Share

Bulan Purnama

Daya menarik nafas panjang, mencoba merasa-rasa, apakah dia bisa mengatakan keseluruhan isi hati kepada Tante Azmi. Akankah Tante Azmi mengerti atau juga akan menolak segala pikirannya. Dalam kepalanya, Daya sungguh menerawang jauh, berpikir, menganalisa.

Tante Azmi yang memiliki latar belakang profesi sebagai psikiater tentu lebih memahami seluruh gejolak yang dirasakan Daya. Pendidikan yang dilewatinya jauh di luar negeri mungkin juga sudah banyak merubah persepsinya mengenai dunia.

Di sisi lain, Tante Azmi juga merupakan anggota keluarga besar yang kemungkinan juga akan menolak keinginan Daya demi kehormatan keluarga besarnya tersebut. Raya mencoba memahami posisi orang-orang lain di sekitarnya, di dalam keluarganya. Siapakah yang menginginkan cibiran dan ejekan dari masyarakat sekitar karena ada anggota keluarga yang tak jelas lelaki atau perempuan? Siapa pula yang mampu menerima anggota keluarga yang sudah diketahui termasuk ke dalam salah satu jenis gender lalu kemudian berubah?

Semua pertanyaan tersebut menghantui pikiran Daya, dan sebenarnya sudah sangat lama. Namun Daya juga tidak mampu menahan sendiri dorongan yang dia rasa.

“Daya, mau cerita pada tante?” suara Tante Azmi membuyarkan segala lamunan di dalam benak Daya. Daya menatap Tante Azmi, perempuan itu tersenyum ramah padanya.

“Tidak apa Daya, kapanpun Daya bersedia”, Tante Azmi tampak bersungguh-sungguh dalam ucapannya.

“Yang Daya rasakan, Tante? Mengenai diri Daya sendiri?” Daya mencoba membuka mulutnya. Tante Azmi tampak mengangguk-angguk pelan, mendengarkan Daya dengan seksama.

“Tante, I am feeling lost... hate...sadness, merasa tersesat... merasa benci... merasa sedih”, Daya membuka perasaan-perasaan yang dia rasakan, yang selama ini terkunci di dalam dadanya.

Lost?” Tante Azmi mengharapkan Daya menjelaskan lebih kepadanya.

Daya mengangguk pelan, “Lost, aku merasa tersesat dalam pikiranku sendiri, mempertanyakan siapa dan apakah aku sebenarnya”.

Hate?” Tante Azmi bertanya lebih jauh kepada Daya.

Daya kembali mengangguk perlahan, “Ya Tante, hate... Aku membenci setiap sel di tubuhku, setiap inci bagian tubuhku yang sama sekali tidak menggambarkan ‘aku’ yang ada di dalam. Daya mengatakan itu seraya memegang dadanya dengan kedua tangan yang bersilang.

“And, sadness?” Tante Azmi menggali perasaan Daya, jauh hingga ke dasarnya.

Kali ini Daya tidak mengangguk, matanya menatap wajah adik ayahnya itu, “Sadness, sedih karena melihat bahwa sebenarnya kebahagiaanku bisa begitu dekat, namun kebahagiaan bagiku mungkin bisa berarti kehancuran dan kehilangan bagi orang-orang yang aku sayangi”. Tak terasa air matanya menetes.

Tante Azmi memegang tangan Daya. Matanya  yang tajam dan cemerlang serupa pemikirannya hanya sesekali saja berkedip. Dia mendekat, menggosok-gosok punggung Daya yang sekarang menangis menutup wajah dengan kedua tangannya. Tante Azmi merangkul Daya, Daya menyuruk dalam dekapan tantenya, menangis terisak.

“Aku tidak menjadikan musik sebagai alasanku untuk bebas Tante, aku tidak ingin pergi jauh juga karena itu. Aku masih ingin mencoba menggapai mimpi dan cita-cita ditengah perasaan yang begitu perih, ditengah perasaan sesat, kebencian, dan kesedihan”, Daya berusaha menjelaskan lebih banyak disela tangisnya. Sesekali menghapus air matanya.

Tante Azmi menjangkau kotak tisu di meja depan sofa, mencabut beberapa lembar, dan menghapus air mata Daya.

“Apakah Daya berharap memiliki gender yang berbeda?” Tante Azmi mengemukakan pertanyaan dan Daya mengangguk. Daya tidak tahu apakah orang lain memahami perasaannya setiap kali menatap cermin. Tubuh yang ada di cermin dirasa bukan tubuhnya sendiri. Setiap kali berbicara dan mengeluarkan suara, Daya merasa diteriaki oleh suara berat dan dalam khas milik kaum lelaki tersebut, terlebih ketika usianya sudah menginjak masa remaja.

Tante Azmi sungguh tampak memahami kata demi kata yang disampaikan Daya. Tangis Daya sudah berhenti, seiring tawaran Tante Azmi untuk mengikuti beberapa pemeriksaan dengan Tante Azmi yang disetujui Daya. Daya percaya bahwa Tante Azmi masih mampu memahami perasaannya, bahwa segala keputusan yang diambil Tante Azmi tentunya akan sesuai dengan disiplin ilmu yang dimilikinya.

Tanpa terasa, waktu sudah berlalu cukup panjang ketika Daya berbicara dengan Tante Azmi. Dari jendela besar di ruang baca terlihat bulan purnama menerangi langit malam yang cerah bertabur bintang. Tante Azmi berkata bahwa akan pulang karena sudah berjanji akan sampai di rumah sebelum si kembar tertidur.

Tante Azmi beranjak mendekati jendela dan memandang ke langit malam. “Daya, pernah melihat pelangi di langit malam?” Tante Azmi memalingkan wajahnya sambil tersenyum ke arah Daya yang masih duduk di sofa.

“Uuummm, belum tante, apakah terlihat walaupun gelap?” Daya berdiri dan berjalan ke arah Tante Azmi.

“Ya Daya, warna indah pelangi akan tetap terlihat meskipun di kegelapan malam”, Tante Azmi tersenyum menatap Daya kemudian berjalan menuju pintu ruang baca.

Daya mengikuti Tante Azmi. Melihat mereka berdua berjalan ke tangga untuk turun ke lantai bawah, Zora ikut bergabung. “Tante nggak mau makan malam bareng kita dulu? Papa udah berangkat ke rumah sakit juga, mungkin juga ada jadwal operasi pasiennya” kata Zora sambil memegang tangan Tante Azmi. Tante Azmi kembali menyampaikan bahwa si kembar sudah menanti dirumah. Zora dan Daya bisa memahami mengantar Tante Azmi hingga ke teras rumah mereka.

 Tante Azmi menyetir sendiri mobil SUV hitam miliknya. Melewati jalan keluar dari komplek perumahan mewah tersebut, sekilas perempuan itu memandang bulan purnama bulat penuh yang beranjak kian tinggi. Ingatannya terpaku pada seseorang di masa lalunya. Seseorang yang sangat suka berlama-lama memandang bulan. Seseorang yang pada akhirnya menjadi sebab mengapa ia begitu keras pada diri sendiri untuk melanjutkan pendidikannya. Seorang sahabat yang dicintainya. Seseorang yang selalu ada dalam ingatannya setiap kali dia melihat Daya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status