lagi urusan Hanum dan keluarganya. "Ya sudah tidak apa-apa. Nanti biar aku selesaikan di rumah.""Itu yang aku suka dari kamu. Selalu mengerti aku. Makasih ya ...""Hmmm." Dia nampak serius dengan aktivitasnya.Ya sudahlah, aku tidak ingin mengganggu dia."Kalau gitu aku keluar dulu ya.""Iya, istirahat saja," katanya tanpa menoleh padaku."Oke."Aku pun keluar dari ruangannya. Tiba di depan pintu toilet karyawan, entah kenapa mendadak aku teringat pada Hanum. Kira-kira dia masih ngosek WC gak ya?Jiwa ke kepoanku akhirnya mengajak kakiku melangkah untuk masuk ke toilet khusus wanita. Sayangnya, begitu sampai di dalam ternyata tak ada siapapun termasuk Hanum
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments